Mohon tunggu...
Masrul Purba Dasuha
Masrul Purba Dasuha Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Saya Masrul Purba Dasuha, SPd seorang pemerhati budaya Simalungun berasal dari Pamatang Bandar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Simalungun adalah jati diriku, Purba adalah marga kebanggaanku. Saya hidup berbudaya dan akan mati secara berbudaya. Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, leluhurmu menjadi sejarah bagimu dan dirimu juga kelak akan menjadi sejarah bagi penerusmu. Abdikanlah dirimu untuk senantiasa bermanfaat bagi sesama karena kita tercipta sejatinya memang sebagai pengabdi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kerbau dan Babi dalam Perspektif Budaya Batak

22 Februari 2016   07:33 Diperbarui: 17 Maret 2018   14:30 5814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Pendahuluan

Babi adalah binatang yang paling diminati oleh suku Batak saat ini bahkan dianggap sebagai binatang pujaan, bila ditinjau dari aspek historisnya tradisi mengkonsumsi babi ternyata baru mulai membudaya pasca masuknya kolonial Belanda. Babi awalnya adalah makanan favorit pihak kolonial Belanda, kegemaran mereka dalam mengkonsumi babi kemudian mereka bawa ke tanah Batak. Pada zaman dahulu dalam budaya Batak, babi tidak pernah menjadi binatang piaraan, karena binatang ini hidup secara liar di hutan. Binatang yang sering dipelihara oleh masyarakat Batak pada zaman dahulu adalah kerbau, lembu, kuda, kambing, dan ayam. Pada saat menjajah Tapanuli Utara, Belanda menjadikan babi sebagai santapan mereka, karena mereka hidup di tengah masyarakat Batak lantas mereka ikut terbiasa mengkonsumsi binatang ini sehingga belakangan menjadi kebutuhan. Posisi daging kerbau, ayam, dan kambing serta ikan dari Danau Toba perlahan kurang diminati. Dalam upacara adat dan kegiatan ritual Batak, terbukti babi tidak pernah dihidangkan sebagai sajian dan itu diterapkan dalam kehidupan komunitas Parbaringin, Parmalim, dan juga Parhabonaron di Simalungun. Di komplek ritual seperti Parsaktian Pusuk Buhit dan cagar alam Dolog Tinggi Raja sangat dipantangkan untuk membawa babi sebagai bekal makanan bagi para pengunjung.

Selama ini penulis sering bertanya dalam hati mengapa babi tidak pernah populer dalam cerita rakyat Batak, binatang yang umum dikisahkan dalam cerita rakyat Batak adalah kerbau, kambing, kuda, harimau, burung, ayam, kucing, lembu, rusa, ular, gajah, anjing, dan ikan emas. Makanan tradisional suku Simalungun, Pakpak, dan Karo adalah ayam, sedang pada suku Toba yaitu ikan emas. Dalam cerita rakyat Simalungun dikisahkan bahwa leluhur Purba Pakpak dari Tuntung Batu, Dairi sampai ke tanah ulayat Purba Dasuha karena berburu seekor burung, demikian juga leluhur Purba Girsang yang datang dari Lehu Dairi, demi mengejar seekor rusa juga membawanya sampai ke tanah ulayat marga Sinaga di Naga Mariah Silimakuta. Fenomena yang sama juga dialami Tuan Sindar Lela, leluhur Purba Tambak, karena mengejar seekor burung menjadi jalan baginya bertemu dengan saudarinya Puteri Hijau di tepi sungai Petani dekat Deli Tua.

Demikian juga, Tuan Pining Sori yang menjadi leluhur Saragih Garingging memiliki seekor kerbau bernama Si Nangga Lutu, bersama kerbaunya ia pergi melanglangbuana dari Ajinembah menuju tanah Simalungun hingga sampai ke Raya Simbolon. Di antara keturunan marga Saragih yang disebut dengan Simaronggang, ada yang menjadikan burung enggang sebagai binatang peliharaannya. Leluhur Saragih Sumbayak pada zaman dahulu konon memiliki seekor anjing kesayangan bernama Huring Parburu. Di antara keturunan marga Damanik pada zaman dahulu ada yang bersahabat dengan seekor harimau. Nyaris seluruh nenek moyang suku Batak khususnya Simalungun, mereka hidup bergaul secara akrab dengan sejumlah binatang, bahkan tidak jarang di antara binatang tersebut menjadi juru penyelamat di kala tuannya mengalami ancaman dan kesulitan. Di kalangan etnis Toba khususnya marga Simanjuntak melegenda kisah seekor kerbau yang mengakibatkan perpecahan di kalangan mereka, sejak itulah awal munculnya Simanjuntak Horbou Jolo dan Simanjuntak Horbou Pudi.

