Esok lusa, hari Rabu tgl 9 Juli 2014, kita akan menghadapi peristiwa besar lima tahunan yg akan memengaruhi perjalanan bangsa ini di masa mendatang. Kita akan memilih presiden dalam suasana yg demokratis dan mudah-mudahan berlangsung damai. Presiden yg terpilih nanti mudah-mudahan juga bisa membawa bangsa dan negara ini menjadi lebih baik, lebih maju dan beradab. Yg jelas, presiden kita nanti mudah-mudahan adalah orang yg dilengkapi Tuhan dengan kualitas-kualitas kepemimpinan yg dibutuhkan bangsa ini untuk bangkit. Ia harus berani, tegas, bijaksana dan bersahaja, dalam arti yg sebenar-benarnya, bukan sepertinya saja.
Berani itu sikap mental, bukan performa fisikal. Tegas itu ketetapan hati, bukan arogansi. Bijaksana itu mampu menghadirkan solusi, bukan hanya memberi janji. Dan meski tiada satupun insan yg sempurna, namun pemimpin yg baik adalah ia yg gemar bekerja ketimbang bicara; cukup pengetahuan dan pengalamannya; sanggup prihatin demi rakyatnya; teguh berprinsip di tengah prahara; mendengar keluh dan mau menyelesaikannya, meski ia tahu memperbaiki keadaan tak semudah mengedipkan kelopak mata.
Menertibkan pasar yg kacau itu butuh keberanian. Mengatasi konflik tanpa menimbulkan permusuhan itu butuh kebijaksanaan. Menolak kompromi dg para bandit dan mafia itu butuh ketegasan. Memimpin dg memberikan teladan itu butuh kebersahajaan. Lalu kalau ada pemimpin yg sanggup menekan kesenangan pribadi demi memajukan kesejahteraan rakyatnya, maka ia lebih mungkin utk berada di antara orang-orang yg ikhlas, yg tinggal sedikit saja. Dan sejak saya tahu bahwa selama beberapa tahun menjadi gubernur Pak Joko mensedekahkan gajinya utk kepentingan masyarakat, saya pun percaya bahwa ia adalah satu dari yg sedikit itu. Ia hidup dan menghidupi keluarga dg usaha yg tdk merugikan siapa-siapa.
Sekarang Pak Joko mau jadi presiden. Pak Jusuf jadi wakilnya. Mau, bukan ingin. Ia disuruh maju karena dianggap baik dan tepat, bukan ingin maju karena menganggap diri baik dan tepat. Apakah Indonesia akan selesai masalahnya kalau Pak Joko jadi presiden? Tidak, tidak otomatis begitu. Masalah Indonesia besar sekali, setara besarnya atau lebih besar dari negara ini. Maka siapapun yg akan jadi presiden, ia pasti memikul beban berat, mahaberat, yg mungkin tdk akan selesai bahkan setelah lima atau sepuluh tahun mendatang. Tapi memang mestinya berat itu sama dipikul, dan saya yakin Pak Joko dan Pak Jusuf mampu menginspirasi kita dg kerja keras dan keteladanannya agar kita dg riang gembira mau ikut memikul beban itu bersama-sama. Dengan begitu, insyaallah yg berat-berat itu akan ringan rasanya.
Bagaimana dg korupsi? Apakah Pak Joko berdua dg Pak Jusuf akan mampu membersihkan Indonesia dari korupsi? Tentu saja ya, tapi asalkan masing-masing dari kita juga mau memerangi korupsi. Korupsi itu masalah terberat yg dihadapi bangsa ini. Beratnya bukan karena jumlah uang yg dikorup, bukan karena kuatnya bandit-bandit tukang korup, bukan juga karena tidak adanya sistem yg antikorupsi. Beratnya menyelesaikan masalah korupsi itu adalah karena semua mau orang lain tidak berbuat korup, tapi hampir semua orang memperbolehkan diri utk berbuat korup meski kecil-kecilan. Jadi korupsi memang akan tetap berada di puncak nominasi masalah negara, namun saya percaya bahwa—lagi-lagi karena kerja keras dan keteladanannya—Pak Joko dan Pak Jusuf mampu memberi kita contoh ttg bagaimana caranya memerangi korupsi sejak dari level diri sendiri.
Pak Joko mau jadi presiden dan Pak Jusuf mau jadi wakilnya. Mereka mau, bukan ingin. Saya pun mau memilih mereka untuk memimpin, bukan ingin. Keinginan saya adalah kehidupan berbangsa dan bernegara yg lebih maju dan beradab, di mana keadilan dan kesejahteraan dapat dihadirkan sejak dari ibukota negara sampai ke pelosok-pelosok Rukun Warga dan Rukun Tetangga, dan negara kita Indonesia ini menjadi baldah nan thayyibah wa Rabbun ghafur.
#Salam2Jari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H