Bencana polusi asap hasil kebakaran lahan dan hutan di tahun 2015 sudah seharusnya menjadi bencana nasional dikarenakan sudah melewati ambang batas nilai ekonomi dan kesehatan bagi masyarakat sekitar areal bencana. Dari hasil pantauan saya yang berada di daerah bencana, yaitu di kabupaten kuala Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan terdapat beberapa kesimpulan yang dapat sedikit mencerahkan sudut pandang mengenai bencana tersebut.
Pertama, Polusi asap hasil kegiatan pembakaran lahan dan hutan sudah menjadi hal yang lumrah bagi sebagian besar penduduk disini (terutama yang berprofesi sebagai petani) dan tidak semua petani melakukan pembakaran tersebut. Umumnya kegiatan pembakaran dilakukan untuk menghemat biaya persiapan musim tanam baru di musim penghujan. Terkadang dibeberapa daerah dalam wilayah tersebut pembakaran dilakukan secara berkelompok dengan cara menjaga luasan areal tertentu yang dibakar agar tidak meluas ke tempat lainnya (seperti kegiatan gotong royong).
Kembali lagi ke masalah biaya persiapan tanam, bagi petani yang tergolong mampu dan sadar lingkungan akan menggunakan alternatif penggunaan bahan kimiawi sintetis seperti herbisida untuk membersihkan lahannya dari beragam jenis gulma. Namun, untuk memperoleh herbisida bagi petani yang tergolong kurang mampu dan terlebih lagi tidak sadar lingkungan akan langsung memilih alternatif pembersihan lahan dengan cara dibakar sebagai yang utama.
Sebagai gambaran umum harga per liter herbisida dengan beragam jenis bahan aktif dan gulma sasarannya dapat mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu tergantung dari berbagai merk dagang. Sedangkan kebutuhan konsumsi herbisida dapat mencapai 1-5 liter larutan murni per hektar blanket (disemprot total) tergantung rekomendasi dosis dari masing-masing herbisida. Â Secara umum, lahan yang dikelola dapat mencakup areal yang cukup luas (lebih dari 1 hektar per orang)
Dari gambaran tersebut dapat tercermin besarnya biaya untuk persiapan tanam yang harus dikeluarkan dari kantong petani. Biaya tersebut belum termasuk pengadaan bibit dan benih, perawatan setelah tanam, dan kegiatan panen. Semua biaya yang dikeluarkan tersebut terkadang tidak berimbang dengan hasil jual dari panen komoditas yang ditanam. Sehingga, ada kencenderungan alternatif kegiatan pertanian seperti ini menyumbang sebagian besar dari penyebab kebakaran lahan.Â
Kedua, kondisi di daerah tersebut umumnya daerah rendahan, rawa, gambut, dan areal pasang surut. Sehingga, saat musim kemarau datang tersedia bahan baku  yang melimpah sebagai media api yang dapat dilakukan secara sengaja, tidak sengaja, dan atau terjadi secara alami. Misalnya secara sengaja untuk aktivitas pertanian, bisnis properti (perumahan, jual-beli tanah yang marak seiring dibangunya akses jalan beraspal), dan sebagainya.
Penyebab secara tidak sengaja akibat, seperti membuang puntung rokok saat melintas di areal rawan kebakaran dan kegiatan lainnya yang tidak terduga dapat menimbulkan percikan api. Dan secara alami dikarenakan proses pemanasan yang terik dan hari tanpa hujan yang panjang menyebabkan bahan baku yang tersedia menjadi lebih rentan tersulut api hanya akibat gesekan antar media karena angin atau tersulut akibat paparan sinar matahari yang terik tersebut.
Khusus tanah gambut memang sangat sulit dikendalikan proses pemadaman kebakarannya. Hal ini, dikarenakan pergerakan api umumnya melalui dari bawah permukaan tanah tersebut. Faktor yang menyebabkan hal tersebut, yaitu banyak tumpukan bahan organik dibawah permukaan tanah yang ideal sebagai media penyulut api. Sehingga pergerakan api tidak dapat diperkirakan lokasinya secara tepat dikarenakan yang terlihat hanya kepulan asap yang berasal dari terbakarnya media di bawah permukaan tanah gambut.
Ketiga, selain terdapat komunitas pembakar lahan (hanya sebutan pribadi saya saja) dan juga terdapat komunitas pemadam kebakaran (BPK). Hampir setiap wilayah desa atau kecamatan di wilayah tersebut memiliki beberapa organisasi swadaya masyarakat yang berperan serta melakukan pemadaman kebakaran lahan. Umumnya organisasi tersebut mempunyai unit kendaraan (dengan atau tanpa tangki air), mesin air (dari kapasitas kecil hingga besar), dan perlengkapan pemadam lainnya (selang, nozzle, dan sebagainya).
Dalam hal ini, dengan atas nama swadaya masyrakat tentu saja pembiayaan operasionalnya pun secara swadaya. Mulai dari pemberian oleh donatur tetap, meminta sumbangan dari satu rumah ke rumah lainnya dengan tanda terima kupon sumbangan, hingga meminta sumbangan di tengah jalan raya (seperti meminta sumbangan pembangunan masjid). Tentu saja peran serta mereka tidak dapat dianggap remeh dan kalau perlu diperdayakan oleh pemerintah daerah setempat mulai dari pelatihan pemadaman api yang baik dan benar hingga aktivitas perjalanan menuju lokasi kebakaran (terkadang terkesan agak membahayakan jika melintas di jalan raya).
Keempat, sudah jamak saat ini disaat kejadian bencana berlangsung dan tentu saja berbondong-bondong mencari yang namanya kambing hitam. Dalam kasus ini, sorotan terbesar adalah perusahaan atau badan usaha yang bidang usahanya bergerak disektor pertanian atau lainnya dengan areal yang luas (umumnya lebih dari ribuan hektar).