Hari ini Tanggal 27 September 2012 telah terjadi aksi unjuk rasa di Pasar Rebo, Jakarta Timur tepatnya di depan Pabrik PT. Frisian Flag Indonesia. Menurut pemberitaan diberbagai media massa sekitar 350 pekerja yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) menuntut Undang-undang Nomor 13 Pasal 65 Tahun 2003 agar dibuat dengan sebaik-baiknya. Dimana terdapat penyimpangan terhadap kesejahteraan para pekerja ini yang terkendala dengan masih berlangsungnya sistem outsourching. Dalam hal ini, saya sengaja menyebut pekerja dan sedikit menafikan kata buruh yang terdengar dan berkonotasi tidak baik. Sementara itu, di belahan dunia yang lain Bapak Presiden Indonesia beserta jajarannya sedang berusaha menggandeng investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satu hal yang disampaikan oleh Bapak Presiden, yaitu Indonesia tidak tertopang oleh banyaknya angkatan kerja melainkan produktivitas sebagai kata kucinya.
Tentu saja, sedikit tidak relevan dengan komentar Bapak Presiden yang menyatakan bahwa angkatan kerja tidak begitu menopang perekonomian di Indonesia melainkan produktivitas sebagai kuncinya. Menurut pandangan saya, fakta bahwa angkatan kerja berperan besar dalam menopang perekonomian di Indonesia adalah benar. Hal ini, dapat dibuktikan dengan masih banyaknya upah yang masih dibawah standar dan beberapa tunjangan yang tidak dibayarkan secara bijaksana oleh beberapa Perusahaan. Dengan murahnya upah dan tunjangan-tunjangan yang tidak dibayarkan secara baik tentu saja membuat sebagaian besar pelaku usaha secara tidak langsung terbantu dengan dapat menyerap seoptimum mungkin dengan biaya yang relatif lebih menguntungkan buat perusahaan.
Para pekerja yang tergabung dari berbagai perserikatan atau perkumpulan pekerja tidak henti-hentinya menyuarakan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi ketidakpastiaan hidup di Indonesia. Ketidakpastiaan tersebut dapat dilihat dari ketidakberimbangan antara pendapatan dengan biaya hidup yang dikeluarkan. Rasa letih dan lelah baik dari segi pikiran dan fisik tidak terbayarkan dengan baik jika harus membagi anatara kebutuhan mengisi perut, biaya sekolah yang mahal, dan biaya rumah sakit yang selangit. Atas dasar tersebut sangatlah wajar para pekerja meminta perbaikan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya para pemegang kebijakan dalam hal ini Kemenakertrans dan DPR setidaknya membuka sangat lebar telinga mereka untuk mewujudkan harapan para pekerja.
Penghapusan sistem outsourching adalah tindakan ksatria para penampuk kepetingan tersebut. Dalam hal ini, tidak sepenuhnya perusahaan turut andil dalam ketidakberimbangan ksejahteraan pekerja. Penyebabnya adalah berbagai produk perundangan ketenagakerjaan saat aplikasi di lapangan terkesan bermakna ganda dan tidak jelas serta menimbulkan ketidakpastian hukum. Sistem outsourching mengandung pengertian yang dikutip dari berbagai sumber, yaitu pemindahan pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang dimaksudkan untuk memperkecil biaya produksi. Selain itu, kebijakan beberapa perusahaan yang memasukan tenaga kerja merupakan sebagai dari biaya produksi bukan sebagai kepemilikan (asset). Dengan demikian, perusahaan akan terus menerus mengatakan kerugian telah dialami selama pekerja dijadikan baiaya produksi.
Outsourcing kemudian menjadi wacana yang hangat sejak UU No.13/2003 memuat tentang pemborongan pekerjaan ini sebagaimana termuat dalam Pasal 65 dan 66 UU 13 Tahun 2003. Masalah saat ini adalah outsourcing diterapkan menyimpang dari praktek outsourcing yang sesungguhnya. Dalam hal ini satu perusahaan penyedia pekerja/buruh menjadi pemasok bagi perusahaan lain sebagai pengguna tenaga kerja. Tidak hanya itu saja outsourcing yang semula untuk melakukan pekerjaan yang tidak masuk dalam kategori kegiatan inti perusahaan (core activity) saat ini justru ada yang menggunakan pekerja/buruh outsourcing untuk melakukan pekerjaan inti. Akibat dari praktek ini pekerja/buruh menjadi tidak jelas hak-haknya, termasuk mengenai pengupahan, hak berserikat, hak atas jaminan pekerjaan, hak atas juminan sosial, dan sebagainya.
Di samping itu saat ini Indonesia belum siap untuk menerapkan outsourcing dikarenakan kondisi pasar kerja yang masih tidak berpihak pada pekerja/buruh. Dari sisi hukum permintaan dan penawaran tenaga kerja jelas bahwa posisi tawar pekerja/buruh sangat lemah sehingga apabila outsourcing diterapkan maka pemerintah harusnya menetapkan instrument hukum yang jelas untuk membatasi dan mengawasi praktek outsourcing sehingga tidak mengarah pada perdagangan tenaga kerja/human trafficking in person for labour dan perbudakan gaya baru. Pernyataan diatas tersebut banyak saya ambil dari Agusmidah mengenai “Outsourcing dan PKWT Dalam Sistem Hubungan Kerja MerupakanGejala Kebijakan Fleksibilitas.”
Terlepas dari hal tersebut Sudah selayaknya Seorang pemimpin Bangsa lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya dibandingkan dengan kucuran dana asing yang penuh dengan persyaratan yang justru menyengsarakan rakyatnya, terutama pekerja. Oleh karena itu, jika usaha rekan-rekan pekerja tidak ditanggapi dengan baik dan tidak diaplikasikan. Saya hanya dapat memberikan doa dan semangat bagi rekan pekerja untuk memperjuangkan hak-haknya. Semoga tanggal 03 Oktober 2012 menjadi tindakan yang nyata yang dapat diperbuat baik oleh para pekerja maupun para legislator. Sekarang jawaban dikembalikan lagi kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, apakah ingin permasalahan tersebut terselesaikan dengan baik atau lumpunhya perekonomian Indonesia?. Semua terserah Anda…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H