Masyarakat begitu antusias atas perhelatan HUT KAA ini. Begitu mempesonanya tayangan di berbagai media, baik cetak, layar televisi, kompasiana, dan web sitenya Indonesia Travel. Termasuk banyak spanduk yang menghiasi segala sudut kota.
Untuk meredam tumpah ruahnya seluruh warga Bandung ke alun-alun, yakni Ring 1,2,3, sekitar Gedung Merdeka jalan Asia Afrika Bandung. Walikota Bandung beserta unsur pemerintahan Kota Bandung , memiliki gagasan cemerlang.
Sebelumnya simak dulu VIDEO , Klik Tulisan ini : GEBYAR PENTAS SENI RAKYAT KECAMATAN RANCASARI , Kota Bandung

Pada tanggal 24 April , warga kota tidak terkonsentrasi di tempat perhelatan kota Bandung (alun-alun Gedung Merdeka), karena konsentrasi dipecah oleh daya tarik perhelatan rakyat di setiap kecamatan. Untuk ikut bergembira dalam ajang Gebyar Seni Rakyat. Keriaan sejenis pesta rakyat yang menampilkan kemampuan seni warga setempat. Mereka unjuk kabisa, menghibur warga , dari warga untuk warga.
Juga mereka yang memiliki produk, ada yang menggelar bazaar. Ide cemerlang ini terbukti ampuh, sehingga pengendalian keamanan di Ring 1,2,3 lebih mudah. Cara persuasif ini memberikan efek kegembiraan bagi warga. Meski tak bisa hadir ke pusat kota, tempat perhelatan akbar berlangsung, tapi tetap ceria .

Perhelatan Rakyat, Semangat Konferensi Asia Afrika, Tingkat Kelurahan, Tingkat Kecamatan

Hari masih pagi ketika jalan Merkuri (Kantor Kelurahan Manjahlega) Margahayu Raya diramaikan oleh simbol-simbol keriaan semangat 60 tahun Konferensi Asia Afrika. Meski terbilang jauh di pusat kota, tempat para tamu dari negara-negara Asia Afrika berkumpul di Gedung Merdeka, jalan Asia Afrika, alun-alun Bandung.
Margahayu Raya adalah kompleks perumahan sejak tahun 1980an yang dibangun oleh kelompok Margahayuland, di Bandung Timur.
Pagi penuh senyum dan semangat. Sejalan gempita yang pernah menggemakan pidato Bung Karno, dalam memperjuangkan harkat derajat kemanusiaan segala bangsa ,hak azasi untuk merdeka. Gema menentang segala bentuk kolonialisme. Tanpa membedakan seuku, bangsa , agama dan warna kulit. Ada nama Nelson Mandela (tokoh pejuang apartheid) yang memperjuangkan persamaan hak kulit putih dan kulit hitam di Uni Afrika Selatan.
Matahari kian benderang mengiringi derap barisan para ibu PKK warga setempat bergerak jalan santai. Sebagai bentuk dukungan dan penyegaran kembali semangat juang para pendahulu kita. Semangat kebersamaan dan persatuan. Karena hari itu, Jum’at pagi, 24 April 2015, di kota Bandung tengah berlangsung puncak peringatan HUT Asia Afrika ke 60, di Gedung Merdeka Bandung.
Meski berjarak lumayan jauh, beberapa kilometer dari pusat perayaan HUT KAA, kawasan Bandung Timur tetap menyemarakkan hari semangat tersebut. Gerak jalan santai akan berujung di tempat warga 4 kelurahan dalam satu kecamatan berbaur. Dari warga untuk warga, pagelaran kesenian rakyat, yang betul-betul menjunjung nilai seni tradisionil Indonesia. Ada yang menyebut pesta rakyat, seni yang merakyat.
Ini bentuk kebersamaan dan persatuan bangsa, dalam lingkup institusi terkecil dan sederhana, yakni keluarga/rumah tangga. Para ibu dan bapak mewakili berbagai keluarga, lalu mewakili tingkat RT dan RW dari 4 kelurahan (Manjahlega, Cipamokolan, Derwati, Mekarjaya) .
Semua berbaris dalam gerak jalan santai , dengan karnaval rakyat, dan pawai sederhana, namun meriah dan penuh kegembiraan. Dari berbagai kelompok kelurahan, semua berkumpul, menjadi satu kecamatan, Rancasari. Tujuannya, menyatukan semangat , kala berkumpul di pelataran parkir Lotte Mart. Jalan Soekarno Hatta Bandung Timur.
Cantiknya Kesenian Rakyat dan Lezatnya Nasi Liwet Rakyat
Gerak jalan santai, simbol langkah bangsa yang maju ke depan. Berangkat dari kelurahan masing-masing, sambil menghayati kesederhanaan pemimpin Asia Afrika tempo dulu. Dulu mereka beralan kaki menuju Gedung Merdeka.
Di antara peserta, banyak juga yang sehari-hari sibuk, malah tak pernah menyusuri kompleks perumahannya sendiri. Saat jalan santai inilah kesempatan berjumpa dengan sesama pemukim, tetangga jauh, dan bercengkerama dengan keluarga.
Begitu memasuki pelataran Lotte Mart, terdengar hiruk pikuk musik perkusi ala Sunda. Seperti seruling dan rampak kendang. Aduhai serunya. Barisan kami yang membawa spanduk disambut dengan ucapan selamat datang.