Dari uraian singkat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak zaman dulu babi tidak pernah dijadikan sebagai binatang peliharaan apalagi binatang kesayangan. Meski babi sudah sejak lama hidup dan berkembang di tanah Batak, namun dia tidak pernah menjadi konsumsi pokok nenek moyang suku Batak seperti yang terjadi saat ini. Dia hanya dikonsumsi pada kondisi mendesak di tengah minimnya bahan makanan. Hal inilah yang mendasari sehingga babi tidak pernah melegenda dalam kearifan lokal suku Batak.

Kita tidak pernah berpikir, menyadari, dan juga merenung bahwa banyak hal dalam kehidupan budaya kita adalah hasil rancangan atau design dari pihak kolonial untuk memecah persatuan dan kesatuan di antara suku Batak di Sumatera Utara ini, merekalah yang membuat garis-garis batas wilayah suku Batak dan juga melegitimasi penamaan etnis Batak berdasarkan budaya dan bahasanya. Untuk memuluskan politik adu domba mereka, antara etnis Minang, Melayu, dan Aceh didesign agar terpisah dengan Batak dan dibangun sebuah opini agar mereka saling membenci. Karena urusan lambung hubungan antara sesama etnis Batak yang berbeda keyakinan menjadi renggang dan saling menjauh dan fakta ini sudah berlangsung selama ratusan tahun.

KERBAU DAN BABI DALAM PERSPEKTIF ILMIAH

Sejarah Kerbau

Kerbau (bubalus bubalis) merupakan jenis hewan yang termasuk famili bovidae dan sudah dikenal sejak masa prasejarah, terbukti dari beberapa fragmen tulang dan giginya yang ditemukan pada ekskavasi beberapa situs di Indonesia. Di Sumatera situs-situs yang mengandung temuan tersebut antara lain situs Gua Togindrawa, Nias dan Situs Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamiang. Di kedua situs yang merupakan situs mesolitik itu menunjukkan adanya pengkonsumsian jenis hewan famili bovidae. Kemudian di daerah lain yaitu pada situs megalitik juga ditemukan bagian gigi kerbau (bovidae) pada kubur batu (phandusa) di Bondowoso, pada dolmen di situs Telagamukmin, Lampung Utara, serta tulang-tulang hewan ini di bawah menhir di Wonogiri (Sukendar, 1990 : 215). Kerbau dewasa dapat memiliki berat sekitar 300 kg hingga 600 kg. Kerbau liar dapat memiliki berat yang lebih, kerbau liar betina dapat mencapai berat hingga 800 kg dan kerbau liar jantan dapat mencapai berat hingga 1200 kg. Berat rata-rata kerbau jantan adalah 900 kg dan tinggi rata-rata di bagian pundak kerbau adalah 1,7 m. Salah satu ciri yang membedakan kerbau liar dari kerbau peliharaan untuk ternak adalah bahwa kerbau peliharaan memiliki perut yang bulat. Dengan adanya percampuran keturunan antara kerbau-kerbau antara populasi yang berbeda, berat badan kerbau dapat bervariasi. Klasifikasi kerbau masih belum pasti, beberapa autoritas mengelompokkan kerbau sebagai suatu spesies Bubalus bubalis dengan tiga subspesies yaitu :

1. Kerbau liar (bubalus bubalis arnee) moyang bagi kerbau sungai.
2. Kerbau sungai (bubalus bubalis bubalis) yang berasal dari Asia Selatan.
3. Kerbau rawa (bubalus bubalis carabanesis) dari Asia Tenggara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun