Mohon tunggu...
Rizki Aljupri
Rizki Aljupri Mohon Tunggu... -

Young Professional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sisi Lain Prabowo Subianto

15 Juni 2014   07:54 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:41 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekapur sirih yang berjudul "Kutatap Tulus Cinta di Matanya" dari seorang mahasiswa S3 Indonesia, Prayudhi Azwar, yang sedang menempuh pendidikan di University of Western Australia. Tulisan ini dibuat setelah yang bersangkutan menonton debat pertama calon presiden antara Bapak Prabowo Subianto dan Joko Widodo:

"Reaksi jenderal yang dahulu kusangka agresif dan kejam, ...sungguh di luar dugaan. Tak sekalipun dia menyerang memojokkan lawannya. Tak pula dia menyindir atau menatap sinis lawan debatnya. Bahkan tak segan dia memuji, menghormati pendapat rivalnya.

Saat dipojokkan kembali dengan isu HAM yang menderanya dan membunuh karirnya 16 tahun lalu, dia bisa saja memojokkan kembali dengan menjawab: “tanya kepada bu Megawati, mantan presiden yang pernah mengangkat saya sebagai Cawapres 2009″? Atau bertanya kembali, “kenapa Pak JK sendiri tidak adili saya waktu Bapak menjabat Wakil Presiden?”

Tapi tidak. Memojokkan bukan sifatnya, tidak ada dalam jernih pikirannya. Mungkin karena begitulah sifat ksatria. Sifat seorang negarawan. Maka dia hanya berkata: “tanyalah kepada atasan saya”.

Atasan yang kita semua tahu persis berada justru di kubu Pak JK sendiri. Usai debat, beliau bukan hanya hangat menyambut memeluk rivalnya. Juga saat ditanya wartawan, dengan ringan dia menjawab: “saya harus mau diserang”.

Dia juga tidak keberatan pesaingnya berbangga hati menunjukkan prestasi terpilih menjadi kepala daerah. Padahal kita semua tahu bahwa dialah orang yang pertama mengusungnya.

Sejujurnya, tak banyak saya melihat pribadi dengan karakter yang seikhlas dirinya, saat ini. Batin saya seolah menangkap kilau kepribadiannya. Kepribadian yang akan mampu menyatukan elemen-elemen yang terserak di negeri ini.

Sejarah telah mencatat pengorbanannya untuk bangsanya. Mempertahankan keutuhan NKRI dengan darah dan nyawanya. Dan itu terjadi berulang kali. Di pertempuran di Timor-Timur, dalam misi impossible pembebasan sandera sipil di Mapenduma, penangkapan 2 agen berkulit putih tahun 1984, yang menyulut disintegrasi Papua, dan dalam berbagai operasi tempur berat lainnya. Dia tak tonjolkan semua bakti yang telah ditorehkan untuk ibu pertiwi yang dicintainya, dengan sepenuh jiwa raganya.

Karena itulah, keteguhan kata-katanya memberi makna yang dalam bagi yang memahami bersih nuraninya. “Saya sekian tahun adalah abdi negara, yang membela HAM. Mencegah kelompok radikal mengancam hidup orang-orang yang tidak bersalah,”

Lalu di mana kita? Di mana nurani?

Kenapa kita rakyat sipil, yang katanya lebih beradab, dan yang telah dijaga hak hidup dan keleluasaan menjalankan berbagai jenis usaha, masih tetap terdorong memojokkannya. Tidak cukupkah kita menyaksikan betapa para jenderal-jenderal senior yang semestinya berjiwa korsa itu terus menuduhnya sebagai psikopat, gila, pelaku bom natal dan membebankan dosa satu institusi TNI tahun 1998 di pundaknya, seorang sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun