Mohon tunggu...
ᶜᵒᶜᵒмеo
ᶜᵒᶜᵒмеo Mohon Tunggu... Freelancer - Cogito ergo scribe

More Coffee More Beer

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politisi Kemarin Sore

4 Maret 2014   19:24 Diperbarui: 9 September 2015   08:35 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi, ©harianterbit"][/caption]

 

Ada hal menarik dan cenderung konyol yang telah terjadi di ruang rapat Komisi III DPR, Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (3/3/2014). Peristiwa tersebut melibatkan seorang anggota legislatif−yang mungkin beberapa dari kita menyatakan dirinya adalah wakil rakyat yang terhormat− di hadapan tim pakar seleksi calon hakim konstitusi. Tepat sekali beliau adalah Dimyati Natakusuma, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan merupakan calon hakim konstitusi.

 

Pria yang memiliki tiga gelar akademis, yakni Sarjana Hukum, Magister Hukum, serta Magister Sains, jika ditelusuri track record-nya di dunia politik pernah menjabat sebagai Bupati Kab. Pandeglang hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), dan juga menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Republik Indonesia (RI). Ditambah lagi berbagai macam jabatan pernah digenggamnya, seperti Ketua Panja Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi, Ketua Panja RUU Komisi Yudisial, Ketua Panja RUU Perjanjian Internasional, Ketua Panja RUU Kejaksaan, Ketua Panja Pengharmonisasian RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji, Ketua Panja Pengharmonisasian RUU Komisi Pemberantasan Korupsi dan lain sebagainya. Hal tersebut jelas telah membuat kita beranggapan beliau merupakan orang yang telah berpengalaman dalam kancah politik Indonesia dengan segala yang tercantum dalam track record-nya.

 

Namun sayangnya anggapan itu hanya menjadi sebuah anggapan tanpa sebuah realitas yang patut dibanggakan dan tampaknya tidak dapat dipungkiri jika beberapa orang kemudian menganggap Dimyati sebagai politisi kemarin sore (jika tidak ingin dianggap memalukan), walaupun dengan segala track record yang dimilikinya. Mengapa bisa ditengarai seperti itu? Jawabannya jelas sudah terbukti pada saat seleksi calon hakim konstitusi yang diadakan oleh Komisi III DPR. Dimyati seperti sedang mengalami hari yang buruk, dia tampak kewalahan menjawab pertanyaan dari tim pakar seleksi calon hakim konstitusi, yang beberapa di antaranya bergelar Profesor.

 

Seperti yang kita ketahui, bahwa beberapa pertanyaan yang diajukan tim pakar seleksi calon hakim konstitusi patut untuk ditelisik dan menjadi konsumsi berita yang bisa menjadi pembelajaran bagaimana seharusnya menjadi seorang politisi yang baik itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diantaranya adalah, pertanyaan dari Profesor Natabaya tentang mengapa dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tidak mengatur mengenai uji materi (judicial review) dan tentang mana yang dianggapnya lebih besar antara negara dengan konstitusi. Namun, keseluruhan jawaban Dimyati sangat tidak memuaskan.

 

Bahkan saat menjawab  pertanyaan tentang mengapa dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tidak mengatur mengenai uji materi (judicial review), alih-alih menjawab sesuai dengan bidang keilmuanya, jawaban Dimyati malah terkesan lugu layaknya seoraang anak Sekolah Dasar (SD) yang ditanya oleh gurunya. "Karena tahun 1950 itu tidak ada MK," kata Dimyati. Sangat disayangkan keluguan tersebut.

 

Jawaban berikutnya pun tidak kalah lugunya, Dimyati bahkan menggambarkan dirinya sendiri sebagai politisi yang tidak mengerti konstitusi adalah saat pertanyaan tentang mana yang dianggapnya lebih besar antara negara dengan konstitusi. Dimyati menjawab, "(lebih besar) negara, karena terdiri dari tanah dan air." Mendengar jawaban Dimyati tersebut, Profesor Natabaya langsung meralatnya. "Salah. Negara itu terdiri dari tiga hal, rakyat, pemerintah, dan Undang-Undang. Nah, konstitusi itu ada dalam Undang-Undang. Begitu penjelasannya," ujar Natabaya. Hum, jawaban anda tidak lebih baik dari anak SD, pak. Sangat tidak layak menjadi anggota DPR.

