Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

TNI Harus Profesional!!!

4 Oktober 2010   08:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjadi prajurit adalah sebuah pengabdian pada zaman raja-raja lokal di Indonesia di zaman lampau. Prajurit bukan sesuatu yang profesional zaman itu. Masuknya bangsa barat, menjadi prajurit mulai menjadi sesuatu yang hina hingga masuknya tentara pendudukan Jepang. Di zaman lampau Indonesia telah ada serdadu profesional yang bekerja pada VOC. Indonesia pernah mengalami beberapa fase kemiliteran modernnya. Mulai dari militerisme profesional yang rasis dimasa Hindia Belanda, militerisme yang fasis gaya pendudukan Jepang. Kemudiaan di zaman awal-awal kemerdekaan, Indonesia mengalami masa pencarian jatidiri militernya. Pertarungan paham pun terjadi. para bekas KNIL beradu ideologi dengan bekas PETA. Pergantian orde baru menjadi arena penting mantan PETA yang mengarahkan ketentaraan yang mirip fasis. Adanya revolusi kemerdekaan RI kemudian membuat kemiliteran sebagai profesi yang cukup diminati di Indonesia. Tidak menjadi tentara republik, bisa membuat seorang pemuda dianggap mata-mata musuh yang bisa-bisa dibunuh oleh sesama pemuda yang lain. Selanjutnya, menjadi tentara menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi seorang pemuda. Tidak seperti di masa Hindia Belanda, dimana profesi militer diposisikan sebagai profesi hina dalam masyarakat kolonial, meskipun masyakat kolonial dibangun juga dengan keringat dan darah militer yang mereka anggap hina itu. Bagaimanapun KNIL dan PETA dibentuk untuk mempertahankan nusantara. KNIL mempertahankan diri dari ancaman domestik seperti pemberontakan. Sementara PETA untuk mengatasi ancaman dari luar, dalam hal ini sekutu. Pendudukan Jepang adalah zaman baru. Dimana kehidupan sulit, menjadi militer sebagai profesi yang menguntungkan untuk bertahan hidup ketimbang menganggur. Terjadi perubahan, dimana semakin banyak orang Indonesia bisa menjadi perwira militer. Sebelumnya hanya ada segelintir perwira pribumi saja dalam militer Kolonial. Masa orde baru adalah masa dimana profesi militer menjadi dambaan sebagian pemuda di Indonesia. Ketika diluar negeri, masuk militer dijadikan wajib militer, maka di Indonesia sebaliknya, tidak perlu ada wajib militer dan para pemuda tentu akan berbondong-bondong masuk militer. Prestise menjadi seorang militer begitu besar dalam masyarakat Indonesia. Indonesia mengalami perubahan paradigma militernya dari militerisme semakin kuat ketika Suharto berkuasa, pengaruh PETA begitu terasa di zaman orde baru. Orang-orang yang memimpin di zaman Suharto adalah orang yang masa mudanya mengalami zaman pendudukan Jepang. Suharto berhasil memegang kendali militer setelah banyak orang penting Angkatan darat terbunuh kemudian yang tersisa disingkirkan oleh Suharto. Dimana setelahnya militerisme semakin menjadi dan militer juga pegang kendali dibanyak sektor kehidupan, terutama dibidang birokrasi dan perekonomian. Profesi militer gaya barat yang semula hina, lalu berubah menjadi panggilan hati dan selanjutnya menjadi semakin prestisius. Hal ini terus berlaku hingga lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka. Buku ini berusaha memberi gambaran profesi militer di Indonesia sejak zaman KNIL hingga berdirinya TNI—yang masih terus berjuang untuk menjadi tentara profesional. Dimana zaman pendudukan Jepang juga menjadi transisi penting dalam sejarah militer di Indonesia. Zaman Kolonial Di zaman