Sejarah selalu berkait antara satu dengan yang lain. Juga antara tokoh satu dengan yang lain. Semua saling mempengaruhi, setidaknya mewarnai. Ada cerita menarik tentang anak Kartini yang masuk dunia pergerakan. Dia bergerak seperti Ibu Tirinya yang hebat, seperti dalam kacamata Pramoedya Ananta Toer
Abdulmadjid dilahirkan pada tanggal 9 Januari 1904 di Rembang. Abdulmadjid terlahir sebagai putra bupati Rembang, dan termasuk salah satu anak tiri Kartini, karena ayahnya yang bupati Rembang itu menikahi Kartini. Abdulmadjid, menurut pengakuan salah seorang tokoh nasional yang dikutip oleh Soe Hok Gie dalam Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan, adalah sosok yang kaku, aristokratis dan dogmatis.
Pastinya Abdulmadjid tidak akan melihat Kartini yang moderat itu secara utuh, Kartini meninggal saat melahirkan Susalit ditahun 1904, yang juga tahun Abdulmadjid lahir. Hubungan akibat perkawinan ayahnya dengan Kartini itu tidak memberikan pengaruh pada intelektualitas Abdulmadjid. Ketika dalam masa pertumbuhan Abdulmadjid, tidak pernah berhubungan dengan Kartini yang sudah berada di alam baka.
Abdulmadjid setidaknya telah merasakan bangku empuk di sekolah Belanda hasil politik etis Belanda di pergantian abad XIX ke XX. Sebagai anak bupati Rembang, Abdulmadjid setidaknya bisa bersekolah dengan pengantar bahasa Belanda di Europe Lager School (ELS: setingkat SD) lalu ke Hogare Burger School (HBS: sekolah menengah)—sepertihalnya sosok Minke dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Dua sekolah sekolah macam tadi hanya terdapat di kota-kota besar Hindia kala itu, setidaknya Abdulmadjid pernah bersekolah di Semarang. Kota dimana Sastrokartono, kakak Kartini, sempat bersekolah sebelum akhirnyta belajar di Negeri Belanda.
Selepas sekolah menengah di Indonesia, Abdulmadjid mengikuti jejak paman tirinya, Sastrokaratono yang lebih dulu berangkat ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Disana Abdulmadjid berkenalan dengan mahasiswa-mahasiswa pergerakan macam Hatta. Abdulmadjid-pun terpengaruh dan ikut terlibat dalam arus pergerakan kaum kiri di Eropa itu. Tidak tanggung-tanggung, Abdulmadjid akhirnya terseret ke prodeo pemerintah Belanda yang represif terhadap gerakan anti kolonialisme.
Kehadiran orang-orang komunis dari Indonesia macam Semaun atau Darsono cukup memberi pengaruh pada Abdulmadjid untuk menempuh jalan komunis. Sama saja dengan Rustam Effendi, awalnya aktif di PI, lalu setelah Hatta kembali ke Indonesia tampil sebagai seorang komunis terkemuka di Eropa.
Abdulmadjid kemudian berhasil memepengaruhi kawannya yang lain dari Indoenesia, seperti Setiadjit. Pemuda ini kenal sebagai mahasiswa yang gemar mengunjungi dunia gemerlap malam di Belanda, dan oleh kawan-kawan Indonesianya dikenal sebagai anak malas dan tiap kali tidak punya uang sering meminjam uang dari Abdulmadjid dan kawan-kawan komunis lainnya. Semakin sering Setiadjit butuh uang, semakin sering dia berinteraksi dengan Abdulmadjid yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi Setiadjid dengan paham kirinya itu. Lama kelamaan, hobi Setiadjit meminjam uang itu semakin berkurang, ke menikmati dunia gemerlap malam-pun semaki berkurang. Pastinya mulailah Setiadjid terpengaruh oleh komunisme dari Abdulmadjid. Akhirnya Setiadjit mulai masuk dalam kelompoknya Abdulmadjid. Perkawanan Abdulmadjid dengan Setiadjit semakin akrab dalam gerakan kiri mahasiswa Indonesia itu. Mereka, seperti halnya Semaun-Darsono diawal kejayaan PKI di Semarang, tampil dwitunggal berpengaruh dalam PI pasca kembalinya Muhamad Hatta ke Indonesia.
