Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Pengantar
Nagur merupakan suatu kerajaan kuno (ancient kingdom) yang pernah berdiri di Sumatera Utara sebagai awal dimulainya periode sejarah di kalangan masyarakat Batak Timur yang sering disebut orang Hataran atau Simalungun. Menurut penuturan Tuan Subirman Damanik tinggal di Durian Banggal Kecamatan Raya Kaheian. Terbentuknya kerajaan ini diawali sejak kehadiran seorang Brahmana bergelar Darayad Damanik. Namanya tercatat dalam pustaha kuno peninggalan Kerajaan Nagur. Ia berasal dari golongan bangsa Munda yang datang dari dataran tinggi Chota Nagpur, sebelah timur India meliputi negara bagian Jarkhand, Chhattisgarh, Benggala Barat, Bihar, dan Odisha (dulu Orissa), hingga daerah Assam. Pustaha Nagur menyebut tokoh kesatrya tersebut dengan gelar Narama (naskah ini terbakar tahun 1958 pada masa pemberontakan PRRI)
Narama adalah seorang penganut Hindu Waisnawa pemuja Dewa Wisnu. Ia dianggap sebagai reinkarnasi dari Narayan, dalam mitologi Hindu adalah nama lain dari Dewa Wisnu. Dalam bahasa Sanskerta "Naara" berarti air atau entitas hidup dan "Ayana" adalah tempat istirahat, karena itu disebut "Naarayana" yang berarti tempat istirahat bagi semua entitas hidup. Hubungan dekat Narayana dengan air menjelaskan penggambaran Narayana dalam seni Hindu sedang berdiri atau duduk di samudera. Pengejawantahan penting dari Narayana adalah "Maha Menjadi yang merupakan dasar dari semua orang".Â
Di Simalungun, gelar Narayan ditambah dengan Namanik sehingga penyebutannya menjadi Narayan Namanik yang bermakna "Naibata parsimada tondui pakon sipaulak tondui" (Dewa pemilik entitas hidup dan pengembali entitas hidup). Rakyat Nagur meyakini bentuk kepala Narayan seperti kepala burung enggang dan tubuhnya dibalut dengan jubah putih. Oleh rakyat Nagur, burung enggang diyakini sebagai reinkarnasi dari Narayan Namanik. Pada zaman dahulu, Narayan Namanik biasa dipanggil untuk menghidupkan orang yang baru meninggal (siluk matei) agar hidup kembali, dengan membaca mantera (tabas) yang berbunyi: "Narayan Namanik, roh ma ham sipaulak tondui" sebanyak 1.200 kali. Setelah orang yang meninggal itu hidup kembali, sebagai tebusan ditanamlah pisang sitabar jantan di pinggir halaman dan pisang unsim jantan di pinggir ladang. Usia kehidupannya tergantung dari usia pisang yang ditanam tersebut, bila pisang itu mati, maka manusia itupun akan ikut mati. Pada ujung lidah Darayad ditumbuhi sejumlah bulu sehingga dia sulit untuk menyebut huruf "N", dia pun menyebut Narayan Namanik dengan Darayad Damadik. Nama ini kemudian menjadi gelar baginya dan Damadik perlahan mengalami perubahan bunyi menjadi Damanik.
Tuan Subirman Damanik menceritakan bahwa Narama meninggalkan India akibat terjadi rodi membangun sebuah istana dan tempat pemujaan (parsinumbahan) yang mempekerjakan manusia dan juga kawanan hewan. Para hewan diperintah untuk mengangkut bebatuan dari Mesir untuk diboyong ke India, proses pembangunan istana dan tempat pemujaan ini akhirnya berujung konflik. Untuk menghindari pertikaian yang terjadi, Narayan Damanik lantas memilih meninggalkan tanah kelahirannya, beserta isteri tercintanya seorang puteri Mongol dan para pengikutnya, mereka pergi meninggalkan India dengan menaiki sebuah kapal besar mengarungi samudera luas. Kapal mereka kemudian terdampar di pesisir Selat Malaka, mereka lalu mendarat di daerah Pagurawan (Pargurouan) masuk daerah Batubara sekarang. Peristiwa ini terjadi sekitar abad 4-5 masehi.
Dari tempat ini, Narama beserta rombongannya perlahan masuk ke pedalaman melalui sungai Suka - Laut Tadur - Liang Tanggiripan (Parbatu/Tebing Tinggi) - Sorba Jahei terus ke hulu melalui Bah Balandei - Mariah Nagur - Dolog Simbolon - Sorba Dolog - Dolog Simarsolpah - Raya - Dolog Bah Rubei - Dolog Tinggi Raja - Parti Malayu - Dolog Siandorasi - Partibi Ganjang - Saran Tolbak dan akhirnya mereka sampai di Nagori Banua Sokkur. Tidak lama kemudian empat orang puteranya dari India datang menyusul, namun salah seorang saudari mereka tetap berada di India karena sudah menikah. Mereka berangkat dari India disertai tiga orang teman mereka, yaitu Naraga (Sinaga), Narasi (Purba), dan Narasag (Saragih).Â
Setelah beberapa lama berdiam di Sokkur, ketiganya kemudian menikah dengan cucu Narama. Dari sini diketahui bahwa Narama merupakan perintis jalan (si rottos dalan) bagi kehadiran leluhur marga Sinaga, Purba, dan Saragih ke tanah Simalungun. Di samping sebagai pemimpin, Narama juga memiliki kemampuan di bidang pengobatan (partambaran), selain mengobati kaum manusia dia juga mampu mengobati penyakit yang diidap hewan. Dia memiliki sebuah alat tiup yang disebut Salohap terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai alat untuk mengundang hewan yang hidup di darat maupun di air untuk datang kepadanya. Meskipun dia bersahabat dengan sejumlah hewan, namun dia lebih serasi memelihara ayam, sementara Naraga dan kedua temannya Narasi dan Narasag lebih cocok memelihara gajah, kerbau, dan anjing.
Narama mengakhiri masa hidupnya didampingi isterinya ketika melakukan pertapaan di Liang Sigundaba, sepeninggalnya sosoknya dipuja dan menjadi tokoh yang dikeramatkan. Pengkultusan terhadap sosok Darayad Damadik ini berkaitan dengan konsep Hindu-Buddha yang mengenal istilah "dewaraja", di mana seorang raja dipuja dan dianggap memiliki sifat kedewaan (keilahian) yang bersumber dari Dewa Siwa atau Dewa Wisnu. Bentuk pemujaan ini kemudian berkembang luas di Asia Tenggara yang diperkenalkan oleh para pengembara dari India. Konsep dewaraja dibentuk melalui ritual keagamaan yang dilembagakan dalam pranata kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan raja untuk mengklaim dirinya memiliki wewenang ilahiah yang bisa digunakan untuk memastikan legitimasi politik, mengelola tatanan sosial, menata aspek ekonomi, dan agama. Hal ini juga digunakan untuk menjaga ketertiban sosial, memuliakan raja sebagai dewa hidup yang pastinya menuntut pelayanan dan pengabdian maksimal dari rakyatnya. Seiring dengan itu, sistem kasta sebagaimana yang diterapkan di India turut diperkenalkan untuk menata masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Konsep ini juga terkait dengan Cakrawartin, istilah yang digunakan dalam agama Dharma (Hindu-Buddha) untuk merujuk kepada seorang penguasa jagat yang ideal, seorang maharaja yang bijaksana dan welas asih kepada seluruh makhluk di dunia. Sepeninggal sang raja biasanya didirikan monumen maupun patung yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan sang raja yang telah wafat. Secara politik, gagasan ini merupakan suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan.
Catatan Tentang Nagur