[caption caption="ilustrasi, ©beritasatu.com"][/caption]
Sebuah iklan anonim “Kutunggu Janjimu” yang tayang di tiga stasiun televisi swasta yang ditengarai menyudutkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) dari Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) dalam beberapa hari terakhir telah menyita perhatian publik. Bahkan kasus ini pun sudah masuk dalam pantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dan jika ditelisik lebih jauh lagi, kasus ini pun juga sudah menjadi konsumsi khalayak umum yang menimbulkan pro dan kontra.
Yang menjadi pokok permasalahan selanjutnya adalah apakah tepat jika Jokowi dan PDIP ataupun KPI serta Bawaslu mempermasalahkan iklan tersebut bahkan membawanya ke ranah hukum? Sejatinya, iklan anonim “Kutunggu Janjimu” merupakan sebuah nuansa baru dalam perpolitikan Indonesia. Dalam pemilu-pemilu sebelumnya, sudah menjadi hal yang lazim ditemui iklan-iklan pada media massa yang berisikan tentang pencitraan dirinya sendiri dan pemaparan isu-isu mengenai program-program yang diusung dalam kampanye partai tersebut. Iklan anonim “Kutunggu Janjimu” dapat ditafsirkan sebagai produk dari iklan politik dan tidak tepat jika diasosiasikan sebagai sebuah kampanye hitam (Black Campaign) dikarenakan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya merupakan fakta-fakta yang tak terelakkan serta telah diketahui khalayak umum tanpa ada unsur menyinggung perasaan dan merendahkan martabat orang pribadi (jika memang dimaknai telah terjadi hal tersebut maka itu merupakan misinterpretasi dan nilai subjektivitas).
Dalam perspektif ilmu komunikasi politik yang merupakan turunan dari ilmu komunikasi serta ilmu politik, dijelaskan bahwa iklan politik merupakan segala bentuk macam promosi yang berkaitan dengan kegiatan politik. Akan tetapi, harus diingat pula bahwa iklan politik ini tidak hanya berjenis iklan strategis maupun iklan taktis layaknya iklan konvensional yang tujuannya membangun citra ataupun mempersuasi. Robert Baukus dalam Combs (1993) membagi iklan politik atas empat macam, yakni; iklan serangan, yang ditujukan untuk mengdiskreditkan lawan; iklan argumen, yang memperlihatkan kemampuan para kandidat untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi; iklan ID, yang memberi pemahaman mengenai siapa sang kandidat kepada para pemilih; dan iklan resolusi, di mana para kandidat menyimpulkan pemikiran mereka untuk para pemilih. Dari empat macam jenis iklan tersebut, maka iklan anonim “Kutunggu Janjimu” dapat dikategorikan sebagai iklan serangan.
Iklan serangan ini lazim terjadi pada pemilu Amerika Serikat yang memang lebih stabil citra perpolitikannya dibanding Indonesia. Sebagai contoh kala George W. Bush secara ekstrem menyerang Bill Clinton pemilu presiden 1992 namun dibalas Clinton dengan cara yang elegan dalam arti tidak membawanya ke ranah hukum melainkan menggunakan strategi hit back harder strategy, yaitu strategi serang dan balas (dengan memonitor semua statement atau pernyataan yang dikeluarkan oleh Bush maupun Rose Perot yang ada di semua media massa). Lebih jauh ke depan, tepatnya menjelang pemilihan presiden 2008, perang iklan politik juga terjadi. Kubu Barrack Obama menayangkan iklan yang memperlihatkan saingannya kala itu John McCain, dalam iklan politiknya. Dan apa yang dilakukan McCain juga tidak mempermasalahkannya maupun membawa ke ranah hukum akan tetapi membalasnya dengan memajang klip Obama dalam iklan politiknya yang cukup controversial “The One”.
Contoh-contoh di atas hanya ingin menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dengan iklan anonim “Kutunggu Janjimu”. Jika dikatakan telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (pasal 58) yang menyatakan bahwa sebuah iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat orang pribadi, kelompok, ideology, SARA, tampaknya KPI menafsirkan iklan politik tersebut seperti halnya iklan-iklan konvensional yang sudah familiar bagi khalayak umum. Atau bahkan KPI terkesan ketinggalan jaman karena tidak mengadopsi mengenai edukasi politik yang di dalamnya mengajarkan kita akan arti pentingnya sebuah iklan politik?
Jika pesan-pesan yang terkandung di dalamnya merupakan fakta-fakta mengapa harus dipermasalahkan atau bahkan membawanya ke ranah hukum? Lagi pula pemerintah selalu menekankan tentang adanya edukasi politik. Jadi, nuansa baru tentang jenis iklan politik ini tidak bisa dikesampingkan dan harus dipahami mengenai esensi serta substansinya.
Iklan anonim “Kutunggu Janjimu” adalah terobosan baru bagi politik Indonesia. Alangkah bijaknya jika Jokowi maupun PDIP tidak menyikapinya secara reaktif namun mencoba untuk mengadopsi hit back harder strategy seperti yang diterapkan Clinton ataupun speak softly and carry a big ad yang menjadi strategi kubu Obama pada pemilihan presiden 2008. Sementara Bawaslu berperan sebagai pengamat serta mengawasi agar tidak keluar dari ketentuan yang berlaku. Dan diharapkan KPI dapat mengadopsi aturan-aturan yang berlaku agar tidak ketinggalan jaman.
Salam damai Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H