Abdulmadjid kemudian sempat meninggalkan Belanda sebelum Jerman menduduki Negeri Belanda. Masa-masa menjadi aktifis Komunis itu, Abdulmadjid tidak pernah berhenti belajar. Setidaknya dia sudah menyandang gelar Mr (Meester in Rechten: Sarjana Hukum sekarang). Bersama beberapa kawannya Abdulmadjid pernah belajar di Lenins Institute di Moscow, Rusia sekitar tahun 1934-1935. Selama PD II mereka aktif dalam gerakan bawah tanah anti NAZI.
Abdulmadjid tampaknya berpikiran bahwa komunisme adalah jalan untuk mencapai tujuan perjuangan kaum pergerakan. Kesuksesan revolusi komunis di Rusia tahun 1917, memberi petunjuk bagi Abdulmadjid tentang perubahan atas tanah Hindia yang terjajah, dimana Hindia Belanda akan menjadi Indonesia dan tidak ada lagi kata Inlander lagi. Seperti halnya orang-orang komunis lain, Abdulmadjid yakin akan dukungan Komunis Internasional pada perjuangan bangsa Indonesia yang dipimpin kaum komunisnya untuk pembebasan negeri.
Kaum komunis Indonesia, termasuk Abdulmadjid, bagaimanapun juga adalah elemen penting pergerakan nasional. Sejak kemunculannya di Semarang, kaum komunis sudah berusaha menyentuh kepentingan kaum miskin tertindas dan ikut serta dalam pergerakan. Semaun, Tan Malaka, Darsono dan lainnya telah meberikan dirinyan untuk pergerakan. Begitu juga Abdulmadjid.
Apa yang dialami dan lakukan Abdulmadjid dan kawan-kawannya selama di Eropa bagaimanapun adalah suatu usaha untuk mencapai dua kata, seperti judul pledoi Muhamad Hatta, Indonesie Vrij (baca: Indonesia Merdeka). Tujuan yang sama dengan kaum pergerakan di Indonesia, walaupun berbeda visi mengenai Indonesia Merdeka bagaimanakah yang akan dituju itu.
Banyak tokoh nasional akan dicap sebagai sampaih bila pernah bersentuhan komunis. Tokoh yang terlibat dalam kudeta atau pemberontakan biasanya akan di beri lebel pengkhianat bangsa. Sejarah Indonesia tiga dekade terakhir masih menganggap kaum komunis di arena pergerakan nasional dianggap sebagai 'duri dalam daging' atau bahkan 'musuh dalam selimut' kaum pergerakan. Karenanya peranan kaum kiri itu nyaris tidak tertulis dalam sejarah bangsa. Dibangun opini bahwa orang-orang kiri adalah perusak perjuangan kaum pergerakan karena pemberontakan PKI 1926-1927. Hampir tidak pernah dibahas bahwa seorang orang kiri Indonesia di Negeri Belanda, Rustam Effendi pernah duduk dalam parlemen Belanda dan berhasil menarik simpati beberapa warga Belanda atas ketimpangan rasial pemerintah kolonial Belanda terhadap orang-orang Indonesia.
Stereotif atas orang-orang kiri itu sangat politis sekali, dalam sejarah, kaum penguasa berhak melakukan apa saja, apalagi terhadap kaum yang kalah—kaum yang pecundang yang layak dijadikan warganegara kelas dua bahkan layak juga diperbudak oleh kaum pemenang. Dalam sejarah tidak ada kata pengkhianat atau pahlawan. Bila-pun ada, hal itu lebih bersifat politis saja.
Ada yang patut diingat dari seorang Abdulmadjid dibalik sosoknya yang kaku dan nyaris dogmatis, seperti yang dikutip Soe Hok Gie, pengkomunisan yang dilakukannya terhadap PI adalah usahanya, bersama Setiadjid, memperoleh dukungan gerakan komunis Internasional pada dunia pergerakan nasional di Indosnesia. Terlihat Abdulmadjid berusaha belajar dari kecerobahan PKI 1926/1927 yang nekad memberontak itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H