Harapan satu-satunya yang bisa menolongku adalah bu Dita, orang terkaya di lingkungan kami. Rumahnya bertingkat dan begitu megah di antara rumah-rumah kami yang kumuh.
Aku malu ingin meminta tolong kepada bu Dita karena kami belum pernah saling berkenalan sekali pun sudah bertahun-tahun bertetangga. Orangnya super sibuk sehingga kami tidak pernah melihat barang sejenak di rumahnya.
Aku juga takut apa mungkin orang yang begitu kaya raya itu memperbolehkan aku memasuki pekarangan rumahnya yang luas dan mau menolong meminjami aku uang .Â
Tekadku sudah bukat demi anak apapun aku sanggup melakukannya. Rasa pedih dan malu sudah aku singkirkan jauh-jauh. Aku hanya ingin melihat wajah anakku kembali ceria dan semangat belajar.
"Permisi", kataku sambil sedikit mengedor pelan pintu gerbang.
Aku menanti dalam takut dan penuh harap.Â
"O bu Suti. Silahkan masuk", jawab bu Dita sambil membuka pintu gerbang.
Aku merasa lega bu Dita menyambutku dengan penuh keramahan. Sambil beriringan kami menuju ke teras rumahnya yang sejuk.
"Bu Dita tidak sibuk?", tanyaku.
"Kebetulan baru nyante bu Suti", jawabnya sambil menyilahkan aku duduk.
"Ada apa ?. Tumben mau main ke rumah", lanjutnya.