"Zaman batu berakhir bukan karena kita kehabisan batu, zaman perunggu berakhir bukan karena kehabisan perunggu. Zaman tersebut berakhir, semata-mata karena "sumber daya utamanya" yaitu manusia, berhasil menemukan sesuatu yang lebih baru dan lebih baik". -Bjorn Lomborg-
Seluruh potensi sumber daya alam sesungguhnya sudah tersedia dan tersimpan dalam bumi ini, tinggal bagaimana manusia yang menjadi sumber daya utamanya mampu untuk mengolah atau berinovasi untuk mengembangkannya menjadi sumber energi yang bermanfaat bagi kehidupan. Dengan kata lain, kemajuan ilmu pengetahuan menjadi kunci utama demi menjaga ketahanan energi.
Sebagai contoh, sumber energi yang berasal dari fosil seperti minyak bumi mungkin sudah ada dan tersedia sejak zaman Firaun di Mesir bahkan sebelumnya, namun karena pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat saat itu belum cukup untuk memberdayakan potensi tersebut, maka minyak bukanlah sumber energi utama saat itu.
Barulah seiring dengan majunya ilmu pengetahuan, manusia seperti mendapatkan harta warisan dari masa lalu. Pakis, plankton, dan dinosaurus terendapkan selama jutaan tahun hingga menghasilkan sumber energi berupa batu bara, gas, dan minyak bumi, yang hingga saat ini masih terus dimanfaatkan oleh umat manusia diseluruh dunia.
Namun kekhawatiran akan ketersediaan dan cadangan energi tersebut mulai mencuat beberapa waktu belakangan ini. Cadangan minyak dunia kian menipis, dan tidak dapat diperbaharui. Inilah yang menyebabkan beberapa waktu belakangan harga minyak dunia terus mengalami lonjakan harga. Batu bara, walaupun jumlahnya masih banyak, namun batu bara termasuk salah satu sumber energi yang kotor. Saat dimanfaatkan untuk bahan bakar, batu bara dapat menghasilkan karbon dioksida yang banyak ke atmosfer, dan hal inilah yang dianggap sebagai penyebab dari pemanasan global.
Sekali lagi dalam sejarah peradaban, manusia dipaksa untuk berpikir keras dan berinovasi demi menghasilkan sumber energi yang terbarukan dan tentu saja ramah lingkungan.
Di Indonesia, kita sebenarnya memiliki banyak sekali potensi sumber daya terbarukan yang belum begitu menjadi perhatian serius pemerintah. Kita punya bahan bakar nabati etanol yang bisa dibuat dari singkong, kita juga telah memiliki pembangkit listrik tenaga surya, kita juga bisa mengembangkan biofuel dari bahan dasar tebu, selain itu kita juga mempunyai potensi yang besar untuk memanfaatkan gelombang laut menjadi energi, karena wilayah Indonesia memang dikelilingi oleh lautan yang sangat luas.
Pemerintah, dalam hal ini melalui lembaga-lembaga yang berwenang memang harus membuat sebuah road map yang jelas mengenai pengelolaan sumber-sumber energi terbarukan ini. Para ilmuwan kita sudah bersusah payah untuk terus berinovasi menemukan sumber energi baru tersebut, seperti biodiesel dari bahan baku CPO dan juga etanol dari bahan baku singkong. Tinggal tugas pemerintah untuk bisa menggunakan prototipe ini untuk memproduksinya secara masal dengan membangun pabrik-pabrik berskala besar.
Pertamina, mungkin bisa membuat sebuah kebijakan untuk merangkul dan mengakomodasi para peneliti sekaligus pelaku usaha skala kecil dalam urusan energi terbarukan ini, misalnya para peneliti dan pelaku UKM di berbagai daerah dengan potensi lokal yang dimilikinya itu dapat bebas berinovasi untuk mengeksplore dan mengembangkan sumber energi terbarukan, untuk kemudian dijual kepada unit usaha pertamina melalui jaringan yang tersedia. Kebijakan seperti ini diharapkan mampu menggairahkan minat para peneliti untuk terus bereksperimen menemukan sumber energi terbarukan yang murah dan ramah lingkungan.
Konversi sumber energi memang merupakan langkah maju dan baik dalam hal melakukan penghematan dan menjaga ketahanan energi nasional. Namun hal tersebut tidaklah cukup, karena misalnya, jika kita mengkonversi sumber energi kepada yang lebih murah dengan maksud penghematan, maka permintaan akan sumber energi murah tersebut juga akan membludak, otomatis jumlah dan biaya produksi untuk memenuhi permintaan tersebut juga akan meningkat. Jadi langkah bijak untuk penghematan energi adalah kembali kepada penggunaan masing-masing individu, mereka juga mesti memikirkan kelangsungan hidup anak-cucu mereka nanti. Sebagai contoh, mengganti lampu bohlam menjadi lampu neon merupakan langkah yang baik untuk penghematan, tapi menjadi percuma kalau kita terus-menerus menyalakan lampu tersebut walaupun tidak sedang berada di dalam ruangan. Langkah yang paling tepat dan bijak tentu saja dengan mematikan lampu tersebut ketika kita tidak sedang memanfaatkannya. Jadi sekali lagi, kunci utama ketahanan energi itu adalah sumber daya manusianya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H