Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Terimakasih Buku

28 Oktober 2010   10:36 Diperbarui: 4 April 2017   17:28 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BALIKPAPAN bukan surga penikmat buku. Tidak ada area khusus buku loak. Hanya ada beberapa toko buku, yang lebih banyak sediakan buku pelajaran saja. Sebagai penikmat buku cerita itu hal menyedihkan. Membeli buku pelajaran adalah ketakutan tinggal kelas karena tidak bisa mengikuti pelajaran. Jujur, saya bukan anak cerdas. Saya hanya suka membaca. Tidak lebih.

Buku-buku terbaik, menurut saya, tersimpan rapi di perpustakaan. Mulai dari buku pelajaran, referensi, kamus-kamus, ensiklopedia, sejarah, dan tentu saja sastra. Di sebuah SD Inpres tak berpustakaan, saya mulai menikmati buku. Tentu saja buku anak-anak. Di luar jam sekolah, saya hanya kadang numpang baca d rumah tetangga. Biasanya membaca majalah BOBO.

Majalah Bekas

Entah bagaimana saya bisa suka membaca pada awalnya? Saya tidak tahu. Kelas 5 SD tanpa saya sadar saya sudah suka membaca. Bisa jadi karena tuntutan sekolah. Belakangan, saya membaca semau saya. Buku pelajaran bukan bacaan menarik di SMP. Lebih baik membaca buku iberat saja. Entah sejarah atau sastra.

Perpustakaan SMP saya, SMP Negeri 3 Balikpapan biasa saja gedungnya. Untuk kebutuhan baca anak SMP seperti saya sudah cukup. Saya biasa meminjam buku biografi pahlawan nasional bisanya. Tidak tanggung-tanggung, saya pinjam 5 buku. Kawan sekelas saya yang bintaang kelas menganggap saya lakukan hal yang sia-sia. Dan menganggap saya berlebihan. Bagi saya itu biasa saja. Setidaknya membuat saya mengisi waktu yang membosankan di sekolah menengah. Anak SMP memang selalu melihat dari dirinya sendiri dan tidak mamlpu membedakan kebutuhan orang lain. Saya tidak peduli kata kawan saya itu, saya tetap membaca. Sedikit menghindari pergaulan anak SMP yang membosankan.

Saya membaca tidak sekedar di waktu luang sekolah. Ketika jam pelajaran berlangsung pun saya membaca. Tentu saja bukan buku pelajaran, melainkan buku apa saja yang saya suka. Guru yang mengajar mungkin tidak pernah tahu apa yang saya lakukan. Cukup kurang ajar juga. Tapi menyenangkan bagi saya kala itu dan banyak bermanfaat bagi hidup saya kemudian.

Di SMP, entah kelas berapa? Adalah perkenalan saya dengan majalah TEMPO. Artikel TEMPObagi anak kecil seperti saya. Rubrik TEMPOyang paling saya sukai adalahSelingan. Dimana saya banyak belajar sejarah dari artikel-artikel itu. Mengenai riwayat Benito Musolini, kisah Kemal Idris, Perang Vietnam, Pemberontakan PRRI-Permesta dan lainnya. Biasanuya saya membaca majalahTEMPOmilik tetangga. Milik Pak Rocky atau Eko, kawan kecil saya. Beberapa saya pinjam dan tidak kembali. Pernah suatu kali, Bule Tin, istri Pak Rocky, memberikan saya beberapa majalah TEMPO. Dan tentu saja saya terima dengan senang hati.

Selain TEMPO, majalah INTISARI adalah majalah favorit saya. Majalah berbentuk buku itu juga punya artikel yang tidak kalah menarik isinya dengan TEMPO. Rumah Pakde saya, di Sanga-sanga, punya banyak majalah INTISARI yang dijaga baik oleh Bude. Tiap saya main ke rumah Pakde, saya lebih terlihat seperti orang autis. Seharian saya cuma baca INTISARI tanpa bosan. Dan rak buku yang selalu ditata rapi oleh Bude dan kakak sepupu perempuan saya itu, sering saya hambur. Demi INTISARI.

Dari INTISARI saya menemukan sosok Westerling untuk pertama kali.Majalah ini juga yang kemudian membuat saya ingin mengerjakan skripsi saya tentang kudeta Westerling di Bandung dan Jakarta. Skripsi yang tidak meluluskan saya, lantaran jadi buku dengan judul Westerling: Kudeta yang Gagal.

Buku sastra yang paling berkesan di SMP adalah Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang legendaris itu. Saya membacanya di rumah Adoel, dan selalu menyentuh buku itu jika sedang di rumahnya. Buku itu saya resensi dalam rangka mengerjakan tugas pelajaran Bahasa Indonesia kelas 3 SMP. Guru bahasa saya kala itu adalah Bu Elfrida Panjaitan. Seingat saya yang saya buat itu bukan rlahesensi buku, saya hanya me-review. Meski begitu saya disuruh membacakan karya saya di kelas.

Kebiasaan keluyuran sepulang sekolah membuat saya berkenalan dengan maalah bekas. Di sebuah pasar yang kini berubah menjadi mall di Balikpapan. Pasar Muara Rapak, begitu aku mengenalnya. Penjual majalah bekajalas itu hanya punya sedikit stok majalah bekas. Dia hanya punya TEMPO dan INTISARIbekas saja.