kolonial, militer diadakan untuk memperkokoh kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Begitulah KNIL kemudian berkiprah di Nusantara. KNIL sebenarnya ikut memberi warna dalam sejarah Indonesia karena adanya politik rasial yang membatasi peran kaum pribumi dalam kemiliteran—kecuali dalam posisi prajurit rendahan yang harus rela membunuh pemberontak pribumi. Keberadaan KNIL sebagai alat pemerintah kolonial, telah memberikan pandangan buruk dari sebagian besar rakyat pribumi yang menganggap profesi serdadu KNIL adalah profesi yang buruk dan hina. Hanya orang-orang yang berasal dari daerah gersang saja yang ingin bergabung dengan alasan mengatasi masalah perut—dengan kata lain untuk bertahan hidup. Kehinaan itu tidak saja menjadi anggapan masyarakat pribumi saja. Melainkan juga karena sebagian besar orang-orang pribumi dalam posisi hina atas diskriminasi ras yang diberlakukan sistem kolonial yang berlaku lebih dari seabad. Kehinaan dimasa kolonial jelas mereka rasakan, apalagi setelah revolusi kemerdekaan RI, dimana banyak hal kehinaan yang mereka terima. Selain menjadi hal hina bagi sebagaian masyarakat pribumi, KNIL juga menerapkan pola pertahanan yang melemahkan mereka. Sejak awal pemerintah Kolonial berpikir bahwa tidak akan ada negara yang akan menyerang Hindia Belanda dari luar karena hubungan antar negara, dalam kurun waktu 1830 hingga perang dunia, cukup stabil. Tidak ada permusuhan berarti. Dan, menurut petinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda, musuh terbesar Hindia Belanda adalah pemberontakan dalam negeri, bukan bangsa asing. Maka tampillah KNIL sebagai pasukan pembasmi pemberontak—yang cukup profesional. Tidak heran jika KNIL akhirnya tidak terbiasa menghadapi serangan dari luar. Hingga dalam waktu singkat berhasil digasak pasukan balatentara Jepang. Pendudukan Jepang Masuknya Jepang di Indonesia memberikan warna baru bagi kehidupan orang Indonesia. Periode militerisme pun berdenyut kencang. Segala upaya dilakukan pemerintah Jepang untuk memenangkan perang melawan sekutu. Semua sumber daya, baik alam dan manusia, yang ada di daerah pendudukan Jepang dikerahkan. Selanjutnya, pemerintah bala tentara Jepang melatih banyak pemuda untuk dijadikan serdadu—dalam waktu prematur. Latihan para calon serdadu pembantu militer Jepang ini singkat sekali dan latihannya juga kurang maksimal karena terbatasnya amunisi. Teknis militer kurang ditekankan dalam latihan kecuali, masalah disiplin dan semangat prajurit Jepang saja yang paling ditekankan. Di Indonesia, puluhan ribu lebih pemuda telah dilatih para pelatih militer Jepang untuk menjadi prajurit siap tempur. Mereka, para pemuda Indonesia itu, tersebar dalam kesatuan Heiho (prajurit pembantu militer Jepang)—yang dianggap tentara kelas dua dan tentara sukarela seperti dalam PETA atau Gyugun Sumatra. Disampaing Heiho, PETA dan Gyugun, juga banyak pemuda-pemuda yang mendapatkan latihan semi militer dari pelatih militer Jepang. Mereka adalah tinggalan penting dari tentara pendudukan Jepang yang dimasa revolusi menjadi kekuatan penting melawan masuknya tentara Belanda yang memboncengi tentara sekutu yang tampil sebagai pemenang dalam perang dunia II. Meski menduduki Indonesia dalam waktu yang sangat singkat, namun tentara pendudukan Jepang telah memberi banyak perubahan di Indonesia. Termasuk di bidang militer. Waktu yang singkat bagi tentara Jepang membentuk pasukan sukarela—yang disiapkan untuk mempertahankan Indonesia dari serangan sekutu—dianggap hebat oleh beberapa kalangan, terutama yang pernah menjadi bagian dari PETA. Antara Bekas KNIL dan PETA Dibandingkan KNIL, PETA telah memberikan banyak bekas perwiranya untuk memimpin TNI setelah Indonesia merdeka. Bukan hal aneh, karena jumlah orang Indonesia di PETA jauh lebih banyak dibandingkan di KNIL. Selain itu, PETA yang muncul belakangan tentu memang memungkinkan untuk menonjolkan banyak peran di TNI. Sementara dari KNIL, hanya segelintir saja yang menonjol seperti T.B. Simatupang, A.H. Nasution—yang berhasil duduk di pimpinan tertinggi tentara. Dari PETA tentu meberikan banyak lagi karena usianya lebih muda dibanding Simatupang dan Nasution. Rakyat Indonesia, setelah revolusi pasti begitu membenci hal-hal berbau kolonial, apalagi tentara kolonial yang menjadi alat penjajah di nusantara. Bekas KNIL pasca revolusi pasti meramalkan akan adanya kehinaan yang mereka terima dimasa-masa Indonesia merdeka. Kehinaan itu tentu diikuti dengan rasa permusuhan orang-orang opurtunis kini pro Republik pasti merasa bisa berbuat semaunya karena republik tampil sebagai pemenang. KNIL, dalam sejarahnya tidak mau menjadi pecundang, mereka telah patahkan banyak perlawanan rakyat lokal. Sangat tidak mungkin bagi mereka menerima penghinaan dari orang-orang pasca revolusi yang pro republik. Penghinaan yang akan diterima pasti lebih menyakitkan. Bukan lagi dianggap hina namun lebih dihinakan lagi. Dendam historis pasti banyak terjadi pasca revolusi. Dari kelompok perwira muda KNIL macam Nasution, Kawilarang, Didi Kartasasmita dan lainnya tidak diberi kesempatan untuk masuk dalam PETA oleh Tentara Jepang. Bekas perwira KNIL yang mengusung paham profesionalisme dilarang masuk dalam tentara sukarela PETA yang disusupi paham fasisme Jepang. Walau begitu, kalangan perwira muda KNIL itu, bukan kelompok perwira KNIL yang kemudian ikut bersama Belanda setelah revolusi kemerdekaan Indonesia. Mereka lebih banyak bergelut di TNI—dan menjadi musuh tersembunyi perwira bekas PETA dalam TNI. Loyalitas bekas KNIL dari suku Jawa di pulau Jawa yang jumlahnya banyak itu, jelas tidak bisa diharapkan untuk kembali dijadikan pasukan seperti sebelum perang. Bukan sebuah kebetulan bila pasukan KNIL setelah revolusi lebih banyak berasal luar Jawa. Batalyon Infanteri KNIL lebih banyak dibentuk diluar Jawa. Lahir Langsung Perang Setelah perang dunia II selesai, petinggi militer Belanda, sebenarnya lebih mengandalkan KNIL. Bukan karena tidak ingin mengorbankan orang kulit putih dari negeri Belanda. Melainkan pada penguasaan medan tropis Indonesia, dimana banyak orang-orang dari negeri Belanda belum tentu terbiasa hidup didaerah tropis—hal ini berpengaruh besar pada kesiapan prajurit. Disisi lain mengadakan wajib militer dan memberangkan milisi itu juga membutuhkan waktu dan biaya besar. Membangun kembali KNIL akan sedikit membantu usaha menduduki Indonesia sebagai koloni seperti sebelum perang. Membangun KNIL kembali tentu bukan hal mudah. Sebagian anggota KNIL—seperti kebanyakan anggota KNIL suku Jawa—sudah bergabung dalam tentara republik yang baru. Banyak prajurit bawahan KNIL dimasa Jepang, masuk PETA atau Heiho. Pengaruh tentara pendudukan Jepang yang sangat membenci prindip profesionalisme seperti yang dianut oleh tentara Belanda. Karena hal ini nyaris tidak ada keinginan dari orang Jawa bekas KNIL berkeinginan untuk bergabung kembali dengan KNIL. TNI pun akhirnya lahir dari kondisi yang tidak pasti di setelah berakhirnya Perang Dunia II. TNI menyerap bekas PETA, Gyugun, Heiho, juga KNIL disamping pemuda yang tidak berlatar belakang militer. Beda latar belakang, juga diwarnai persaingan kepentingan para politisi membuat TNI labil sejak awal pembentukannya. Selanjutnya, berakhirnya revolusi, pemerintah pusat punya mimpi untuk mengecilkan jumlah tentara karena tidak mampu membayar gaji tentara profesional. Keinginan pemerintah adalah memiliki tentara yang jumlahnya sedikit namun efektif dan bukan tentara dalam jumlah besar namun tidak disiplin. Bekas perwira KNIL bernama Nasution adalah perwira yang paling bermimpi soal tentara profesional ini. Korban ”pengecilan jumlah tentara” pun berjatuhan. Tidak heran jika kemudian ada yang masuk hutan dan berontak melawan tentara pemerintah—seperti dalam kasus pemberontakan Kahar Muzakar maupun Ibnu Hajar. Banyak orang harus keluar dari TNI, padahal mereka merasa sudah mantap untuk menjadikan militer sebagai dunia mereka. Kehidupan zaman revolusi yang penuh ketegangan membuat mereka terbiasa dengan suara peluru, dan kekerasan tentunya. Tidak heran jika banyak bekas pejuang dan tentara menjadi preman yang terorganisir bersama kawan seperjuangan mereka di kala revolusi. Bahkan ada yang menjadi penjahat kelas berat seperti Kusni Kasdut dan Bir Ali—yang terjebak karena beratnya hidup di alam kemerdekaan. Kemerdekaan mungkin tidak adil bagi sebagian bekas tentara pejuang di zaman revolusi. Tentara terus Ada Sejarah TNI sendiri belumlah berakhir, alias masih panjang dan terus membangun karakternya sebagai tentara profesional—yang diharapkan merakyat. Namun hal ini sulit karena minimnya anggaran untuk militer dan ketakutan TNI dipolitisir oleh poltisi sipil seperti yang terjadi diawal sejarah TNI. Posisi Suharto di zaman orde baru telah menempatkan militer Indonesia seperti di negara Amerika latin, sebagai kekuatan penting. Militer di Indonesia bahan memasuki kekuasaan dalam birokrasi sipil. Pendidikan Indonesia juga tidak luput dari militerisme orde baru. Penonjolan militer dalam sejarah, baik di sekolah maupun diluar sekolah, juga ikut menempatkan militer sebagai profesi menarik. Militer juga terus menjadi profesi menarik bagi sebagian pemuda Indonesia—yang sudah terbiasakan dengan kekerasan. Dimana menyandang senjata dan mengenakan seragam hijau militer atau sejenisnya menjadi sebuah kebanggaan. Tidak heran jika banyak pemuda berbondong-bondong untuk mendaftar masuk militer—bukan sekedar agar tidak menganggur namun juga untuk sebuah kebanggaan. Tidak perlu wajib militer seperti di luar negeri. Indonesia, sejak dulu memang memiliki sumber daya manusia yang tidak perlu lagi diragukan untuk dijadikan tentara profesional. Bagaimanapun kondisinya, banyak yang menilai bahwa TNI belumlah profesional. Tugas TNI harusnya bersiap diri untuk menghadapi perang maupun ancaman dari luar—bukan sekedar menghadapi ancaman dari dalam yang membuat TNI tampak seperti KNIL zaman Hindia Belanda. TNI harusnya disiapkan, selayaknya PETA disiapkan oleh tentara Jepang untuk menghadapi ancaman dari luar. Namun soal paham militer profesional KNIL layak ditiru karena KNIL tidak mencampuri urusan sipil. Sementara apa yang terjadi beberapa dekade terakhir, terutama zaman orde baru, militer telah mencampuri urusan sipil layaknya tentara Fasis. Intinya, hampir semua orang Indonesia menginginkan TNI profesional dan mampu melindungi rakyat Indonesia dari berbagai ancaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun