Perempuan itu meromok di atas kasur ukuran ganda ranjang kayu. Sarung bantal dan selimutnya tidak serasi. Corak-corak acak di dinding dan noda-noda tempias air hujan di atap, mengingatkannya bahwa enam bulan sebelumnya ia telah berpindah kamar. Ke sebuah kamar indekos dekat sebuah kampus ternama.Â
Perempuan itu menangkup wajahnya ke bantal. Perlahan ia mulai terisak-isak. "Tuhan tolonglah aku," doanya dalam hati. Remang-remang cahaya melekapnya bersama gemerisik harmonisasi rintik hujan.
Aku adalah pengantin baru. Seperti kebanyakan perempuan, sejak kecil aku memimpikan sebuah pernikahan tetapi bukan menikah sebelum lulus sekolah. Tanpa mengatakannya secara khusus, aku menyadari aku berpikir bahwa pernikahan ini tidak akan langgeng.Â
Ketika menikah, aku adalah calon ibu yang sedang bergumul menghadapi kekhawatiran melahirkan bayi di usia muda. Ini kedengarannya mudah. Pergi ke dokter kandungan sangat normal tetapi sangat menakutkan bagiku.
"Aku ingin aborsi saja,"
"Tidak boleh!"
"Kita mungkin bisa melepaskan sedikit permasalahan kita, sayang"
"Aku bisa kehilanganmu. Reproduksimu bisa cacat,"
Suara itu tak jua terdengar meskipun jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB. Ia telat pulang setengah jam. Akhir-akhir ini ia memang selalu telat. Aku tentu tidak ingin berdebat dengannya tentang ini lagi. Sudah terlalu sering berakhir tanpa solusi.Â
Aku yakin sebentar lagi ia pulang. Aku bisa membayangkan ia membuka kunci pintu yang dikuncinya tadi pagi. Seperti biasa, ia akan memulai percakapan dengan "Kau menangis lagi?"
Kali ini aku takkan berbohong. Aku ingin mengatakan dengan jujur. Aku ingin bunuh diri. Unwanted pregnant membuat aku hampir bunuh diri dan mengaborsi kandunganku.