Panggungnya ternyata panggung instan. Sebuah mobil disulap menjadi panggung. Atraksi seru bakalan digelar sepanjang hari. Jarang ada kemeriahan seperti ini. Bahkan pesta Agustusan saja hanya sporadis. Di tempat ini kita bisa berjumpa dengan sesama warga satu kecamatan, teman lama, dengan kebolehan masing-masing unjuk kabisa.
Gerak jalan dari setiap Kelurahan bukan gerak jalan biasa. Banyak peserta mengenakan kostum menarik. Lebih pantas disebut berpawai. Sepanjang jalan mengundang perhatian dan menghibur. Karena di belakang peserta gerak jalan sejumlah peserta menggunakan egrang. Kalau dulu ini suka disebut jajangkungan. Karena kalau pakai egrang orang bisa jangkung. Cocok sekali kalau melewati genangan air banjir ya. Hayo, zaman sekarang jarang orang bsia menggunakan alat yang terbuat dari bambu ini.

Tarian Sunda yang dibawakan bocah-bocah setempat begitu sakralnya. Mereka cantik-cantik . Kesenian dan tarian Sunda merupakan seni yang mengasah kepekaan hati dan pikiran, menebarkan kelembutan.
Ada pula gelar seni bela diri Sunda. Pencak silat adalah seni bela diri yang sudah turun temurun. Dengan iringan seruling dan kendang, gerak gerik seni bela diri ini dipertontonkan oleh bocah-bocah Kelurahan Manjahlega.

Di bawah panggung tampak gadis cantik yang akan naik pentas memerankan sandiwara bobodoran (komedi) sebagai Syahroni. Istilah Syahrini imitasi. Ia akan berpasangan dengan seorang kader PKK RW 04 Manjahlega, yang mengenakan kostum daur ulang. Kostum yang dibuat dari limbah plastik. Ibu Agus yang kesehariannya getol membuat kerajinan tangan daur ulang ini , ternyata memang pernah menjadi juara mendongeng se Bandung yang diadakan oleh kelompok Gramedia beberapa tahun silam, saat pameran akbar di Bandung.
Pantas saja ia tak canggung berakting alias di atas pentas.

Baru usai gemulainya pencak silat, tiba-tiba terdengar dentuman kendang, musik seperti pengantin khitanan, datang dari arah timur. Dari kejauhan kostum merah menyala dalam tarian dinamis. Barongsay . Hanya saja barongsaynya berupa boneka naga yang meliuk-liuk. Mereka berpawai, sepanjang jalan menghibur warga yang terlalui jalannya. Kini di depan panggung liukan naga merah menari-nari. Menyedot perhatian luar biasa, riuh tepuk tangan dan sorakan kagum pengunjung tak terbendung lagi.

Selesai tarian sang naga, terdengar lagu berbeda, masih irama gamelan dan kendang Sunda. Ternyata kami dikejutkan oleh tarian kuda. Hahaha, lucu dan menggemaskan, kuda berhias, menarik delam berhias, jalannya menari-nari. Bahkan saat kuda itu parkir, jika diperdengarkan musik, ia menari di tempat. Lucuuuuuu.

Pentas pagelaran seni terus berlanjut. Karena lapar, penulis memilih mengunjungi koridor dimana aroma masakan terhirup.
Sepanjang koridor berbaris meja dengan aneka jenis nasi liwet , dengan sambal, ikan dan ayam , tempe, lalaban… membuat kami lapar. Ternyata ada lomba nasi liwet. Penampilan mengundang selera, aromanya membuat makin lapar saja.
Pembawa acara mengumumkan, pengunjung boleh makan gratis. Tentu saja pengunjung bergembira, serasa dimanjakan saja. Aduh, serunya acara siang ini. Sudahlah bisa menonton gratis berbagai pementasan , dijamu santap siang spesial khas Sunda pula.

Keriaan di setiap kecamatan masing-masing, setidaknya mampu membagi kegembiraan warga atas berlangsungnya HUT KAA. Tanpa harus datang ke kota. Pasalnya , di tempat puncak pelaksanaan HUT KAA, banyak kawasan yang disteril.
Bukankah kita bisa menyimak acaranya lewat layar televisi. Jadi, nikmati saja pesta Rakyat. Ternyata kesenian bangsa kita itu kaya dan banyak ragamnya ya.

Memahami Semangat Negara Asia Afrika.
Tak kenal , maka tak sayang. Dulu peristiwa demi peristiwa yang bermuara di KAA ini sangat lekoh di anak-anak SD yang belajar sejarah. Ketika guru sejarah tahun 1970an bercerita tentang perjuangan bangsa ini, penulis suka terharu. Mungkin guru SD saya begitu pandai menuturkan sejarah. Sehingga tidak seperti sedang sekolah, tapi serasa sedang menonton film saja.
Guru SD saya tersebut mengungkapkan kisah-kisah tragedi bangsa terjajah.
Sekedar mengingatkan , Indonesia memiliki keragaman nilai luhur seni budaya yang kaya filosofi, dalam , sarat kariefan lokal. Nilai-nilai kekeluargaan, budaya toleransi tinggi, adalah warisan indah leluhur. Kebhinnekaan yang tetap tunggal ika , adalah akar sebuah kekuatan untuk bangsa kita maju dalam sejahtera dan kemakmuran. Perjuangan, jerih payah, bekerja serius, dan berkesenian dengan nurani bening. Saling menghargai, saling menerima, saling memaklumi, dan menjalin ikatan yang lebih kompleks , sebuah bangsa besar.

Warga masyarakat dari berbagai kelurahan menyatu dalam sebuah kecamatan. Ibarat Negara-negara Asia Afrika yang mampu menjalin satu kekuatan berangkat dari semangat juang yang tinggi.
Kilas balik ke tahun 1955. Pada masa itu kolonialisme oleh blok barat terhadap negara-negara Asia Afrika membuat banyak bangsa terpuruk dibelenggu penjajahan. Beranjak dari persamaan nasib, tumbuh semangat juang yang satu.
Gelora semangat Bung Karno dan Nelson Mandela (Afrika Selatan) , disokong gagasan gemilang PM Ali Sastro Amijoyo (Indonesia), Muhammad Ali (Pakistan), Sir John Kotelawala (Ceylon, sekarang Srilanka), Pandit Jawaharlal Nehru (India) , U nu (Birma, sekarang Myanmar). Mereka mengagas Konferensi Asia Afrika.
Sebuah ajang pertemuan yang menggemparkan dunia. Mungkin juga menggentarkan negara-negara imperialis. Agenda melawan kolonialisme, dengan menjalin kerjasama ekonomi dan kebudayaan. Hingga sepakatlah tercetus DASASILA BANDUNG.
Ternyata mengasyikkan juga menelaah sejarah dan kisah-kisah heroik, proses terjadinya Konferensi Asia Afrika yang melibatkan 29 negara tersebut. Mungkin , bagi generasi masa kini, melankolisnya pahit getir perjuangan pahlawan kemerdekaan, tidak sedalam generasi sebelumnya. Utamanya mereka yang pernah hidup di masa penjajahan dan peperangan. Namun jika kita merenungi dinamika perjuangan para pendahulu negeri kita ,bikin merinding. Terharu, dan menggugah semangat kembali.
Di tahun 1950an hingga 1970an lagu-lagu kebangsaan dan perjuangan, rasanya begitu menyentuh. Kesenian rakyat mewarnai hari-hari bangsa kita. Identitas bangsa masih jelas dan lekat.
Hari ini semangat yang identik dengan Gempita Peringatan Asia Afrika terwujud dalam gelar seni rakyat. Perhelatan yang menyatukan ribuan warga satu kecamatan. Mereka yang keseharian sibuk dan tak sempat berkomunikasi dengan tetangga, warga sekitar, tumpah ruah di kawasan ini.


Di seluruh pelosok Bandung, hari Jum'at 24 April 2015, setiap kecamatan mengadakan pesta rakyat, dengan gelar seni rakyat. Kebetulan penulis hadir di perhelatan Gebyar Seni Rakyat Kecamatan Rancasari Kota Bandung. Semangat persatuan dan kebersamaan, saling mengisi dan bahu membahu , menuju hari depan bangsa yang gemilang. Sejalan dengan semangat para pejuang bangsa di masa silam, dalam kumandang kebangkitan negara-negara Asia Afrika 1955.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI