Sore-sore sepulang dari kerja sambil menanti datangnya senja (kenapa ya senja begitu melahirkan banyak inspirasi para pujangga?) betapa nikmatnya menyeruput teh nasgithel. Nasgithel itu akronim dari panas legi (manis) dan kenthel (kental).
Saya tergolong orang yang kecanduan minum teh. Setiap hari biasanya pada sore hari, kalau pas hari libur bahkan  dan pagi sore, saya pasti menikmati secangkir teh nasgithel. Lebih nikmat kalau tehnya dibuat dengan teko dari tanah liat, dikenal dengan istilah teh poci.Â
Tradisi minum teh di beberapa negara seperti di Jepang dan Inggris bahkan melalui ritual tertentu. Terlebih di Jepang tradisi minum teh dianggap sebagai budaya yang perlu dilestarikan. Tradisi minum teh (sado atau chato) di Jepang dijadikan destinasi wisata bahkan menjadi komoditas berupa kursus tata cara minum teh.
Kita mungkin harus berterima kasih kepada bangsa Belanda yang telah mengenalkan tanaman teh di Indonesia. Seperti kita juga harus berterima kasih kepada Kaisar Shen Nung yang dengan tanpa sengaja menemukan minuman teh.Â
Alkisah, ketika sang kaisar ingin minum tetapi karena masih panas maka dibiarkannya cangkirnya terbuka di bawah pohon sambil leyeh-leyeh istirahat. Tiba-tiba angin bertiup sehingga beberapa daun jatuh masuk ke dalam cangkir sang kaisar. Beberapa saat kemudian air dalam cangkir berubah menjadi kemerahan. Karena penasaran sang kaisar pun meminumnya dan  ternyata rasanya enak dan wangi. Sejak saat itu teh menjadi minuman wajib bagi sang kaisar.
Adapun di Jawa sebetulnya tidak ada ritual atau waktu-waktu tertentu untuk menkmati teh. Yang pasti setiap ada tamu pasti akan disuguhi minuman teh. Semacam syarat wajib tehnya harus panas manis dan kental yang dalam bahasa Jawa diucapkan menjadi panas legi kenthel. Disingkat nasgithel. Kalau tamunya istimewa biasanya untuk mendapatkan rasa manis memakai gula batu.
Cara membuat teh nasgithel yang baik adalah menaruhkan beberapa sendok teh hitam kemudian dituangkan air panas yang mendidih ke dalam teko. Setelah beberapa saat tuangkan air teh dari teko ke dalam cangkir yang sudah diberi gula batu. Diminumnya selagi masih panas kebul-kebul. Kalu sudah merasakan nikmatnya teh nasgithel kita akan linak lithu lingga lica (lali anak lali puthu lali tonggo lali konco alias lupa anak lupa cucu lupa tetangga lupa teman) saking nikmatnya.
Menurut kakek miunum teh itu ada filosofinya lho. Kalau kita minum teh mula-mula yang kita rasakan adalah rasa pahit, kemudian sepet dan terakhir rasa manis. Rasa pahit ini karena pengaruh daun teh yang masih kuat, setelah bercampur dengan gula akan terasa sepet (perpaduan pahit dan manis). Barulah terakhir terasa manisnya muncul dominan karena gula batu sudah pecah dan mencair.
Ini menggambarkan seharusnya perjalanan kehidupan seseorang. Berpahit-pahit dahulu barulah kemudian menikmati manisnya kehidupan. Bukan seperti generasi sekarang yang maunya hidup enak seterusnya dan mengabaikan perjuangan untuk meraihnya.
Kalaulah para pahlawan yang telah gugur memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangkit dari kuburnya pastilah mereka akan meneriakkan hal ini pula.
Merdeka !!
Jkt, 150830
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H