Ruang Publik yang Terbuka Hijau , Menuju Investasi Permukiman Indonesia Hijau Berkelanjutan .
Dalam kondisi menghadapi isu lingkungan global, jika bicara tentang Ruang Publik, saya cenderung memilih Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai bagian Ruang Publik. Ramah lingkungan. Greeny dan Suistainable.
Undang-undang nomor 26 tahun 2007 mengungkapkan, bahwa sebuah kota idealnya memiliki 30 persen ruang terbuka hijau. Bahwa Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam.
Ruang Terbuka Hijau sebagai Ruang Publik, bukan hanya taman-taman dan atau kawasan resapan air bantaran sungai/danau. Ruang Terbuka Hijau meliputi Habitat Liar alami, kawasan lindung, pertanian kota, lapangan olah raga, permakaman, yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki pemerintah.
Contoh soal, Kota Bandung sebagai kota besar dan ibukota Provinsi. Faktanya hanya memiliki 1.700 Hektare Ruang Terbuka Hijau. Atau hanya 8.76 persen dari luas keseluruhan. Idealnya untuk kota seluas 16.279,65 hektare ini,RTH nya aalah 6.000 hektare. Atau 30 persen dari luas. (sumber: rth.bandung.go.id)
Perpres nomor 60 tahun 2020 mensyaratkan setiap developer Jabodetabek -- Bopunjur menyediakan minimal 30 persen Ruang Terbuka Hijau.
Begitu pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Hijau. Sayangnya, justru Ruang Terbuka Hijau di perkotaan adanya terpusat di perumahan-perumahan elite. Di kawasan-kawasan kelas atas.
Untuk Kota Bandung, contohnya taman-taman publik (Taman Pustaka Bunga, Taman Lansia, Taman Pet, Taman Cibeunying) di jalan Cisangkuy, Cilaki, Citarum, jalan RE Martadinata (Taman Pramuka) dan sekitarnya. Banyak taman-taman peninggalan Belanda di daerah elite Kota Bandung.

Di real estate ternama, ruang terbuka hijau dan taman-taman publiknya membentang megah.