Sejujurnya harus saya katakan kepadamu bahwasanya saya tidak pernah sekali pun menyuruh murid-murid untuk mengikuti jejak menjadi seorang guru.
Menjadi seorang guru haruslah kuat mental. Setiap hari bertemu puluhan bahkan ratusan karakter murid. Artinya selalu menghadapi berbagai problematika peserta didik.
Ibarat menebar benih padi. Tidak semua akan tumbuh menjadi pohon yang berbuah bulir padi. Ada saja satu dua yang gabug tidak bisa menghasilkan gabah.
Tapi di sinilah seninya mengajar. Rasa bahagia dan juga bangga manakala berhasil mengantarkan anak-anak bermasalah. Mereka dapat menyelesaiakan persoalannya dan mencapai kesuksesan dalam hidupnya.
Diary,Â
Sesungguhnya guru dalam kondisi ketidakseimbangan kerja. Bayangkan dari jam enam sampai jam 12 (pada masa pandemi covid-19) memberikan pengajaran. Jam satu sampai pukul 17.oo mengoreksi dan menilai pekerjaan siswa.
Malam harinya mempersiapkan materi untuk pertemuan berikutnya. Begitu terus siklus seorang guru. Rasionya  satu berbanding tiga. Delapan belas jam menjalankan profesi dan enam jam istirahat.
Kalau bukan karena panggilan jiwa akan terasa berat menjalaninya. Bukan rahasia umum lagi kalau anak-anak jaman now maunya yang serba instan. Sedikit kerja gede gajinya.
Seandainya dibuat sebuah survei. Kesimpulannya barangkali sudah bisa ditebak. Hasilnya 1: 1.000. Hanya satu anak yang bercita-cita jadi guru dari seribu anak sebayanya.
Saat ini kondisinya sudah mengawatirkan. Beberapa mata pelajaran mengalami kekurangan guru. Salah satunya disebabkan karena kurangnya minat menjadi seorang guru.
Diary,Â
Saya pribadi menganggap tubuh dan jiwa saya sudah bisa beradaptasi. Kerja delapan belas jam itu adalah worklife balance bagi seorang guru. Bukan lagi sebagai ketidakseimbangan kerja.
Salam jiwa!
Jkt, 080221
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H