Si penjual majalah bekas ini tidak hanya jual majalah bekas, tapi jugau gas untuk korek gas. Saya tidak tahu siapa nama pria separuh baya berkepala botak itu. Dia tidak pernah ketika saya hanya membaca majalah dagangannya dan tidak membelinya. Saya sering habiskan uang saku saya demi TEMPO dan INTISARI bekas. Saya tidak pernah sesali rasa lapar setelahnya.

Terus Menikmati Buku

Meski bukan kutu buku, saya terus membaca dengan gila di SMA. Alasannya lebih pada mengusir rasa bosan. Bosan pada suasana belajar dan pergaulan yang bagi saya tidak sehat, tapi sehat bagi yang lain. Sangat efektif hasilnya. Saya berhasil kurangi banyak tekanan.

Pelajaran di SMA tidak menyenangkan di kelas 1 dan 2. Kecuali Bahasa Indonesia dan Sejarah tentunya. Saya benci masuk kelas Matematika, Fisika dan Kimia. Sistem pendidikan Indonesia memaksa siswa-siswa SMA ikut les pelajaran Ekskakta yang saya benci. Dengan alasan kantong dan rasa saya tidak ikut saja. Nilai pelajaran eksakt saya selalu jeblok. Tentu saja tiap akhir tahun pelajaran saya terancam tidak naik kelas. Dan karena penerima beasiswa jaringan pengaman social, saya pun naik kelas terus. Tanpa ikut les pelajaran eksakta pula. Dalam hal ini saya cukup beruntung.

Bagi saya, sistem pendidikan Indonesia tidak bisa melihat potensi peserta didiknya. Semua hanya diarahkan seragam.Sangat tidak proporsional dalam memberi apa yang sebenarnya harus diberikan kepada anak-anak yang beranjak dewasa untuk masa depannya.

Untung saja, SMA Negeri 2 Balikpapan kala itu memiliki perpustakaan yang baik. Bagi saya perpustakaan terbaik di kota saya. Sejak awal sekolah di SMA 2, perpustakaan adalah tempat pertama yang selalu ingin saya datangi. Saya selalu cari alasan agar bisa masuk perpustakaan. Tidak peduli itu ja m pelajaran sedang buelrlangsung atatu tidak. Perpustakaan SMA Negeri 2 a dalah surga saya. Membuat saya jadi manusia bebas.

Saya mulai berkenalan dengan sastra. Menikmati karya-karya Iwan Simatupang, Muchtar Lubis, Idrus, dan tentu saja Kahlil Gibran. Majalah HORIZONpun saya lahap. Sayang, tidak ada karya hebat Pramudya Ananta Toer di perpustakaan sekolah saya itu. Saya terlambat mengenal Pram. Baru semester 3, ket.ika kuliah sejarah, saya mulai kenal tetralogi Buru karya Pram.na

Kahlil Gibran adalah yang paling berkesan. Membuat saya selkalu ingin menuslis puisi. Cita-cita saya diawal SMA, bahkan sejak kelas 3 SMP, adalah menjbadi penyair. Cita-cita itu mulai berbelok ketika saya tahu nilai ujian sejarah saya yang tertinggi di sekolah menjelang kelulusan saya. Apalagi setelahy mengerti so.sok Anhar Gonggong, Sejarawan LIPI, muncul di TV, saya langsung ambil keputusan untuk mendalami sejarah saja. Postur Anhar Gonggong mirip dengan postur saya yang kurus tinggi dan gondrong.

Kebiasaan membaca taerus berlanjut ketika kuliah Sejarah. Makin menggila. Filsafat adalah bacaan, sekaligus makanan otak, yang hingga kini tidak pernah bisa saya pahami. Meski tidak bisa mencernanya, saya tetap suka membaca buku filsafat. Sampai pusing. Tiap minggu selalu meminjam buku-buku baru. Uang bulanan kirin Ibu Pantes Suyatik, ibu Adoel, selalu terpakai untuk beli buku.

Berburu buku di surga buku bernama Jogja adalah hal menyenangkan. Saya tidak menyesal menghabiskan banyak uang untuk buku. Tidak ada yang salah, apalagi rugi. Tidak ada halangan membaca semasa kuliah. Justru sebaliknya. Uang yang saya dapat, entah dari bekerja atau pemberian dari siapa saja, sebisa mungkin saya belikan buku.

Buku membuat saya berpikiran bahwa diktat-diktat dosen terlalu dogmatik. Walau diawal kuliah saya juga bergantung pada diktat. Pelan-pelan saya meninggalkannya. Saya hanya berharap pada buku-buku, yang jauh lebih tebal daripada diktat. Saya tidak peduli nilai kuliah saya. Belakangan, saya sadar apa yang saya yakini itu tidak sia-sia. “Buku menyelamatkan saya,” begitu kata Taufik Rahzen dalam sebuah acara bloger di Jakarta. Buku tidak sekedar menyelamatkan saya, tapi juga mengantarkan saya ke dunia yang menyenangkan. Pastinya, buku membuat saya hidup. Selama lebih dari 5 tahun saya tenggelam dengan buku. Tidak ada istilah “buku, pesta dan cinta”, cuma ada BUKU saja.

Terimakasih kepada orang-orang membuat saya bisa membeli buku. Juga yang meminjami saya buku. Terimakasih Buku!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun