Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pasukan Baret: Anak Didik Westerling

18 Februari 2013   11:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:06 2178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aksinya di Sulawesi Selatan adalah jejak hitamnya. Depot Speciale Troepen (DST)—yang bermetamorfosa sebagai Regiment Speciale Troepen (RST) lalu Korps Speciale Troepen (KST)—adalah Masterpiece-nya.

Kebanyakan orang jadi perwira karena lulus Akademi Militer. Tapi, Westerling jadi perwira karena perang. Dia bukan dari Akademi Militer. Dia baru masuk militer di  tahun 1941. Karirnya mulai dari bawah; pernah jadi Kopral lalu Sersan. Pada 1945, ketika terjun ke Medan, untuk bebaskan tawanan dan melatih pasukan, pangkatnya sudah Letnan.

Jelang aksinya yang disebut pihak Belanda sebagai Kampanye Pasifikasi di Sulawesi Selatan, dimana ribuan orang jadi korban, pangkatnya Kapten. Westerling tampil sebagai komandan operasi yang kejam. Dia begitu mudah menembakan pistol colt-38 selama operasi di Sulawesi Selatan pada orang yang dicurigainya sebagai Extrimis (baca: Pejuang Republik).

Westerling seakan tak kenal hukum perang. Tak seperti perwira pada umumnya yang punya etika perang, namun Westerling lebih suka menebar teror yang dianggapnya benar. Latar belakang Westerling yang tak pernah ikut sekolah perwira atau akademi militer, membuatnya tak terapkan etika perang. Padahal, tawanan perang dan orang-orang sipil harus dilindungi Konvensi Genewa. Seorang perwira harusnya hormati hukum kemanusiaan. Yang dibunuh harusnya musuh bersenjata, bukan orang sipil tak bersenjata.

Pangkatnya tergolong cepat untuk orang yang tak pernah masuk Akademi Militer. Itu tak lain karena Westerling Prajurit Komando (Baret Hijau) berpengalaman tempur. Tak semua prajurit Belanda sepertinya. Begitu tiba di Jakarta, Westerling melatih sebuah pasukan khusus KNIL yang kemudian disebut  Depot Speciale Troepen (Depot pasukan Khusus)—yang kemudian berkembang menjadi Regiment Speciale Troepen (RST) lalu Korps Speciale Troepen (KST).

Pasukan khusus yang semula dipimpin Letnan Scheepen, lalu diserahkan pada Westerling. Pasukan ini direkrut dari serdadu-serdadu KNIL pilihan—yang terdiri dari orang Belanda, Indo, Jawa, Manado, Ambon dan lainnya. Mereka umumnya sangat fanatik bela Belanda dan anti Republik. Kesamaan DST dengan Marsose (pasukan khusus zaman Hindia Belanda), mereka sama-sama ditanamkan rasa benci berlebih pada bakal musuh mereka.

Westerling menjadikan pasukan ini sebagai Pasukan Komando seperti dirinya juga. Melatih mereka seperti dirinya dulu dilatih di Inggris. Mereka diajari: taktik antigerilya, mendarat dengan perahu karet, menggunakan pisau dan membunuh dengan tangan kosong—keahlian khusus yang membuatnya pernah jadi asisten instruktur semasa di Inggris.

Petinggi KNIL tampak puas dengan pasukan yang dilatih Westerling ini. Kampanye Pasifikasi Sulawesi Selatan 1946-1947 adalah bukti kehandalan pasukan ini di mata para Jenderal tentara Belanda. Tak heran jika Westerling jadi orang kepercayaan Letnan Jenderal Spoor—Panglima tertinggi pasukan Belanda di Indonesia—yang berambisi menghabisi TNI dan menamatkan riwayat Republik Indonesia secara militer. Ketika pasukan Komando baret hijau digabungkan dalam RST/KST bersama pasukan Para baret merah, Westerling tetap jadi komandan.

RST/KST ini kadang disebut Pasukan Baret. Jumlah pasukan itu mencapai 1.200 orang, kata Westerling dalam autobiografinya Challenge to Terror. Pasukan dalam sebesar itu harusnya dipimpin Letnan Kolonel, bukan Kapten. Ini karena kepercayaan Spoor pada Westerling. Setelah Westerling keluar dari KNIL, pasukan ini diserahkan pada Letnan Kolonel van Beek. Lebih dari tiga tahun, sebelum diserahkan pada van Beek, Westerling melatih dan memimpin pasukan ini.

Bersama van Beek, bekas anak-anak didik tadi terlibat aksi besar, Operasi Gagak merebut Jogjakarta, 19 Desember 1948, yang sukses menangkap Sukarno dan pemimpin Republik lainnya. Secara tidak langsung, Westerling punya andil besar mengobrak-abrik ibukota RI dalam hitungan jam saja.

Siapapun komandan Pasukan Baret setelahnya, Westerling tetap legenda hidup bagi bekas anak didiknya. Dialah yang menjadikan mereka sebagai pasukan khusus yang sulit dikalahkan musuh mereka. Reputasi Westerling sebagai Prajurit Komando, walau kejam dan kelam di Sulawesi, sangat dikagumi mantan anak didiknya. Tak heran jika diantaranya APRA di Bandung dan Jakarta.

Belakangan, bekas anak didiknya ada yang terlibat Republik Maluku Selatan di Ambon seperti Thomas Nussy dkk. Juga ada Nicholas Sulu dkk yang awalnya hanya ingin mudik, namun terlibat dalam Permesta di Sulawesi Utara akhirnya. Meraka tak mudah dikalahkan pasukan-pasukan TNI yang dikirim menumpas mereka karena berontak.

Menurut mantan Pasukan Baret yang kemudian masuk RPKAD, lebih dari separuh anggota pasukan khusus pertama Indonesia yang dipimpin Mayor Mohamad Idjon Djanbi—yang mantan Kapten baret Merah Belanda—adalah bekas anak didik Westerling juga.

Bekas Pasukan Baret tadi memang betul-betul masterpiece Westerling. Karena membentuk Pasukan Baret itulah karir Westerling melesat, baru setahun jadi Letnan, dia naik jadi Kapten. Begitulah tuntutan perang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun