Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Walmiki

10 November 2012   06:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Piringan Hitam dan Buku

Sudah jam 1 siang. Ayah masih belum muncul. Entah ayah sudah dimana? Padahal, aku ingin pulang. Tiduran di atas dipan sambil baca komik, juga dengar musik radio. Untung aku bawa buku cerita.

Jarum jam sekarang menunjuk 1.20 siang. Ayah muncul dari kejauhan. Ayah muncul dengan onthel kesayangannya. Ayah mengayuhnya setiap hari. Ayah lemparkan senyum dari jauh padaku. Aku tentu girang. Kegiranganku semakin rekahkan senyum ayah. Ayah tak pernah cemberut padaku.
“Miki, maaf ayah telat lagi?”
“Yahhh. Besok pasti telat lagi?”
Ayah tetap senyum sementara wajahku terlihat menyebalkan.
“Ayah minta maaf deh.”
Aku naik dan ayah mengayuh lagi. Kami susuri Klandasan. Jalanan ramai tiap hari. Aku suka lewat Klandasan. Semakin pelan kayuhan ayah aku semakin menikmati Klandasan. Ayah selalu pelan. Entah karena ayah tak kuat mengayuh atau karena ayah tahu aku menikmati Klandasan yang ramai. Ayah seperti mengertiku.
Setelah melintasi Klandasan, kami sampai di Stal Kuda. Rumah mungil kami di Stal Kuda. Jadi, setiap hari ayah harus mengayuh sepeda jauh sekali. Ke sekolahku di Lapangan Merdeka, lalu ayah ke Pintu Lima. Ayah jadi buruh di sana. Sejak aku lahir.
Sampai depan rumah, aku ganti baju dan jalani kebiasaanku jika siang. Ambil buku dan putar radio. Berbaring hingga terlelap. Hidup begitu menyenangkan dengan kebiasaan itu.
Biasanya aku terlelap hingga sore. Bangun tidur aku bermain hingga senja. Ayah tak pernah banyak tanya kemana aku bermain. Ayah tak pernah banyak larangan. Hanya pesan, “jangan jahat dan bikin masalah.” Itu saja.
Tak ada yang kalahkan indahnya sore di Balikpapan. Apalagi buat anak SD sepertiku. Sayang, waktu itu kami tak sadari jika sore waktu itu begitu indah kami nikmati. Sore kami bubar oleh datangnya senja. Kami, anak-anak kecil harus pulang dan mandi. Atau setan-setan dari kuburan nun jauh dari rumah-rumah akan datang dan jadikan kami santapan malam mereka.
Malam hari aku cuma di rumah. Hanya bersama ayah. Aku kerjakan PR. Ayah memasak. Selesai ayah masak, kami makan bersama. Setelahnya aku kerjakan PR lagi dan ayah akan membaca apa saja yang ada di rak bukunya. Setelah itu, ayah akan mengetik. Aku tak tahu apa yang ayah ketik. Ayah selalu asyik ketika mengetik. Seolah itu dunianya. Beda dengan duniaku yang isinya hanya bermain.
Aku tak bisa ganggu ayah. Bukan karena aku tak suka atau ayah akan marah jika kuganggu. Aku selalu sibuk dengan PR. Setelah itu aku pasti terlelap. Tak ada waktu ganggu ayah. Ayah juga tak marah jika aku memutar piringan hitam sebelum tidur. Ayah justru makin asyik saja. Piringan hitam itu baru mati jika lagunya habis.
Lagu kesukaan kami yang biasa kami putar My Way dari Frank Sinatra. Ayah tak perlu baca dongeng seperti beberapa tahun silam, seperti sebelum aku bisa membaca.

And now, the end is here
And so I face the final curtain
My friend, I'll say it clear
I'll state my case, of which I'm certain
I've lived a life that's full
I traveled each and ev'ry highway
And more, much more than this, I did it my way

Regrets, I've had a few
But then again, too few to mention
I did what I had to do and saw it through without exemption
I planned each charted course, each careful step along the byway
And more, much more than this, I did it my way
Yes, there were times, I'm sure you knew
When I bit off more than I could chew
But through it all, when there was doubt
I ate it up and spit it out
I faced it all and I stood tall and did it my way

I've loved, I've laughed and cried
I've had my fill, my share of losing
And now, as tears subside, I find it all so amusing
To think I did all that
And may I say, not in a shy way,
"Oh, no, oh, no, not me, I did it my way"

For what is a man, what has he got?
If not himself, then he has naught
To say the things he truly feels and not the words of one who kneels
The record shows I took the blows and did it my way!

Jika aku masih belum tidur juga dengan lagu tadi. Aku akan putar When a Wonderfull World yang dinyanyikan Louise Amstrong. Aku lebih suka suara Louise Amstrong ketimbang Frank Sinatra.

I see trees of green........ red roses too
I see em bloom..... for me and for you
And I think to myself.... what a wonderful world.

I see skies of blue..... clouds of white
Bright blessed days....dark sacred nights
And I think to myself .....what a wonderful world.

The colors of a rainbow.....so pretty ..in the sky
Are also on the faces.....of people ..going by
I see friends shaking hands.....sayin.. how do you do
They're really sayin......i love you.
I hear babies cry...... I watch them grow
They'll learn much more.....than I'll never know
And I think to myself .....what a wonderful world

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun