Media Barat kerap kali menyajikan informasi yang terfragmentasi tanpa melihat keseluruhan konteks. Sebagai contoh, Insider (sebelumnya dikenal sebagai Business Insider), sebuah media digital asal Amerika Serikat yang didirikan pada tahun 2007 oleh Henry Blodget bersama Kevin P. Ryan dan Dwight Merriman, pernah meliput isu minyak di Indonesia dengan deskripsi sebagai berikut:
"Oil wells from the Dutch colonial era lie scattered across Indonesia, polluting the earth and destroying locals' chances at making a living off anything but oil. We visited the workers who risk their lives daily to survive off the little oil that's left."
Deskripsi tersebut menyoroti dampak lingkungan dan ekonomi akibat sumur minyak warisan kolonial, namun tidak mencerminkan gambaran lengkap mengenai realitas pengelolaan minyak di Indonesia.
Analisis Realitas LapanganÂ
Mereka tidak menjual minyak ke Pertamina. Mereka berani karena investor sumur mereka itu bukan orang sembarangan. Itu bukan setengah harga, tapi kualitas minyak Wonocolo berbeda dengan yang lain, seperti minyak dari Nglobo, Ledok, Banyubang, Banyuasin, atau Semanggi. Minyak Wonocolo adalah minyak parafin. Setiap kali setor, minyaknya dicek BSW (Basic Sediment & Water)-nya. Minyak parafin memang memiliki BSW yang tinggi. Semakin tinggi BSW, semakin tinggi pula faktor pengurang volumenya.
Sebagai contoh, volume awal tangki yang membawa crude oil (CO) adalah 2.728,69 liter. Setelah diuji, BSW didapatkan 5%, jadi volume bersihnya menjadi 2.592,26 liter. Uang yang diterima dihitung berdasarkan volume bersih tersebut. Semakin kecil BSW, volume bersihnya semakin besar, artinya uang yang diterima juga lebih banyak. Jadi kalau dibilang beli minyak ke masyarakat setengah harga, itu dasar dari mana?Â
Harga beli per liter itu ditentukan berdasarkan ICP (Indonesian Crude Price). Dasar penetapan ICP adalah harga crude oil di Jepang dan Singapura. Jadi, lucunya di mana? Mereka lebih memilih menyuling minyak mentah menjadi solar mentah dan minyak tanah, lalu dijual ke pengepul ilegal. Solar hasil sulingan ini dijual dengan harga lebih tinggi. Pertamina membeli crude oil (minyak mentah), sedangkan penambang ilegal tidak mau menjual crude oil karena hasilnya sedikit, setelah dipotong BSW. Mereka memilih menyuling minyak mentah dan menjual hasil setengah jadi seperti solar mentah dan minyak tanah mentah yang harganya lebih mahal dibandingkan crude oil. Anda pernah dengar istilah solar irex? Itu adalah solar biasa yang dicampur solar sulingan lalu dijual. Misalnya, harga biosolar saat ini 6.800 rupiah, solar irex dijual 5.000 rupiah per liter. Masih untung, kan?
Dulu solar irex atau solar Cepu terkenal. Para sopir Pantura sudah paham kalau mendengar istilah solar Cepu. Sopir nakal yang mengisi solar Cepu bisa untung 500 ribu rupiah sekali jalan untuk rute Jakarta-Surabaya. Boleh percaya atau tidak, tapi itu realitanya. Kalau soal SPBU, ada, kok, hanya saja narasinya dibuat seperti itu. Pertamina pernah dikomplain oleh Perhutani karena limbah crude oil yang tercecer membuat pohon jati mati. Aktivitas penyulingan minyak juga merusak pohon jati. Dulu pernah terjadi kebakaran besar, bahkan ledakan, dan itu bukan hanya sekali terjadi.
Menghadapi orang di daerah situ tidak mudah. Sumur Pertamina yang masih aktif dan ada pompa angguknya saja direbut dan dipasangi menara timba. Jika Perhutani komplain, solusinya cuma satu: sumurnya ditutup dengan semen. Tapi jika sumur disemen, yang ada malah terjadi konflik besar. Lagipula, Perhutani kalau protes ke Pertamina itu salah alamat. Harusnya protes ke ESDM, karena ESDM yang memberi solusi. Urusan Pertamina hanya di wilayah mereka sendiri. Kalau bicara teori, memang mudah, tapi praktiknya tidak sesederhana itu.