Dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang kita menemukan perilaku yang, meski tak diucapkan secara langsung, memiliki daya rusak luar biasa: kebiasaan melampiaskan rasa kecewa dengan merendahkan orang lain. Perilaku ini sering kali terbungkus dalam percakapan ringan, namun dampaknya tajam seperti sembilu. Mengapa ini terjadi, dan apa yang sebenarnya terjadi dalam benak para pelakunya?
Psikologi di Balik Perilaku Merendahkan
Menurut psikologi, perilaku ini dapat dikaitkan dengan displaced aggression, yaitu memindahkan amarah atau kekecewaan yang dialami pada pihak yang tidak bersalah, terutama yang dianggap lebih lemah. Orang-orang seperti ini sering kali menggunakan penghinaan sebagai mekanisme pertahanan untuk menutupi kegagalan atau ketidakpuasan diri. Dalam ranah psikologi klinis, kondisi ini berpotensi berkaitan dengan inferiority complex atau kompleks inferioritas, yaitu perasaan kurang berharga yang mendorong seseorang untuk mencari pengakuan melalui cara yang destruktif.
Analogi: Seperti Balon Bocor
Bayangkan seseorang adalah sebuah balon yang terus diisi udara oleh ekspektasi---karier cemerlang, anak yang berprestasi, atau reputasi yang tak tercela. Ketika harapan itu bocor karena kegagalan atau kekecewaan, balon itu sering meletus ke arah yang tak semestinya, menghancurkan apa pun di sekitarnya. Orang-orang yang menjadi korban biasanya adalah mereka yang dianggap tidak berdaya untuk melawan---tetangga, rekan kerja, bahkan anggota keluarga.
Â
Motivasi Terselubung: Mendongkrak Ego yang Tersungkur
Ketika seseorang membandingkan anaknya yang kuliah dengan anak tetangga yang putus sekolah, itu bukan hanya tindakan membanggakan diri. Di baliknya, ada kebutuhan untuk menenangkan hati yang terlukai oleh prestasi anak lain yang lebih unggul. Ini dikenal sebagai self-serving bias, di mana pelaku mencari validasi dengan memperbesar keberhasilan kecil, sambil mengecilkan pencapaian orang lain.
Â
Â