Dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang kita menemukan perilaku yang, meski tak diucapkan secara langsung, memiliki daya rusak luar biasa: kebiasaan melampiaskan rasa kecewa dengan merendahkan orang lain. Perilaku ini sering kali terbungkus dalam percakapan ringan, namun dampaknya tajam seperti sembilu. Mengapa ini terjadi, dan apa yang sebenarnya terjadi dalam benak para pelakunya?
Psikologi di Balik Perilaku Merendahkan
Menurut psikologi, perilaku ini dapat dikaitkan dengan displaced aggression, yaitu memindahkan amarah atau kekecewaan yang dialami pada pihak yang tidak bersalah, terutama yang dianggap lebih lemah. Orang-orang seperti ini sering kali menggunakan penghinaan sebagai mekanisme pertahanan untuk menutupi kegagalan atau ketidakpuasan diri. Dalam ranah psikologi klinis, kondisi ini berpotensi berkaitan dengan inferiority complex atau kompleks inferioritas, yaitu perasaan kurang berharga yang mendorong seseorang untuk mencari pengakuan melalui cara yang destruktif.
Analogi: Seperti Balon Bocor
Bayangkan seseorang adalah sebuah balon yang terus diisi udara oleh ekspektasi---karier cemerlang, anak yang berprestasi, atau reputasi yang tak tercela. Ketika harapan itu bocor karena kegagalan atau kekecewaan, balon itu sering meletus ke arah yang tak semestinya, menghancurkan apa pun di sekitarnya. Orang-orang yang menjadi korban biasanya adalah mereka yang dianggap tidak berdaya untuk melawan---tetangga, rekan kerja, bahkan anggota keluarga.
Â
Motivasi Terselubung: Mendongkrak Ego yang Tersungkur
Ketika seseorang membandingkan anaknya yang kuliah dengan anak tetangga yang putus sekolah, itu bukan hanya tindakan membanggakan diri. Di baliknya, ada kebutuhan untuk menenangkan hati yang terlukai oleh prestasi anak lain yang lebih unggul. Ini dikenal sebagai self-serving bias, di mana pelaku mencari validasi dengan memperbesar keberhasilan kecil, sambil mengecilkan pencapaian orang lain.
Â
Â
Gangguan Psikologis Terkait
Beberapa gangguan kepribadian dapat menjelaskan perilaku ini:
- Narcissistic Personality Disorder (NPD): Mereka yang memiliki sifat narsistik cenderung merasa harus selalu lebih baik dari orang lain. Ketika mereka gagal memenuhi standar tersebut, mereka mencari mangsa untuk memperbaiki citra diri.
- Low Self-Esteem: Orang dengan harga diri rendah sering kali menggunakan penghinaan untuk menciptakan ilusi superioritas.
- Maladaptive Coping Mechanisms: Kebiasaan ini juga bisa disebabkan oleh cara menghadapi stres yang buruk, seperti memproyeksikan kekecewaan pada orang lain.
Â
Efek Domino dalam Sosial
Perilaku semacam ini tidak hanya merusak hubungan interpersonal, tetapi juga menimbulkan dampak yang lebih luas. Dalam lingkup sosial, penghinaan yang terus menerus dapat menciptakan lingkungan penuh permusuhan, mengikis kepercayaan, dan memupuk dendam. Bagaikan api kecil yang dibiarkan menyala, ia bisa membakar harmoni dalam masyarakat.
Â
Mengatasi dan Mencegah Perilaku Merendahkan
Untuk keluar dari siklus destruktif ini, pelaku harus melakukan introspeksi mendalam. Beberapa langkah yang dapat diambil:
- Refleksi Emosional: Memahami akar perasaan kecewa dan mengidentifikasi apa yang sebenarnya membuat mereka marah atau iri.
- Mengembangkan Empati: Belajar menghargai keberhasilan orang lain tanpa merasa terancam.
- Terapi Psikologis: Dalam kasus yang parah, konsultasi dengan psikolog dapat membantu mengidentifikasi pola pikir yang salah dan mengubahnya menjadi cara yang lebih sehat dalam menghadapi kegagalan.
Â
Penutup: Sebuah Renungan
Melampiaskan kekecewaan dengan merendahkan orang lain adalah tindakan yang, secara sadar atau tidak, menciptakan luka pada orang lain sekaligus pada diri sendiri. Dalam bahasa Jawa, "nggedheke ati" berarti membesarkan hati, tetapi jika dilakukan dengan cara membandingkan atau menghina, sejatinya itu hanya memperbesar ego yang sudah rapuh. Sebagaimana racun yang menggerogoti dari dalam, kebiasaan ini hanya akan membuat seseorang semakin jauh dari kedamaian.
Bukankah lebih baik, daripada menjatuhkan orang lain, kita belajar dari kegagalan sendiri? Seperti pepatah lama, "Api tidak akan padam dengan api." Begitu pula hati yang kecewa, ia hanya bisa pulih dengan penerimaan dan kebesaran jiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H