Aku termangu di depan rumah kontrakan lamaku.Â
Terbayang olehku puluhan tahun tinggal di dalamnya dengan sejuta kenangan. Kenangan manis sesungguhnya pernah aku reguk ketika anak-anakku masih kecil. Mereka anak-anak yang lucu yang selalu menemani hari-hariku yang monoton. Setelah mereka beranjak besar hilanglah suasana ceria yang menggembirakan hatiku.
Adapun kenangan pahit sudah aku ceritakan yang puncaknya adalah hancurnya rumah tangga kami. Aku sebagai perempuan kampung yang nrimo harus menerima kenyataan pahit.Â
Aku sudah mengabdikan seluruh jiwa raga dan perasaanku kepada suami dan anak-anak tetapi aku harus menelan kekecewaan. Karena sudah tak kuat lagi menahan beban bathin aku menggugat cerai suamiku.
Sebuah kenyataan pahit yang belum pernah aku ceritakan kepada siapapun, termasuk kepada anak-anak dan orang tuaku, sebetulnya rumah kontrakan ini dulunya adalah rumah kami.Â
Aku membelinya dari hasilku menabung dengan menyisihkan uang belanja harianku. Sayangnya pada saat membuat surat perjanjian jual beli diatas namakan suamiku. Aku mengiyakan saja karena aku begitu patuhnya kepadanya.
Apa yang aku khawatirkan pun terjadi. Ketika suamiku gila judi akhirnya rumah yang aku beli dengan susah payah digadaikan untuk taruhan di meja judi. Kegilaan terhadap judi semakin membuat suamiku ketergantungan kepada rentenir.Â
Setiap membutuhkan modal untuk judi lari ke sang rentenir sampai hitung-hitungan akhir harga rumah sebagai agunan tidak cukup untuk membayar hutang suami. Rumah kami pun akhirnya disita paksa.
Kami tidak diusir dari rumah tetapi kami diberikan kesempatan untuk tetap menempati dengan status sewa menyewa. Jadilah kami menyewa bekas rumah kami sendiri. Betapa kenyataan ini membuatku semakin terpuruk.
**