Per tanggal 9 Juli 2015, Fédération Internationale de Football Association (FIFA) resmi mengonfirmasi rangking FIFA. Indonesia turun sembilan tingkat menempati urutan ke-164 dunia—bukan hal yang mengejutkan, dan yang justru menarik untuk dicerna adalah pertama kalinya sepanjang sejarah federasinya, Wales berada di antara sepuluh negara terbaik dunia. Apa yang bisa dipelajari PSSI dari lonjakan Wales ini?
Kegagalan Chile menaklukan Argentina dalam tempo 90 menit di Copa America turut mempengaruhi Wales menembus 10 besar dalam rangking FIFA—sejarah terbesar yang pernah diukir Wales hingga kini. Elevasi mendadak Wales tidak serta-merta terjadi begitu saja, diawali rekor terburuk yang pernah ditorehkan mereka pada rangking FIFA (peringkat ke-117) sekitar empat tahun lalu, kini rekor terbaik justru mereka genggam. Baru saja FIFA mengonfirmasi anak asuh Chris Coleman tersebut berada di peringkat ke-10, jelas kebanggaan bagi seluruh masyarakat Wales.
Untuk tahun-tahun berlalu, rangking FIFA bukanlah sesuatu yang difokuskan oleh Wales, khususnya supporter mereka dikarenakan mereka adalah tim inferior yang terbiasa takluk oleh tim-tim mapan di zona Eropa, ditambah sumber daya mereka bagi tim nasional sangat terbatas. Bagi sebagian orang, bisa mengingat Wales telah memiliki beberapa pemain prominen seperti Neville Southall yang merupakan pemegang Caps terbanyak bagi Wales hingga kini, kemudian Ian Rush dan Mark Hughes yang merupakan penyerang prolifik, legenda hidup Manchester United, Ryan Giggs hingga yang terkini sang pemain termahal dunia, Gareth Bale. Namun talenta-talenta hebat Wales itu saat berada dalam era keemasan tidak pernah bermain bersama dalam satu era. Bisa dikatakan, Wales merupakan tim medioker yang secara sporadis mampu melahirkan talenta berbakat.
Inferioritas Wales merupakan hal yang wajar namun terdengar aneh jika dibandingkan negara-negara di zona Eropa. Tidak seperti beberapa negara inferior semacam Malta, Faroe Island, San Marino hingga bahkan Liechtenstein—kalian menyebut demikian—Wales memiliki talenta-talenta yang mampu menarik minat klub-klub top flight liga-liga di Eropa di samping sistem kompetisi di negara mereka tergolong cukup baik bahkan dua klub sekaligus yang bermarkas di Wales pernah menciptakan rekor mengarungi kompetisi di English Premier League (Swansea dan Cardiff City). Namun dalam hal tim nasional, mereka jelas bukan unggulan. Bandingkan dengan negara semacam Slovenia dan Croatia yang sama-sama baru terbentuk sebagai negara berdaulat tahun 1991. Slovenia mampu berkompetisi di Euros sembilan tahun setelah merdeka, Croatia bahkan lebih superior, mereka merupakan negara langganan turnamen-turnamen mayor, yakni Euro dan World Cup. Jika itu belum cukup, bandingkan mereka dengan rival-rival regionalnya yakni, Ireland maupun Scotland. Jika Scotland terakhir kali muncul dalam turnamen mayor di World Cup 1998 sementara Ireland di Euros 2012 maka Wales lebih buruk lagi, pencapaian terakhir mereka pada turnamen mayor adalah saat lolos kualifikasi World Cup 1958-satu-satunya turnamen mayor yang diikuti hingga kini. Jadi dibandingkan dengan tim-tim superior Eropa seperti Germany, Italy hingga Spain, Wales pada dasarnya merupakan tim semenjana yang dimaksudkan hanya untuk tidak kalah memalukan jika bertanding menghadapi tim-tim superior tersebut.
Bagi Wales posisi yang diraih saat ini juga membuat Wales akan dijadikan sebagai unggulan teratas pada undian kualifikasi World Cup 2018 yang akan dilakukan pada 25 Juli ini. Hal tersebut tentu berdampak positif bagi Wales, mereka dipastikan akan terhindar dari beberapa tim besar langganan World Cup semisal Germany, England, Netherlands, Portugal, Croatia dan Spain; yang membuat peluang Wales lolos dari kualifikasi World Cup untuk keduakalinya membesar. Sebagai catatan, dalam beberapa kualifikasi World Cup yang sudah mereka lalui, Wales hanya ditempatkan sebagai unggulan terbawah bersama negara-negara seperti San Marino, Andorra Kazakhstan, Malta dan Luxembourg.
Jadi, bagaimana Wales mampu memperbaiki posisinya pada rangking FIFA yang pernah berada di luar 100 besar, namun kini malah menembus 10 besar bahkan di atas Italy, Spanyol dan France?
KECAKAPAN MANAJERIAL
Berbagai hasil buruk yang diraih Wales di era John Toshack—Wales hanya meraih total 10 kemenangan pada kualifikasi—mengarahkan Football Association of Wales (FAW) menunjuk mendiang Gary Speed untuk mengemban tugas negara.
Dengan hanya berpengalaman melatih Sheffield United dalam kurun waktu empat bulan, awal era kepelatihannya bagi Wales terkesan biasa saja dan kurang memuaskan. Kalah pada partai persahabatan perdana melawan Ireland 3-0 dan juga partai kompetitif perdana saat menhadapi England (keduanya adalah rival regional abadi Wales). Setelahnya, Wales mulai terbiasa dengan metode kepelatihan Speed dan memutarbalikkan semua kegagalan.
Kemenangan demi kemenangan dengan segera diraih, tentu saja saat bertemu lawan-lawan kuat dan memiliki rangking FIFA di atas Wales seperti Montenegro, Switzerland dan Bulgaria. Sebuah kemenangan pada partai persahabatan melawan Norway juga memiliki dampak signifikan bagi Wales. Pada akhirnya, hanya dalam jangka waktu dua bulan setelah mencatat rekor terburuk peringkat FIFA, Wales segera melesat meraih peringkat ke-45 FIFA. Itu berarti, Wales melampui sebanyak 72 lompatan dalam hal memperbaiki peringkat. Wales kemudian diberikan penghargaan sebagai ‘FIFA's best movers’ sepanjang tahun 2011.
Jadi, salah satu bagian terpenting bagaimana Wales mampu memperbaiki posisinya pada rangking FIFA adalah kecakapan manajerial yang dimiliki oleh Speed dan apa yang telah dilakukan Speed tidak bisa dianggap remeh.