 

Tidak cukup sampai di situ, berbagai macam pertanyaan dari Profesor Lauddin Marsuni yang dijawab oleh Dimyati bisa membuat kita, rakyat Indonesia tercengang, bahwa sebegitu lemahnya pola pikir seorang Dimyati. Termasuk di antaranya adalah saat Dimyati menjawab bahwa izin untuk mendaftar sebagai calon hakim konstitusi hanya dari partainya saja PPP, tampaknya dia lupa bahwa sekarang dia adalah anggota DPR yang mana berarti dia adalah wakil rakyat bukan wakil dari partainya. Jadi, tampak jelas bagaimana pola pikir serta kapasitas Dimyati dari semua jawabannya.

 

Dari kejadian tersebut tersirat dengan jelas “kekonyolan” bahkan “keluguan” seorang Dimyati yang saat ini merupakan wakil rakyat yang terhormat. Bahkan rekannya sesama anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Suding sempat mengeluarkan pernyataan menggelitik untuk menanggapi salah satu pertanyaan yang membuat Dimyati terkesan tidak cerdas, "Wah kalau itu pertanyaan jebakan," ujar Suding sambil tersenyum. Namun rasanya secara logika akademik, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Tim Pakar seleksi calon hakim konstitusi bukan jebakan sama sekali bahkan tidak ada satupun pertanyaan bisa dikategorikan sebagai jebakan. Jika merunut dan mengidentikkan dengan wawancara kerja, maka banyak sekali pertanyaan-pertanyaan serupa ditemui. Tujuannya adalah, bagaimana dan sejauh apa para tim pakar seleksi calon hakim konstitusi menilai Dimyati merupakan sosok yang mumpuni, berintegritas dan tentu saja layak dengan segala kapasitas dan kemampuannya untu ditunjuk sebagai negarawan. Jadi, bukan sebuah pertanyaan-pertanyaan tanpa arti ataupun mungkin sebuah jebakan seperti yang diungkapkan Sarifuddin Suding.

 

Sebuah kerja yang hebat dari para tim pakar seleksi calon hakim konstitusi yang harus diapresiasi dan layak diacungkan jempol sehingga bisa menyingkap kecerdasan, pola pikir maupun kapasitas dari seorang anggota legislatif bahkan dengan posisinya sebagai anggota Komisi III yang membidangi masalah hukum. Dengan demikian terjawab sudah sejauh apa kapasitas Dimyati yang berniat maju sebagai Hakim Konstitusi (negarawan) dan kapasitasnya terhadap posisinya saat ini sebagai wakil rakyat yang terhormat. Dengan hormat saya nyatakan NOL BESAR!!!

 

Saya yakin, di Senayan sana, tidak hanya seorang Dimyati yang mempunyai kapasitas seperti itu (politisi kemarin sore). Masih banyak bahkan tidak menutup kemungkinan jika jumlahnya mencapai 50% atau bahkan lebih, dan hal ini patut untuk dicermati. Maka, sudah selayaknya untuk memaknai kejadian yang menimpa Dimyati sebagai sebuah pembelajaran dan tidak ada kata terlambat untuk belajar. Selagi kalian para calon anggota legislatif yang gencar menyuarakan pemberian pendidikan politik bagi kami rakyat Indonesia, sepantasnya juga kalian mempelajari apa itu konstitusi dan bagaimana menjadi insan yang konstitusi bukan konstituen seperti yang telah diajarkan para founding father negara kita, Indonesia. Tiga hal penting yang harus ditanamkan dalam benak kalian, para wakil rakyat terhormat, yakni konstitusi, integritas dan pola pikir akademis merupakan keniscayaan. Bukan hanya melulu mengenai kekuasaan, uang dan popularitas yang sudah membuat rakyat muak.

 

Dalam sebuah peristiwa, pasti selalu terkandung sebuah pesan positif maupun negatif di dalamnya, selama menggunakan “kacamata” skeptis untuk menyikapinya. Terimakasih sebesarnya untuk para tim pakar seleksi calon hakim konstitusi yang sudah “menelanjangi” Dimyati di “kandangnya” sendiri sehingga rakyat Indonesia bisa tahu seberapa lemahnya kapasitas mereka politisi kemarin sore termasuk Dimyati sebagai legislator negara yang kita cintai, Indonesia. Dan alangkah bijaknya jika Dimyati rela untuk mengundurkan dirinya sebagai wakil rakyat yang terhormat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun