Mohon tunggu...
reza fahriza
reza fahriza Mohon Tunggu... -

kecap, hitam dan manis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Alangkah Cerdasnya...

23 Juli 2013   22:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:08 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, alangkah cerdasnya beliau dalam menyusun tiap kata jadi rangkaian kalimat penggugah. Menyadarkan jiwa-jiwa yang sedang limbung. Memahamkan yang coba ingin mengerti. Begitulah ia memadu kata jadi makna yang mencerdaskan.

Dan ketika saya membaca salah satu buku beliau, saya sadar betapa cerdasnya beliau memposisikan semua segmen targetan kehidupan di Negara yang kita cinta ini. Kisah ini hanya akan saya paparkan dibagian awal dan akhirnya saja. Karena dari sudut pandang yang itu saya bisa melihat beliau sebagai orang yang cerdas dan cocok untuk menjadi pelayan rakyat Indonesia.

Mari kita mulai dari bagian “Mari Kita Berhenti Sejenak”, ya bagian ini adalah penggugah buat kita (pembaca) bahwa ternyata masih banyak yang mestinya kita perbaiki dan kita himpunkan penumpang layaknya kereta api di stasiun (padahal buku ini bicara politik). Ya, uniknya di disini, bagaimana sebuah gerakan yang harusnya bergerak terus menerus dan paling tidak musti menanjak trennya tiba-tiba diperintahkan untuk berhenti. Dan, inilah jawaban di buku di dua paragraph awalnya.

“Mari Kita berhenti sejenak di sini! Kita sudah relatif jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak sudah yang kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak juga yang masi ita keluhkan: rintangan yang menghambat laju kereta, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara gaduh yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu di gerbong kereta ini, dan tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat kita muat. Dan masih banyak lagi!

Jadi, mari kita berhenti sejenak di sini! Kita memerlukan saat-saat itu; saat dimana kita melepas kepenatan yang mengurangi ketajaman hati, saat dimana kita membebaskan diri dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual, saat dimana kita melepaskan sejenak beban dakwah selama ini kita pikul yang mungkin menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan dakwah kita; melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan yang masih harus kita lalui; menengok kembali hasil-hasil yang telah kita raih; meneliti rintangan yang mungkin menghambat laju pertumbuhan dakwah kita; memandang kea lam sekitar karena banyak aspek dari lingkungan strategis kita telah berubah.”

Alangkah cerdasnya beliau, yang setelah bagian ini dipaparkanlah bagaimana cara-cara mengubah cinta terwujud dalam kerja. Seperti tagline baru yang beliau gemakan ke seluruh penjuru tanah air.

Dan bagian akhirnya adalah “Strategi Pencitraan”. Menariknya bagi saya adalah karena bagian ini diletakkan dibagian akhir dari sebuah rangkaian tulisan beliau, tidak di awal atau di tengah. Maka dalam poin ini saya piker cerdasnya beliau dalam menempatkan sesuai porsi. Karena memang bagi saya, pencitraan itu dengan sendirinya akan diperoleh lewat kerja-kerja dengan cinta yang telah dilakukan sebelumnya. Dan dari situlahmasyarakat bisa menilai.

“karena kebaikan punya rahimnya sendiri.”

Maka, saya katakan “Alangkah Cerdasnya, Presiden ‘kita’…”

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun