[caption caption="Anak-anak di bawah 10 tahun merokok bebas (Foto: Dwikoen)"][/caption]
Sepulang sekolah, anak-anak yang masih berseragam SD itu terlihat ceria, menghembuskan asap rokok sambil menyusuri jalanan aspal di antara kebun-kebun tembakau. Anak-anak usia delapan dan sembilan tahun yang tertawa riang, bercanda sambil memainkan rokok di jemari mereka.
Di sini, di desa Kali Angkrik Magelang Jawa Tengah, anak-anak merokok bukanlah hal aneh. Bertengger di lereng Gunung Sumbing, desa ini diselimuti udara pegunungan yang dingin serta aroma khas tembakau yang dijemur di sepanjang jalan. Sulit menemukan pria yang tidak merokok di desa ini.
Di sebuah warung, beberapa anak terlihat membeli rokok eceran. Selang tak lama, mulut-mulut mungil itu segera meniupkan asap rokok, sambung menyambung. Meski sang pedagang tahu menjual rokok kepada anak di bawah umur dilarang, tapi ia tetap melakukan hal tersebut. “Mau gimana lagi, semua warung di sini menjual rokok ke anak-anak, tidak cuma saya,” dalihnya.
Rokok eceran yang dijual bebas dengan harga murah, seribu rupiah per batang, membuat akses anak-anak desa Kali Angkrik ke rokok semakin mudah. Saat tak punya uang jajan untuk membeli rokok, anak-anak di desa ini biasa meminta rokok pada kakak laki-laki atau ayah mereka, yang juga perokok aktif.
Sunat dan Rokok
“Waktu saya sunat, saya mendapat hadiah banyak sekali rokok,” cerita Slamet (12 tahun), saat ditemui di rumahnya, tak jauh dari kebun tembakau milik keluarganya. Slamet yang disunat pada usia sepuluh tahun mengaku menghabiskan seluruh rokok tersebut bersama teman-temannya.
Di sini, sunat atau khitan dipercaya sebagai titik peralihan dari usia anak-anak menuju ke dewasa. Dan merokok diyakini sebagai ciri kedewasaan. Besar kemungkinan, alasan itulah yang membuat rokok sebagai hadiah pesta sunatan dianggap sebagai tradisi turun temurun, meski tak ada yang tahu sejak kapan tradisi itu bermula. “Saya juga dikasih uang. Kata mereka, ini buat beli rokok ya,” Slamet menambahkan. Sejak saat itu ia pun mulai kecanduan rokok. Kini, Slamet bisa menghabiskan tiga hingga lima batang rokok setiap hari.
Kisah serupa dituturkan Bambang (11 tahun), yang baru empat bulan disunat. Ia masih ingat, saat itu ia menerima “hadiah” sekitar tujuhbelas bungkus rokok berbagai merek. “Selama seminggu, saya habiskan bersama teman-teman,” ujarnya. Ayahnya yang bekerja sebagai petani tembakau mengaku tak bisa melarang anaknya merokok. “Anak-anak itu hanya main-main saja, tak serius merokok,” kata sang ayah. Faktanya, Bambang sendiri sudah mulai merokok di usia sembilan tahun karena melihat semua laki-laki di rumahnya merokok. Saat ini Bambang mengaku sulit berhenti merokok dan menghabiskan sekitar tiga batang perhari.
Jumlah anak-anak pecandu rokok di provinsi Yogyakarta terbukti semakin memprihatinkan. Penelitian yang dilakukan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) menunjukkan, usia anak-anak mengenal rokok kini semakin belia. MTCC menemukan bahwa 30 persen anak-anak di kota Yogyakarta sudah mulai merokok atau menjadi perokok di usia kurang dari sepuluh tahun. Survey dilakukan di awal tahun 2015 dan melibatkan 50 anak-anak di Kota Yogyakarta sebagai responden. Seorang anak bahkan ditemukan mulai merokok di usia empat tahun.
Secara nasional, www.tobaccoatlas.org menyebutkan jumlah perokok anak di Indonesia diperkirakan lebih dari 2,7 juta jiwa (angka dirilis tahun 2013). Survey mereka juga menemukan, sekitar 41 persen anak laki-laki di Indonesia sudah menjadi perokok aktif. Sementara itu, menurut penelitian Global Youth Tobacco Survey tahun 2014 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI, sebanyak 18,3 persen pelajar SMP di Indonesia sudah menjadi perokok aktif. Dibanding negara-negara berpendapatan sedang lainnya, jumlah perokok anak di Indonesia juga termasuk paling tinggi. MTCC menegaskan, kebijakan pemerintah untuk mengendalikan tembakau dengan ketat diyakini menjadi solusi ampuh untuk melindungi kesehatan anak-anak dan masyarakat Indonesia dari bahaya rokok.