Yang saya dapati sejarah Sulawesi Selatan, cukup menarik dikaji. Sulawesi Selatan dalah daerah termaju di Indonesia Timur.
Sebelumnya, saya mengenal Sulawesi Selatan hanya dari buku atau hanya dari cerita kawan-kawan saya ketika kecil. Suatu kali Indonesia Boekoe, tempat saya pernah bekerja memberi tugas pada saya untuk menulis salah satu tokoh wanita dari Sulawesi Selatan, We Tenriolle. Tokoh ini sangat asing sekali dalam sejarah Indonesia. Kisah dan perjuangan wanita ini cukup menarik juga.
Ternyata, Sulewesi Selatan juga memiliki tokoh-tokoh lain yang cukup dikenal dalam sejarah Indonesia sejak dulu. Sangat penting kiranya jika masyarakat Sulawesi Selatan menuliskan sejarahnya, juga tokoh-tokohnya. Keberadaan jurusan Sejarah di Universitas Hasanudin, juga jurusan Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Makassar, harusnya bisa melahirkan Sejarawan yang fokus menkaji sejarah Sulawesi Selatan. Sehingga penulisan sejarah yang ada sekarag jadi semakin maju.
Bukan Sekedar Sejarah Kekerasan
Sejarah Sulawesi selatan cukup disoroti dalam sejarah Indonesia. Sayangnya, dalam Sejarah Nasional Indonesia yang disusun Nugroho Notosusanto, kebanyakan hanya berupa kekerasan saja. Dimana ditemukan tentang perang Sultan Hasanudin melawan VOC. Juga memposisikan Arung Palaka pengkhianat karena bersekutu dengan VOC melawan Sultan Hasanudin. Lalu ada cerita heroik Walter Monginsidi dan selanjutnya ada pemberontakan Kahar Muzakar yang dituduh antek DI/TII, padahal pemberontakan terjadi karena pemerintah tidak bisa bertrima-kasih kepada bekas pejuang kemerdekaan yang kemudian ikut berontak dengan Kahar Muzakar.
Sayangnya, Sejarah intelektulitas masyarakat Sulawesi Selatan tidak diangkat. Padahal orang-orang Sulawesi Selatan punya cendikiawan sekelas Karaeng Patinggalong, Syech Yusuf dan lain-lainnya. Bicara soal hukum dan lautan, orang Bugis-Makassar memiliki Amanna Gappa. Sejarah Nasional Indonesia, yang enam jilid dan belum lama cetak ulang itu, kebanyakan berbicara Jawa jauh lebih banyak daripada yang lainnya.
Pergerakan nasional, sebagai titik penting Sejarah Nasional Indonesia, dianggap banyak sejarawan sebagai masa berakhirnya perlawanan fisik rakyat Indonesia yang menentang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Dengan kata lain, masa pergerakan, sesudah 1908, adalah waktunya berjuang dengan otak dan otot tidak lagi dipakai. Berarti beberapa tokoh yang melakukan perlawanan seperti Kiai Hasan di Cimereme dan tokoh lain ditempat yang lain tidak lebih daripada perusuh saja. Mereka tentu tidak akan menjadi pahlawan nasional karena dianggap perusuh.
Perjuangan tanpa kekerasan, atau yang dianggap perjuangan gaya modern, yang pakai otak, sebenarnya dimulai sebelum 1908. Sebelum meninggalnya ditahun 1904, Kartini sudah berusaha mencerdaskan kaum putri.
Sejarah Sulawesi Selatan sendiri, tidaklah hanya diisi dengan sejarah kekerasan yang memakan nyawa saja. Tradisi intelektual sebenarnya sudah dimulai juga menjelang abad XX. Dimana beberapa orang tua dari kalangan berada memasukan anak-anaknya ke sekolah modern, dan jauh sebelumnya lagi mengirim anaknya ke pesantren.
Meski orang tua terkesan opurtunis, dengan anaknya belajar di sekolah modern, maka si anak akan mengerti perkembangan dunia dan juga bisa mengenali musuh-musuhnya. Jangan heran jika keluarga bangsawan Jawa, juga Bugis, mengirim anakanya ke sekolah modern.
Meski di Makassar pada zaman kolonial, hanya ada sekolah menengah. Yakni hanya sekelas Meer Uitgebrid Lager Onderwijs (MULO; setara SMP) saja, tidak ada Algemene Midelsbare School (AMS; setara SMA) maupun Hogare Burger School (HBS; sekolah menengah 5 tahun yang lulusannya setara lulusan SMA). Jika ingin sekolah lebih tinggi maka pemuda sulawesi selatan harus pergi ke pulau Jawa-dimana akses pendidikannya paling maju di zaman kolonial.