Mohon tunggu...
masrierie
masrierie Mohon Tunggu... Freelancer - sekedar berbagi cerita

menulis dalam ruang dan waktu, - IG@sriita1997 - https://berbagigagasan.blogspot.com, - YouTube @massrieNostalgiaDanLainnya (mas srie)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Empat Belas Tahun Hidup Berdampingan dengan Banjir

15 Januari 2014   13:56 Diperbarui: 21 April 2019   23:19 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Riung Saluyu Raya, Bandung 2003

 Tidak mudah menjadi langganan banjir. Korban banjir sering bertahan di kawasan banjir,  karena siapa juga yang rela meninggalkan rumah. Apalagi terpaksa tinggal di pengungsian. Mau tak mau,  tumbuh kreativitas untuk menghadapi banjir rutin, terutama di puncak musim penghujan.

  Banjir Tamu Tak Diundang


 Tahun 1993, saat 2 bulan pertama tinggal di rumah kompleks perumahan di tenggara kota, rumah kami sudah terkepung banjir. Hanya tidak terlalu parah. Banjir menggenangi jalan, tapi tidak memasuki rumah.

 Tapi tahun-tahun berikutnya, banjir jadi langganan,  memasuki rumah kami. Betapapun kami sudah memasang tanggul tembok di pintu masuk rumah, serta mengurug rumah menjadi lebih tinggi.

 Pengalaman pedih dan pahit jika banjir tak terduga. Saat belum puncak musim hujan, dan hujan sudah berhenti. Biasanya paling yang banjir hanya jalanan dan pekarangan depan rumah saja. Malamnya banjir kiriman hadir gara-gara tanggul jebol di dataran tinggi sana.

 Kebetulan setiap hujan perumahan kami tinggal pasti mati lampu, entah kenapa sebabnya. Jadi habis hujan rumah kami gelap gulita. Seperti biasa si bungsu yang masih bayi terlelap di kasur.

 Tiba-tiba dini hari pukul 2 pagi, dalam gulita malam, terdengar “gedumbrang”, “braaak”, dan suara amburadul dari seisi rumah. Kami menyalakan lampu senter, astaga, baju kami basah. Kasur sudah terendam, lemari jungkir balik, gentong berisi beras sudah jumpalitan tumpah ruah isinya. Tabung gas yang isinya sudah menjelang kosong bergoyang keras. Kami bergerak cepat membenahi buku-buku, dokumen, alat elektronika.

 Semua kami naikkan ke atas ruang tamu yang kami buat setinggi  1 meter (seperti bale-bale/dipan). Tapi ruangan ini terbatas, hanya selebar 2x3 cm. Anak-anak kami bentangkan kasur di ruang ini. Dan tidur di atas tumpukan barang yang bisa diselamatkan.

 Tak sabar menunggu matahari terbit, kami mengungsi sementara di rumah blok lain yang banjirnya hanya 10 cm saja. Di sana kami dahulukan anak-anak untuk sarapan mie instan yang disumbang tetangga yang tidak kebanjiran.

 Barang-barang kami lebih banyak yang rusak terendam, karena kami tak punya lantai 2 (loteng rumah). Rumah yang memiliki loteng, lebih baik nasibnya ketika banjir, dibandingkan rumah kami.

 Kami harus menunggu surut untuk mengeluarkan mobil dari carport, sebab ketinggian banjir sudah menenggelamkan mesin mobil. Kalau saja banjir tidak tiba-tiba datangnya, atau dengan arus mendadak yang cukup deras, setidaknya kami sudah bersiap untuk keluar dari kompleks perumahan.

 Nestapa Banjir

 Banjir adalah kesedihan yang berulang. Tidur di atas dipan dikelilingi air, terasa lembab dan tak nyaman. Untuk anak balita jelas penyakit. 

 Banjir di rumah kami tak serta-merta surut meski matahari sudah mulai berbinar. Dalam 3 hari barulah banjir surut. Paling cepat 2 harilah, selebihnya banjir di perumahan kami cukup lama. Tapi kalau hujan lagi, bisa berulang banjirnya, bersambung menjadi 1 minggu.

 Anak-anak kami tumbuh dalam suasana banjir rutin hingga si sulung mencapai usia  remaja. Kami tinggal 14 tahun di kawasan yang setiap musim hujan jalannya tergenang, dan setiap puncak musim hujan, rumah kami terendam lebih dari 1 hari 1 malam.

 Dalam banjir sulit untuk menyediakan makanan, sulit untuk memasak, sulit untuk beraktivitas, sulit untuk ke WC, terutama anak anak masih bayi dan balita. Tidak mandi, sampai sepekan karena banjir, itu sudah biasa. Sumber air bersih ikut tercemar karena banjir.

 Tapi seperti kebanyakan korban banjir lainnya, tak ada pilihan tempat tinggal, selain rumah di lokasi banjir, itulah yang terjangkau oleh kantong. Rumah yang kami beli dengan hasil perjuangan sendiri, bahu membahu.

 Ada kawasan lain yang ketika ditinggal penghuninya untuk mengungsi, dimanfaatkan oleh maling untuk menjarah. Sangat memprihatinkan.

 Dalam banjir berbagai kecelakaan motor terjadi, lubang-lubang yang memang banyak menghiasi jalan komplkes menjungkir-balikkan mereka. Mobil terperosok ke selokan besar atau sungai, pernah terjadi. Karena tak ada bedanya antara jalan dan sungai. Becak terjerambab, sangat mengenaskan.

 Belum lagi bahaya kesetrum bagi mereka yang tak sengaja melewati kawasan banjir, tapi ada kabel listrik putus dan jatuh sehingga listrik mengalir lewat media air, menyengat manusia.

 Banjir juga menyisakan penyakit. Sakit kulit karena air banjir, dan sakit pernafasan. Pasrah atas rusaknya perabotan dan elektronika, mau tak mau. Sedih memang. Pernah selama seminggu rumah kami terendam, dan saat pulang, panci periuk dan wajan sudah berubah karatan. Kusen rumah kian lapuk, tembok menjadi kumuh kecoklatan. Tanam-tanaman sebagian besar mati terendam.

 Saat mengungsi, korban banjir seperti kami menjadi korban perasaan. Pernah kami mengungsi di rumah kerabat. Terus terang rasanya malu dan tak enak. Apalagi saat banjir anak bungsu saya sedang sakit campak. Untung sudah hampir sembuh. Suasana yang sangat tidak enak.

 Banjir melengkapi kerugian moril dengan kerugian materil.

 Kerja Keras Pascabanjir

 Berjibaku mengeruk lumpur yang tebalnya sampai 3 cm kami lakukan setiap usai banjir. Tapi saudara-saudara kami di bantaran sungai punya tugas mengeruk lumpur bisa sampai 20 cm tebalnya. Lumpur menyelimuti kamar tidur, kursi, meja, bahkan kasur. Setelah itu menyikat lantai, mencuci perabotan, menjemurnya (meski mendung), membersihkan rumah dengan antiseptik. Mencuci pakaian yang terendam.

 Menyelamatkan buku-buku dan dokumen yang basah serta menjemurnya harus itu. Membuang sampah yang berlabuh di dapur, di atas kursi, di teras rumah, di pekarangan  bisa sampai berkarung-karung. Mulai dari sampah plastik, kecoa, ular kecil, tikus mati, sampai kotoran manusia entah dari mana.

 Tak cukup 3 hari untuk membuat rumah betul-betul bersih dari lumpur dan sampah. Dan tak cukup seminggu untuk menunggu rumah tak lagi lembab.

 Kiat Berdampingan dengan Banjir

  1. Berangsur perabotan lemari kami ganti menjadi container yang kedap air (ada penutup atasnya), lalu menyimpannya kami tumpuk. Baju, buku, dan barang penting kami simpan dalam container plastik berkualitas tinggi. Tujuannya, ketika kami harus mengungsi, mudah membawanya. Dan kalaupun masih di rumah, setidaknya masih bisa terselamatkan.
  2. Selalu siap lampu senter dengan batu baterai. Akan diperlukan saat banjir tiba.
  3. Selalu siap dengan Ponsel yang terisi penuh baterainya, juga radio dengan baterai untuk mendengarkan berita. Misalkan kabar banjir kiriman akan datang, atau jebolnya sebuah tanggul yang berdampak ke kediaman kita.
  4. Selalu siap air minum kemasan dalam dus (botol) dan makanan cepat saji (mie instan), termos, biskuit/roti, di tempat yang aman. Juga obat-obatan.
  5. Siapkan juga jeriken untuk persediaan air bersih yang pasti terjadi setiap banjir. Simpan di tempat yang aman.
  6. Sebaiknya memiliki loteng (rumah 2 lantai) untuk evakuasi sementara. Dan barang-barang yang penting disimpan di lantai atas.
  7. Jangan ambil resiko ketika tanda-tanda hujan deras dan banjir meningkat, lalu bertahan di rumah. Segera evakuasi keluarga, mobil, barang-barang penting, kunci pintu dan jendela untuk menghindari penjarahan, segera beranjak ke tempat aman.
  8. Padamkan listrik utama rumah jika banjir. Air adalah pengantar listrik yang baik, setrumnya bisa mengalir menyambar manusia. Dan jika bekas banjir, tunggu sampai betul-betul kering lubang stop kontaknya, karena bisa berakibat kortsluiting listrik.
  9. Ganjal barang-barang dengan batu batako agar posisinya lebih tinggi.
  10. Siapkan selalu desinfektan dan lap pel serta ember, sendok semen pengeruk lumpur, perkakas yang memadai  untuk membersihkan rumah dan pekarangan seusai banjir.
  11. Untuk pakaian, miliki sepatu boat yang sangat perlu setiap banjir. Termasuknya juga peralatan darurat evakuasi seperti ban berenang hitam dan pelampung.
  12. Seorang teman saya menyimpan dokumen penting di safe deposit box bank yang aman (tidak terkena banjir). Jadi ketika bencana banjir datang, tidak terlalu cemas.
  13. Ada juga teman saya yang di rumah lantai duanya, tersedia perahu karet. Mungkin agak berlebihan, tapi tidak ada salahnya bukan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun