Mohon tunggu...
Mas Rurul
Mas Rurul Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mendukung pelestarian alam dan lingkungan dalam keadaan yang harmonis dan penuh damai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cobaan

24 Juli 2013   05:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:07 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13746209351236785171

Photography by Helmut Newton ... Sialan! Gadis itu tak main-main cantiknya. Senyumnya menawan, usianya belia, busananya membangkitkan selera. Pertama-tama ia mengulurkan tangan sembari menyebutkan nama. "Ratna." Aduh...! Gadis cantik yang bicaranya seperti berbisik itu mengusik kelaki-lakianku sejak kali pertama. Lalu ia duduk seperti ingin dipangku. Sebagai lelaki yang baru dikenalnya, aku langsung diberi kepercayaan untuk menopang pahanya yang separuh terbuka dengan pahaku yang kurasa mulai bergetar. Sesungguhnya aku bukan takut, tapi jiwa ini bergolak menyadari sesuatu yang tak seharusnya. Saat ia menyalamiku dan memperkenalkan diri, aku membalas uluran tangannya tapi enggan menyebutkan nama. Cukuplah senyuman ala kadarnya kuberikan dan aku membiarkannya memanggilku dengan sebutan "Mas" saja. Memperkenalkan diri lebih dari itu kupikir bisa fatal akibatnya. Gadis yang belakangan kuketahui baru 19 tahun itu berasal dari Jakarta. Tapi secara body dan raut muka, sejak mula aku mengiranya lebih matang dari itu. Mungkin pergaulan di ibu kota memacu reaksi hormonal dalam dirinya untuk lebih cepat matang dari umumnya gadis desa atau gadis-gadis lain di pinggiran yang bergaul dengan lingkungan lebih terbatas dan 'katrok'. Mungkin pula aku yang tak jeli menilai dan mengira-ngira, sebab kosmetik dan busananya tak seperti umumnya gadis yang kulihat dalam lingkungan pergaulanku sehari-hari. Dalam habitatku, gadis-gadis yang kukenal pada umumnya berkerudung, bersolek dengan kosmetik "terjangkau" dan berbusana dengan aneka model "pakaian daerah". Kukatakan pakaian daerah, sebab meskipun sesungguhnya itu adalah bagian dari busana kontemporer, fashion terbaru, namun nyatanya yang dikenakan oleh gadis-gadis dalam habitatku itu rata-rata adalah model yang sudah usang bagi kalangan ibu kota. Jadi model-model baju yang sudah lama mangkrak di keranjang butik ibu kota kemudian dikirim ke daerah-daerah untuk dijual kepada pemuda-pemudi yang ingin tampil trendy seperti artis-artis di televisi. Nah, maka saat melihat Ratna, aku merasa asing dengan pemandangan di depanku. Aku tidak merasa melihat seorang gadis yang 'natural' menurut ukuran lingkunganku, melainkan aku berhadapan dengan etalase mewah dari sebuah butik yang berjalan dan berdandan. Maha Besar Tuhan! Kami segera terlibat dalam basa-basi sekenanya. Karena dicampuri sedikit grogi, aku menanyakan lagi dari mana asalnya, padahal ia sudah bilang bahwa ia berasal dari Jakarta. Oh...! Aku telah terintimidasi oleh wajahnya yang jelita. Tapi ia juga menanyakan lagi dari mana asalku, padahal belum dua menit aku mengatakan asalku dari Jawa Timur dan di Yogyakarta ini aku sedang melanjutkan studi. Apakah aku juga mempesonanya? Kurasa tidak. Pradugaku tak membenarkan cewek modis ibu kota itu dihinggapi grogi dalam hatinya hanya karena berkenalan dengan pemuda pinggiran seperti aku. Inferioritas bisa dibenarkan dari sudutku, tapi aku tak mampu menalar jika hal itu terjadi padanya. Tak tahulah! Pahaku terus bergetar menahan pahanya. Angin malam di Yogya bertambah dingin. Mobil yang kami tumpangi terus melaju ke arah selatan dengan kecepatan lari-lari bebek. Bagus yang memegang kemudi sengaja membiarkan jendela setengah terbuka. Angin masuk menambah dingin suasana. Musik ditambah volumenya dan ia mengemudi sambil mengangguk-anggukkan kepala. Di sampingnya, Vira, teman Ratna yang juga dari Jakarta, juga angguk-angguk kepala dan tangannya tampak menjulur ke kursi pengemudi, entah memegangi apa. Aku dan Ratna berdua di kursi belakang Honda Jazz warna silver yang tiga kilometer lagi sampai di Parangtritis, salah satu pantai yang membatasi Yogyakarta di sisi selatan. Bulan temaram dan angin malam yang semakin dingin menggodaku di kursi belakang untuk segera menjawab pertanyaan: dengan cara apa kita dapat menghangatkan suasana? Oh, paha Ratna mengeluarkan uap panas yang membahayakan agama. "Mas, nyanyi yang keras, dong!" Ratna meminta. Tampaknya ia menangkap gerak bibirku yang mengikuti lagu. Aku memang menyanyi lirih dalam hati, mengekor pada musik luar negeri yang kebetulan aku tahu bagian reffereinnya. Tapi alasanku menyanyi bukan karena suka musik itu, melainkan untuk menyembunyikan dilema yang kuhadapi: pegang atau rugi! "Aku nggak hafal lagunya, Dik," jawabku sambil menghadap kepadanya. Tak lupa, kuberikan senyum semadyanya setiap kali bicara-bagus, Bung, kamu berhasil menampilkan citra lelaki gentleman yang ramah nan bijaksana! "Tapi itu Mas ikutan nyanyi," paksa Ratna. Ia tidak benar-benar memaksa. Terminologi yang tepat adalah 'menggoda'. Suaranya, aduhai, seperti Aishwarya Rai yang minta dikeloni. "Cuma reff-nya," jawabku singkat. "Kalo gitu reff-nya dikerasin, biar aku dengar suara Mas. Aku pengen dengar Mas nyanyi." Aku mati kutu. Suara Jason Mraz seakan mengejekku. "It's your God forsaken right to be loved... loved... loved... looooved...." Bagus menambah volume lagu. Kutu kupret! Karena terpojok oleh rayuan Ratna, maka aku pun mulai menyanyi. I'm Yours-nya Jason Mraz itu kunyanyikan dengan suara setengah tertahan lantaran nafasku tambah tak menentu setelah gadis beraroma Bvlgari itu kini menempelkan pula bahunya di bahuku-wahai Tuhan pemelihara semesta, sesungguhnya aku takut kepadaMu, tapi eman-eman sama yang satu ini! Saat aku menirukan Jason Mraz membawakan lagu itu, Ratna di sampingku semakin melengket-lengketkan badannya ke badanku-aku menilai inilah bahasa tubuh yang menegaskan bahwa judul lagu itu sungguh sesuai dengan kondisi riil yang tengah kuhadapi. "Ayo, aku mau kamu apain? Aku pasrah sama kamu! Aku milikmu full malam ini." Aku membayangkan Ratna mengatakan itu sambil ndesel-ndesel meminta agar aku mengambil keuntungan dari tubuhnya yang penuh berkah dan semerbak mewangi. Oh, antara aku dan kenikmatan yang mahabesar itu, betapa jaraknya lebih dekat dari urat nadi. Tapi aku tak berani menghadapi Ratna. Aku tak berani. Aku tahu, sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang bodoh, tolol dan rugi tak karu-karuan.

Mobil yang kami tumpangi tak terasa sampai di pantai setelah melewati barisan toko yang tutup semua karena malam memang sudah sangat larut. Hanya satu yang kelihatan masih buka, yaitu tempat parkir dan penitipan kendaraan, tapi penjaganya juga sudah hilang kesadaran di atas ambin. Jadi sejauh mata memandang, yang masih ‘hidup’ saat itu dapat kuhitung hanya ada enam makhluk: empat merupakan spesies manusia yang baru saja tiba, sedangkan dua lainnya adalah anjing broken home yang meninggalkan atau ditinggalkan oleh tuannya—sialan! Ini kesempatan yang baik untuk berbuat buruk!

Parangtritis begitu sepi. Debur ombak laksana orkestra yang melambungkan jiwa. Malam sempurna dan bintang bertebaran seperti Sakura di musim semi. Di manakah tragedi? Ke mana perginya angkara murka? Bumi tidur seperti bayi ditimang ibunya, langit yang penuh damai dan sentosa. Aku ingin laju waktu berhenti di sini, lalu abadilah seluruh keindahan dari tepi ke tepi. Tapi persetan! Ini bukan saat yang tepat untuk puisi! Ini saatnya menentukan sikap terhadap paha, pinggul, leher jenjang, bahu mulus, ketiak tak berbulu dan belahan dada yang provokatif itu! Ratna masih dalam kondisinya yang aktual dan meyakinkan, hangat dan minta dikuasai.

Bagus… Bagus… Di manakah ia? Oh, kesadaranku yang dari tadi terfokus pada topik mengenai implementasi hasrat terpendam dalam perspektif psikologi laki-laki yang terintimidasi oleh kecantikan gadis yang pasrah dan melepaskan diri tanpa perlindungan ini rupanya membuatku lengah terhadap keberadaan kawan yang kini sudah jauh berada di suatu sudut yang gelap di sana, di balik gundukan pasir pantai yang cukup aman untuk dijadikan tempat bersembunyi dua orang, laki dan perempuan, yang memiliki kesamaan visi dan misi untuk melakukan sesuatu di malam hari.

Ditinggal berdua dengan Ratna, aku makin sibuk mencari bahan bicara. Aku memiliki cukup pengalaman menghadapi wanita, berbicara dengan mereka, menyatakan perasaan cinta, merayu dengan kalimat-kalimat puitis, bahkan juga kekebalan mental untuk menghadapi situasi genting saat cinta ditolak. Tapi semua pengalaman itu berlaku dalam konteks diriku yang jujur apa adanya, serius, murni dalam cinta, sangat idealis dan tak pernah main-main dengan perempuan. Sekarang keadaannya berbeda. Ini ada perempuan yang rela, mau dan ingin main-main denganku. Aku pun sudah terbawa untuk mulai main-main dengannya, setidaknya dalam pikiran. Dalam aksi, aku masih menata nyali. Dari tadi menata nyali. Kapan bertindak, ha?

Aku berusaha menutupi inferioritasku di tengah gelombang agresi yang dilancarkannya melalui berbagai bahasa tubuh dan kode-kode rahasia yang langsung dapat kuuraikan sebagai permintaan, ajakan, atau bahkan permohonan untuk bekerjasama melawan dinginnya malam dengan tindakan-tindakan yang berkategori ‘dewasa’. Kuncinya hanyalah memberanikan diri. Soal hasrat jangan ditanya lagi—sampai cenat-cenut rasanya di ubun-ubun. Ketidaksiapanku adalah berkaitan dengan kata pengantar untuk memulai aksi; sikap tubuh seperti apa yang pantas ditunjukkan agar tak menjatuhkan pesona diri; mana bagian tubuh yang harus didahulukan kalau tangan sudah berhasil dipegang; bagaimana menguasai diri dan lantas menguasai dia dalam permainan seperti ini?—bodoh, pikiranmu terlalu ruwet, Bro! Action! Action!‼

Aku terbelah menjadi dua saat jam menunjuk tepat pukul tiga. Astaga! Sudah lebih dari dua jam kami bersama; lebih dari tiga puluh menit aku berani memegang tangannya—dan sebelum itu bahkan gadis molek berjiwa pemberani ini telah lebih dulu mengibarkan bendera start di depan batang hidungku, tapi perbuatan yang melebihi saling meremas jari tak kunjung terjadi. Tolol! Tolol! Tolol sekali aku.

Pukul tiga lewat sepuluh menit.

Dari tadi aku dan Ratna yang panas itu sudah bicara banyak sekali. Tapi yang kubicarakan tak ada yang sepenuhnya kusadari. Diriku yang separuh sudah merah dan bertanduk, memegang tombak dan mengibas-ngibaskan ekor sambil teriak, “Carpe diem! Kesempatan tak datang dua kali! You don’t be stupid and tolol jangan dibudidaya!”

Diriku yang separuh itu sudah muntab gara-gara diriku yang separuhnya lagi masih sibuk memperhitungkan ini dan itu di tengah situasi yang genting dan butuh reaksi cepat seperti ini.

Sementara provokasi terus berjalan, apalagi Ratna semakin moncer belahan dadanya dijatuhi sinar bulan, diriku yang separuhnya lagi malah mengambil suatu keputusan yang tak bisa dibenarkan oleh akal normal yang berpikir tentang bagaimanakah dua orang dewasa berlainan jenis dan bukan muhrim mestinya berbuat di pantai yang gelap dan sepi, dan jauh dari kemungkinan adanya razia Satpol PP. Ia, yakni ‘aku yang separuhnya lagi’ itu, malah bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah mobil untuk mengambil gitar! Ya, gitar! Buat apa benda konyol itu?

Aku bertindak tanpa kesadaran yang utuh dan pikiranku kacau sekali. Kupikir dengan mengambil gitar itu aku akan mencairkan ketegangan dalam diri dan sekaligus menambah ketertarikannya pada pesona kelakianku yang makin top dengan gitar di tangan. Aku berpikir bahwa satu atau dua lagu mellow akan menganjlokkan superioritasnya yang mendominasiku sejak awal kami bertemu. Aku berpikir untuk menjadi sosok ksatria bergitar di hadapannya—pikiran ini yang nantinya, selama beberapa hari ke depan, membuatku menyesal menjadi mahasiswa filsafat yang mengagumi Plato. Bukankah aku seharusnya lebih banyak membaca dan mengidolakan Nietszche?

Berbekal gitar di tangan, aku kembali kepada Ratna. Buah yang ranum dan siap dibuat rujakan itu masih di situ, di tempat semula. Aku duduk kembali, tapi kali ini pindah posisi. Tadi di sebelah kanannya, kini di sebelah kiri. Tujuannya dua: pertama agar posisi setang gitar nanti tak mengganggu kenyamanannya dan, kedua, sekembaliku dari mengambil gitar tadi kulihat paha kirinya lebih terbuka. Oh, paha yang mulus tanpa cela, bahkan di kegelapan pun ia bercahaya.

Aku mempersiapkan jari-jari tangan kiri menekan kunci C pada setang gitar. Setelah memainkan intro beberapa detik, jiwa Bon Jovi kuhirup lewat udara pantai yang mengalir gemulai. Aku memilih Always untuk hidangan pembuka.

This Romeo is bleeding but you cant see his blood… It’s nothing but some feelings that this old dog kicked up. It's been raining since you left me, now I'm drowning in the flood… You see I've always been a fighter, but without you I give up…

Sampai pada reffrein, Bon Jovi semakin menjadi-jadi.

I'll be there till the stars don't shine, ‘till the heavens burst and the words don't rhyme… And I know when I die, you'll be on my mind and I'll love you… Always…

Pada saat lagu pertama berakhir, aku mulai semakin lancang. Tanganku tahu-tahu sudah bertopang pada pahanya yang terbuka. Aku bergelora. Rasanya lagu kedua tak lagi sanggup kumainkan, sebab suaraku semakin berat akibat detak jantung yang semakin kencang dan tak karuan. Aku terus menghadap ke pantai, tak berani berpaling kepada Ratna, malu kalau sampai terlihat olehnya wajahku yang terasa bengkak menahan nafsu yang mau meledak. Tapi aku tahu bahwa Ratna telah merebahkan diri.

Kini aku yakin bahwa ia sudah siap, begitu juga aku. Aku dan Ratna sudah berada pada gelombang yang sama untuk saling memberi dan menerima. Ibarat air laut dan air tawar, kami sudah siap bercampur menjadi air payau. Aku kehilangan kamus yang didalamnya kugarisbawahi istilah-istilah seperti dosa, maksiat, norma, agama, bahkan aku kehilangan ingatanku akan Tuhan Yang Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui. Maka segala gerakan anggota badan yang dibutuhkan dalam rangka mempererat silaturrahim di antara kami pun tak kuasa lagi kutahan.

Tangan kananku merambat naik mencapai perutnya. Empuk, sungguh empuk. Sedikit lagi tangan yang diberkati ini akan mengungkap misteri gunung Merapi dan Merbabu yang tegak bersebelahan itu. Parangtritis tak ada suaranya lagi. Dunia tereduksi ke dalam eksistensi kami berdua saja yang bahkan sebentar lagi akan manunggal di dalam puncak ekstase yang tak satu pun kata bisa menerangkannya. Aku mulai merasa hilang seinci demi seinci. Gitar segera kuletakkan dengan tangan kiri.

“Ratna…,” aku membisikkan namanya sambil tetap memandang laut di depan. Nama yang kupanggil itu begitu menggetarkan seperti mantra yang diucapkan setelah empat puluh hari melakukan tapa brata.

Yang kupanggil diam dalam kepasrahan. Aku berbalik menghadap padanya pelan-pelan.

“Ratna…”

Tapi, ah…

Allahu akbar, Allahu akbar…‼!”

Dari kejauhan adzan subuh menggema, merusak suasana. Adzan itu menyelamatkanku dari dosa besar, tapi terus terang sebagian diriku merasatak senang karena telah diselamatkan. Tapi apalah gunanya sesal? Toh Bagus pun datang dan mengajak kami pulang.

Dalam perjalanan pulang, aku ingat seorang guru pernah berkata: Tuhan dapat menyelamatkan siapa saja yang dikehendakiNya dengan berbagai cara. Aku tersenyum bersyukur, meski sayup-sayup aku mendengar ada yang mengeluh, “Tuhan, mengapa Kau selamatkan aku?”

Yogyakarta, 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun