Mohon tunggu...
Prio Sudiyatmoko
Prio Sudiyatmoko Mohon Tunggu... Guru - Quran for Life

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Taqwa dan Kepemimpinan

11 Oktober 2011   01:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:06 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap diri adalah pemimpin bagi kehidupannya sendiri. Setiap diri adalah penanggung jawab atas kebahagiaan dirinya sendiri. Dan setiap diri adalah penerima balasan atas apa-apa yang dilakukannya sendiri.

Itulah yang kita pahami sebagai self-leadership atau kepemimpinan personal, yang mana semua jenis kepemimpinan harus dibangun dengan pondasi self-leadership yang kuat. Dan kepemimpinan inilah yang pertama-tama harus dilakukan sekaligus seterusnya dipertahankan oleh setiap orang, terlebih lagi oleh para pemimpin yang diberi amanah memimpin orang banyak.

Dalam kepemimpinan personal, setidaknya kita akan menemukan dua pokok utama:

PERTAMA, memiliki الْإتِّجَاه (arah/tujuan) atau ada sense of direction dalam kehidupan yang dijalani. Maka kita bisa memaknai bahwa kepemimpinan kita adalah perjalanan yang ada tujuan akhirnya, ada tujuan utama yang tak boleh kita lupakan. Tujuan yang terbaik dalam hidup ini adalah tujuan terjauh yang bisa dijangkau oleh manusia. Dan tujuan itu adalah kebahagiaan akhirat yang mana menurut ulama puncak kenikmatannya adalah bertemu/memandang wajah Allah di surga-Nya kelak. Dengan demikian, seorang pemimpin sejati bagi dirinya sendiri adalah dia yang selalu mengarahkan semua perbuatannya لِوَجْهِ اللهِ (untuk mengharapkan keridhaan Allah, hanya berharap balasan-Nya). Dan bukti dari semua itu adalah hati, lisan dan gerak-geriknya tak pernah terlepas dari dzikir kepada-Nya, semua yang dilakukannya bernilai ibadah.

Dzikir lisan yang selalu diulang-ulang, diiringi dengan pemahaman dan penghayatan di dalam hatinya kelak akan terpatri sebagai paradigma (pola pikir) dan emosinya. Pola pikir dan emosi inilah yang nantinya akan terlahir sebagai perilaku. Urutannya seperti ini:

  1. Wilayah Pikiran: dibentuk dengan lintasan pikiran yang berulang sehingga menjadi memori dan kemudian menjadi ide atau gagasan (paradigma/pola pikir). Tahapan ini menghasilkan visi hidup. (Thought Memory – Idea – VISION)
  2. Wilayah Emosi (Hati): dibentuk dari pola pikir yang telah meningkat menjadi keyakinan, lalu menjadi keinginan dan akhirnya menjadi tekad. Tahapan ini menghasilkan mentalitas hidup. (Belief Want – Will – MENTALITY)
  3. Wilayah Fisik: dibangun dari tekad yang tak dapat dicegah untuk melakukan suatu tindakan, lalu menjadi kebiasaan (tindakan yang berulang-ulang) dan akhirnya menjadi kepribadian. Tahapan ini menghasilkan karakter hidup. (Action Habit – Personality – CHARACTER)

Dengan demikian, seseorang yang hidup dengan tujuan, atau dengan kata lain dia memimpin dirinya sendiri dengan baik adalah orang yang memiliki Visi, Mentalitas dan Karakter. Semua itu merupakan sesuatu yang dibentuk dan saling berhubungan satu sama lainnya. Seseorang akan dianggap benar-benar jujur dengan visi hidupnya apabila visi itu termanifestasi dalam karakternya. Kita ambil contoh seorang mahasiswa yang mengatakan dirinya anti-korupsi tapi sering memakai sandal milik teman kosnya tanpa izin, meminjam buku tanpa niat untuk mengembalikan (bahkan menghilangkannya), dan tidak mengerjakan ujian semester dengan jujur. Bisa dipastikan visinya tentang korupsi itu baru sebatas visi-visian.

Seorang pemimpin sejati adalah dia yang jujur dengan kemauannya. Dia memiliki pikiran yang besar tapi tak melupakan aspek-aspek kecil dalam hidupnya. Semakin besar ide-ide yang dipikirkannya, maka semakin teruruslah hal-hal kecil yang melekat padanya. Semakin tinggi kedudukannya dalam pandangan manusia, semakin kuat hubungannya dengan Allah SWT, semakin berkualitas shalatnya, semakin intens dan khusyu’ dzikir, doa dan tilawah Al-Qur’annya, semakin terlihat kepeduliannya kepada sesama manusia. Semua itu dikarenakan dia memiliki صِدْقُ الْإِرَادَةُ (kemauan yang jujur), dan itu terbentuk dari interaksinya yang intensif dengan pedoman visi hidup yang tertinggi (Al-Qur’an).

Orang yang menjalani kehidupannya dengan pedoman yang benar (Al-Qur’an), niscaya dia akan selalu berhati-hati dalam perjalanannya. Dan kehati-hatian itulah manifestasi taqwa. Orang yang bertaqwa adalah dia yang menjaga HATI, karenanya dia selalu ber-HATI-HATI menempuh perjalanan hidupnya. Maka Al-Qur’an menjadi pengarah perjalanan hidupnya kepada tujuan hakiki. Sikapnya terhadap Al-Qur’an seperti apa yang diungkapkan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah:

“Allah menurunkan Al-Qur’an adalah untuk kita renungkan, kita telaah sebagai petunjuk, kita ingat-ingat sebagai penghibur, kita tafsirkan dengan bentuk dan pengertian yang terbaik, kita percayai dan yakini, serta kita tegakkan perintah-perintah dan larangan-larangannya semaksimal mungkin. Kita pun bisa menuai buah ilmu-ilmu yang bermanfaat yang akan mengantarkan kita kepada Allah dari pepohonan dan taman hikmahnya, baik dari tanaman-tanaman maupun bunga-bunganya. Sebab, Al-Qur’an adalah kitab Allah yang akan menunjukkan segala hal mengenai Allah bagi siapa saja yang ingin mengenal-Nya.

Al-Qur’an adalah jalan yang digariskan oleh Allah bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan menuju ke hadirat-Nya. Al-Qur’an adalah cahaya Allah yang terang benderang, yang akan melenyapkan kegelapan. Al-Qur’an adalah rahmat Allah yang dianugerahkan kepada kita demi kebaikan semua makhluk. Al-Qur’an juga merupakan faktor penyambung antara Allah dengan para hamba-Nya ketika faktor-faktor lainnya telah terputus. Al-Qur’an adalah gerbang utama Allah di mana kita bisa memasukinya tatkala gerbang-gerbang yang lainnya telah ditutup.

Al-Qur’an adalah Ash-Shiraathal Mustaqiim (jalan lurus) yang tidak akan membuat pendapat dan opini-opini kita menjadi miring. Al-Qur’an adalah Adz-Dzikrul Hakiim (peringatan bijak) yang tidak akan menjadikan keinginan-keinginan dan hawa nafsu kita menjadi tersesat. Al-Qur’an adalah An-Nuzuulul Kariim (anugerah mulia) yang tidak akan pernah membuat para ulama merasa puas dan kenyang, sebab keajaibannya tidaklah habis, ayat-ayatnya tidaklah sirna, dan petunjuk-petunjuknya tidaklah bertentangan.

Setiap kali pandangan kita terhadap Al-Qur’an bertambah kuat dalam berpikir dan merenung, setiap kali itu pulalah kita mendapatkan tambahan petunjuk dan pengetahuan. Setiap kali kita gali kandungannya, setiap kali itu pulalah terpancar sumber-sumber hikmah dan kebijasanaan dengan deras. Al-Qur’an adalah cahaya pandangan yang akan menerangi kebutaan, penawar hati yang akan menyembuhkan penyakit dan kehampaannya, nyawa bagi hati, suguhan lezat bagi jiwa, taman indah sanubari, serta penuntun nurani menuju negeri yang damai.”

(Bersambung)

Sumber: quranicleadership.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun