Mati itu takdir kata orang beragama. Mati hal biasa, meski harus ditangisi. Kematian tetap menjadi misteri menarik bagi beberapa orang. Banyak buku membahas kematian. Seorang kawan bahkan sedang mengedit sebuah buku tentang kematian. Mati itu indah bagi beberapa orang. Ada adegan film dimana kematian begitu indah bagiku. Kematian Sersan Elias Grodin dalam film Platoon. Adegan yang sulit kulupakan, bahkan buat aku terobsesi.
Banyak orang orang hebat yang kukenal mati muda. Sebutlah Jimi Hendrix, Janis Joplin, Jim Morisson, juga Soe Hok Gie dan lainya. Mereka punya karya yang masih diingat. Nama paling belakang kusebut bahkan menjadi inspirasiku sebagai mahasiswa sejarah. Aku membaca dan akhirnya menulis, itu konsekuensi dari pilihan hidup yang kubuat waktu SMA dulu. Gie seolah menuntunku. Gie mati muda setelah menulis dua skripsinya yang terkenal, Dibawah Lentera Merah dan Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan. Mahasiswa sejarah Indonesia bodoh saja yang tidak pernah tahu kalau dua buku itu pernah ditulis. Gie mati dalam kedamaian dipuncak Semeru.
Tragis sekaligus heroik.Beberapa penulis dekat dengan kematian. Hidup dan mati seperti dua sisi mata uang dan bukan lagi lawan kata. Paling ekstrim tidak lain sastrawan Jepang. Yasunari Kawabata, orang Asia kedua peraih nobel sastra, mati bunuh diri. Lalu muncul beberapa sastrawan Jepang yang bunuh diri. “Sekali berarti sesudah itu mati”, seperti Chairil Anwar.
Mungkin saja sastrawan dan sebangsanya yang terobsesi dengan kematian itu menganggap kematian itu indah. Seperti Maximus yang merasa melihat pemandangan indah menjelang kematiannya, seperti dalam film Gladiator. Juga oleh Archer dalam Blood Diamond. Keindahan itu seoleh menjadi pintu antara hidup dan mati. Bagi beberapa orang, pintu itu begitu menakutkan. Bagi para mujahid, seperti dipercaya orang Islam, pintu kematian itu begitu indah juga. Ada yang bilang ada bau wangi disekitar pintu kematian bagi orang yang berjuang di jalan Allah (Jihad).
Bagi beberapa orang yang berjuang dengan keyakinan dan mati dalam keyakinan itu indah. Tidak salah bila sebelum di eksekusi Walter Manginsidi menulis: “Setia sampai akhir didalam keyakinan”. Mati itu indah. Walter Manginsidi orang beruntung. Salah besar bila dirinya menyia-nyiakan hidup dan mati muda. Dia meninggalkan puisi yang ditulis dalam penjara. Seperti halnya Soe Hok Gie, Walter Manginsidi adalah manusia yang hidup bebas dan mati muda. Hidup bebas adalah milik mereka yang berjuang bukan milik mereka yang hanya bisa menerima ketidakadilan.
Dua sosok pemuda Indoensia yang mati itu nyaris terlupakan—hanya Gie saja yang sedikit diingat hanya karena film Gie yang dibesut Riri Riza. Keduanya ’kiri’—dalam artian melawan apa yang menjadi arus utama dalam kehidupan mereka dimasa muda. Manginsidi, nyaris tidak menikmati masa mudanya karena perang. Masa muda Manginsidi adalah revolusi yang diliputi opurtunisme. Gie sempat menikmati Bob Dylan dan Joan Baez—ketika Sukarno melarang musik barat.
Sejarah Indonesia tidak hanya mencatat Walter Manginsidi dan Soe Hok Gie saja. Banyak pemuda yang tidak diketahui namanya yang harus mati muda untuk sebuah kebebasan sejati. Banyak diantaranya terlupakan—sebagian diantaranya tidak ingin diingat sebagai pahlawan. Mereka hanya ingin hidup bebas, namun akhirnya mereka mati muda. Mungkin ketika mereka menuju pintu kematian mereka terlihat keindahan membentang hadapan mereka, meski tubuh mereka tertembus peluru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H