"Kalau di sepak bola kita bisa mengalahkan Belanda, kelah di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda" (Soeratin)
Hampir semua orang mengenal—atau setidaknya pernah bermain—sepak bola, sebuah olahraga yang mendunia. Sepak bola memiliki sejarahnya sendiri. Dalam sejarahnya, sepak bola dimiliki oleh banyak bangsa, ada Tsu Chiu di Cina; Harpastum di Yunani; Epykiros di Romawi.[1] Orang Indonesia sendiri mengenal sepak takraw.
Tengkorak orang Viking pernaha digunakan sebagai bola ketika orang Inggris memainkannya. Tengkorak yang berat itu lalu diganti dengan usus sapi. Saat itu sepak bola dimainkan oleh 500 orang tiap regunya dengan panjang lapangan 3-4 kilometer. Karena sering dimainkan di jalan raya dan kadang sangat kasar, maka Raja Inggris pernah melarangnya. [2]
Sepak bola modern lahir dengan diitandai berdirinya 'The Football Association', sebuah perkumpulan sepak bola tingkat pertama dunia yang didirikan oleh bekas pelajar dan mahasiswa dengan dibatu klub-klub bola dari London dan Cambridge ditahun 1863. Asiosiasi ini menerapkan peraturan-peraturan yang memungkinkan permainan ini dilakukan dimana saja. Penyebaran sepak bola ke seluruh dunia dipercepat dengan berkembangnya teknologi media masa dan mobilitas para pedagang, mahasiswa, misionaris dan para pelaut. Atas inisiatif Jules Rimet, 'Federation Internationale De Football Amateur' di Perancis menambah perhubungan internasional antara perkumpulan bola tingkat nasional. [3]
Sepak Bola di Hindia
Kolonialisasi Belanda Indonesia membawa masuk budaya barat, termasuk permainan sepak bola. Tanpa disadari, orang-orang kulit putih mengajarkan kaum pribumi gaya hidup barat, termasuk sepak bolanya. Awalnya, permainan sepak bola tidak berbeda dengan dansa-dansi di kamar bola, hanya untuk orang kulit putih saja.
Masuknya sepak bola ke tanah Hindia (Indonesia) tidak lepas dari jasa orang-orang kulit putih yang bekerja di instansi pemerintahan atau pada sektor swasta seperti di perkapalan, perkebunan atau industri lainnya. Sepak bola yang tengah populer  diparuh kedua abad XIX itu, dipilih oleh para pegawai itu sebagai olehraga untuk menjaga kebugaran.
Golongan pribumi adalah golongan terakhir, setelah Eropa (khususnya Belanda) dan Tionghoa, yang mengenal sepak bola. Awalnya sepak bola dikalangan pribumi hanya dikenal oleh orang-orang terpandang saja. Dikalangan pribumi olah raga ini cepat berkembang lantaran orang pribumi sudah ada sepak takraw dengan bola rotannya.
Unsur duel langsung beradu kekuatan dengan lawan, menjadi kekuatan pendorong timbulnya semangat kehormatan dan kegigihan dan dalam menghadapi kesulitan dilapangan, lalu dimanfaatkan oleh kaum pergerakan. Sepak bola oleh kaum pergarakan juga menjadi media paling baik dalam mendidik, setidaknya menanamkan, semangat nasionalisme menghadapi kolonialisme Belanda. [4]
Diawal perkembangan sepak bola di tanah Hindia, mulai muncul klub-klub sepak bola. Road-Wit (merah putih) yang didirikan pada tahun 1894 oleh sekelompok orang-orang Belanda adalah klub sepak bola yang pertama kali didirikan di tanah Hindia. Dua tahun kemudian, di Surabaya, lahir Victory, klub sepak bola yang didirikan oleh John Edgar murid HBS.[5] Klub-klub sepak bola mulai berdiri di kantor-kantor atau dinas-dinas pemerintah maupun maskapai. [6]
Terbentuknya klub-klub sepak bola lama kelamaan memunculkan perkumpulan bola berupa bond dibeberapa kota pusat kekuasaan kolonial di Jawa. Bond-bond tersebut antara lain: West Java Voetbal Bond (yang kemudian menjadi Voetbalbond Batavia en Omstreken); Soerabajas Voetbalbond; Bandoeng Voetbal Bond dan Semarang Voetbal Bond. Di Semarang, 1914, diadakan kejuaraan sepak bola antar klub-klub lokal dari empat kota besar (Batavia, Bandung, Surabaya dan Semarang). Tam,pil sebagai pemenang adalah klub dari Batavia. Ini adalah event olah raga terbesar di pulau Jawa masa itu.[7]
Ditahun 1919, terbentuk Nederlandsch Indische Voetbal Bond (Perkumpulan Sepak Bola Hindia Belanda, disingkat NIVB). Organisasi ini mengorganisir pertandingan anatar kota tahunan dengan aturan tetap. Secara bergilir NISV mengadakan pertandingan bergilir di Semarang, Surabaya, Bandung dan Batavia hingga tahun 1936. NIVB sebagai organisasi sepak bola pernah mengantongi keuntungan dari penjualan tiket pertandingan antar keseblasan. Ditahun 1922, NIVB mengantongi keuntungan sebesar f 12.425,- dari hasil penjualan 12.559 tiket masuk pertandingan. Sayangnya ditahun 1925, NIVB mendapat pemasukan yang lebih rendah, hanya sebesar f 10.633,- dari hasil penjulanan 11.797 tiket masuk pertandingan. [8]
Semakin seringnya diadakan pertandingan sepak bola, semakin mempercepat pula perkembangan sepak bola di Hindia. Pertandingan sepak bola natar keseblasan itu biasa dilakukan bersamaan dengan pasar malam. Sekolah menjadi jalur perkembangan sepak bola yang efektif selain melalui kejuaraan sepak bola antar klub. Sepak bola masuk sebagai bagian dari mata pelajaran olahraga di sekolah maupun di lembaga pendidikan yang terbuka bagi anak-anak golongan Belanda maupun pribumi terpandang. Jadi, oleh pemerintah kolonial, sepak bola tidak lagi sekedar permainan biasa. Di tingkat sekolah saja sering diadakan pertandingan antar sekolah. Melalui event macam ini, NIVB menjadi ajang mencari pemain muda berbakat. [9]
Semakin berkembangnya arus transportasi karena jaringan jalan dan rel kereta api yang semakin berkembang membuat sepak bola terus berkembang lagi. Masyarakat dipenjuru pulau Jawa menganggap pertandingan sepak bola sebagai ajang keramaian yang selalu ditunggu-tunggu. Hanya untuk menyaksikan pertandingan bola saja rela bepergian ke luar kota dengan mobil atau kereta api baik keseblasan lokal maupun keseblasan luar negeri yang diundang untuk bertanding di Hindia. [10]
Sepak Bola Pribumi dan Nasionalisme
Perkembangan sepak bola di Hindia, tidak hanya melahirkan klub-klub sepak bola Belanda (kulit putih) saja, belakangan klub-klub sepak bola orang-orang Tionghoa dan pribumi juga muncul. Di Surabaya ada klub Patjarkeling yang didirikan oleh haji Muhamad Zen ditahun 1902. Muhamad Zen memimpin klub ini sampai tahun 1922. Di Surakarta, muncul klub: Romeo, Mars, Kars, Truno Kembang, Maz Dez, Tjahja Kwitang, Star dan lainnya. Klub-klum sepak bola Tionghoa yang muncul antara lain: Tiong Hoa Oen Tang Hweee-UMS di Batavia; Tionghoa Surabaya; YMC Bandung dan Union Semarang. [11]
Diawal perkembangan sepak bola di Hindia cenderung didominasi oleh kaum Belanda saja. Rasa tidak suka lalu muncul. Bersamaan dengan kebangkitan nasional ditahun 1908, perasaan tidak suka akan dominasi Belanda juga muncul. Lahirnya Boedi Oetomo yang menjadi manifestasi munculnya jiwa nasionalisme, juga memiliki badang olehraga dimana sepak bola menjadi salah satu cabangnya. Demi kemajuan olahraga ini, disetiap konferensi-nya, Boedi Oetomo juga mengadakan pertandingan sepak bola. Selain Boedi Oetomo, Jong Java juga aktif mengadakan pertandingan sepak bola. [12]
Usaha merintis sepak bola bercorak kebangsaan sudah mulai dilakukan sejak 1922. Di Surakarta, sekelompok bumiputra merasa perlu diadakannya sebuah persatuan sepak boal sendiri untuk wilayah Jawa. Tahun 1924, lahirlah Comite Java Voetbalbond yang dipimpin oleh dr Widioningrat. Sayangnya, perkumpulan tadi tidak berjalan karena tidak adanya perhatian dari klub sepak bola di luar Surakarta. Muncul usaha lanjutan dari usaha yang gagal sebelumnya, Â pada 2 Oktober 1927 diadakan pertemuan yang dipimpin oleh Soeroto. Hasil pertemuan itu adalah mengadakan kongres di Surabaya beberapa orang lalu dikirim ke ke daerah-daerah lain di Jawa untuk membentuk persatuan sepak bola di Jawa. [13]
Sebagai pribumi yang menjadi bagian dari kekuasaan kolonialisme Belanda, tidak jarang orang-orang persepak-bolaan pribumi menerima perlakuan pahit. Ketika itu sebuah klub pribumi di Jawa Tengah akan melakukan pertandingan dengan klub sepak bola Belanda, karena klub yang diajak adalah anggota NIVB maka NIVB dikirimi surat. Malangnya NIVB melarang semua klub bola untuk bertanding. Dengan tegas, NIVB melarang klub-klub bawahannya bertanding dengan klub pribumi yang tidak teratur. Akhirnya kesebelasan militer Belanda di Amabarawa diajak dan bersedia. Keseblasan saepak bola militer ini tidak terikat dengan NIVB karena hanya keseblasan ini hanya bernaung dibawah kesatuan militernya saja. NIVB tidak tidak tinggal diam, sebelum pertandingan wakil NIVB datang untuk melarang pertandingan tersebut. Usaha itu sia-sia, kapten keseblasan militer itu menolak kemauan wakil NIVB tadi. [14]
Ketika banyak perkumpulan sepak bola bergerak sendiri-sendiri tanpa koordinasi, Soeratin gundah. Saat itu, diawal dekade 1920an, banyak pemain sepak bola pribumi yang berkiprah dalam pertandingan-pertandingan yang dilakukan NIVB, hingga NIVB sendiri terus berkembang. Soeratin lari dari kegundahan dengan berkampaye untuk sebuah perkumpulan sepak bola pribumi pada tingkat nasional, tingkat Indonesia. Perkumpulan sepak bola yang nantinya akan mengangkat derajat bangsa pribumi dan mengalahkan sepak bola orang-orang Belanda. "Kalau di sepak bola kita bisa mengalahkan Belanda, kelah di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda" begitulah ucap Soeratin. Banyak yang setuju dengan ucapan dan kampanye Soeratin, akhirnya sebuah persatuan sepak bola lahir. Pada hari minggu tanggal 19 April 1930, berkumpul wakil-wakil dari persatuan sepak bola pribumi di Gedung Batik, dekat alun-alun utara kraton Yogyakarta. Persatuan sepak bola ini berasal dari Batavia, Bandung, Magelang, Surabaya, Surakarta, Semarang dan Yogyakarta sendiri. Mereka bersepakat mendirikan sebuah wadah sepak bola bernama PSSI, kala itu bernama Persatoean Sepak raga Seloeroeh Indonesia. Ditahun 1952 berubah menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Saat itu banyak perkumpulan sepak bola memakai nama Belanda. PSSI bukanlah persatuan sepak bola pribumi yang memakai nama dengan bahasa Indonesia, sebelumnya ada Persatuan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM). [15] Nama PSSI maupun PSIM masih ada sekarang.
Dalam pertemuan itu tadi, Soeratin diangkat sebagai ketua pertamanya. Sebagai konsekuensi pengangkatan sebagai ketua, PSSI yang belum memiliki kantor tetap lalu menjadikan rumah Soeratin di daerah Jetis, Yogyakarta sebagai kantor. Demi eksistensi PSSI yang dipelopori dan dipimpinnya, Soeratin menyusun program-program mempromosikan perkumpulan sepak bola nasional barunya pada kalangan pribumi. PSSI merencanakan diadakannya kejuaraan sepak bola tiap tahunnya dengan nama Stendentournooi. Kejuaraan ini hanya boleh diikuti perkumpulan sepak bola daerah yang mengadakan kompetisi tingkat lokal saja. Kursus perwasitan juga diadakan untuk menghasilkan wasit-wasit pribumi yang memiliki standar sama dengan wasit-wasit Belanda. Kompetisi tingkat pelajar juga diadakan untuk mendapatkan pemain muda masa depan PSSI. [16]
Sebuah kejadian hebat terjadi untuk pertama kali dalam sejarah PSSI. Saat itu, 1937, klub sepak bola asal Tiongkok, Nan Hwa, atas undangan NIVB datang ke Hindia untuk bertanding dengan klub Hindia. Banyak persatuan sepak bola Belanda tumbang oleh Tiongkok itu.[17] Pada 7 Agustus 1937, dengan tim dadakan PSSI berkesempatan melawan keseblasan Nan Hwa. Tanpa diduga, kendati banyak tim Belanda tumbang, PSSI berhasil menahan imbang 2:2 tim asal Tiongkok itu. Hal ini adalah bukti bahwa, dalam hal sepak bola pribumi tidaklah kalah dengan orang Belanda. Pemerintah Kolonial tidak melarang keberadaan PSSI, dimata pemerintah sepak bola tidak memiliki kaitan dengan politik. [18]
Pemecatan Soeratin
Kesibukan Soeratin di PSSI bukan tanpa akibat. Perusahaan tempatnya bekerja, Boukundige Bureau Sitsen En Lausade, tidak menyenangi kegiatan Soeratin di PSSI. Perusahaan itu lalu memberi pilihan kepada Soeratin: PSSI atau pekerjaannya. Soeratin lebih memilih PSSI dan pekerjaannya dengan gaji f 1000,- ditinggalkannya. [19] Soeratin memilih apa yang dipilih Sneevliet sebelum diusir dari Indonesia belasan tahun sebelumnya. Bukan hal baru seorang pengurus sepak bola pribumi kehilangan pekerjaan dengan penghasilan tinggi lantaran memimpin sebuah perkumpulan sepak bola pribumi. Ada seorang perwira KNIL lulusan Akademi Militer Breda di pecat lantaran menjadi bendahara perkumpulan sepak bola, padahal pemerintah kolonial menganggap sepak bola tidak ada kaitannya dengan politik. [20]
Suratin Sosrosugondo adalah putra seorang guru. Dia lahir pada 17 September 1898 di Yogyakarta. Pendidikan tinggi yang pernah diraihnya pada Sekolah Tinggi Tehnik di Heclenburg, dekat Hamburg, Jerman. Dari kampus itu, ditahun 1927, Soeratin memperoleh gelar Insinyurnya. Dalam kehidupan pribadinya dia menikah dengan Raden Ajeng Sri Wulan, adik kandung dr Soetomo. Setelah keluar dari Boukundige Bureau Sitsen En Lausade, Soeratin ketika menjadi ketua PSSI pernah mendirikan biro bangunannya walau tidak tidak sukses. Dia pernah bekerja dengan gaji f 100,- pada kesunanan Surakarta. Ketika Soeratin pindah ke Bandung, PSSI sudah berkantor di Solo. Setelah menjadi ketua kehormatan PSSI, ditahun 1941, Soeratin terpilih lagi menjadi sebagai ketua  PSSI.[21]
Kisah pemecatan Soeratin dari Boukundige Bureau Sitsen En Lausade, sebuah perusahaan swasta menunjukan bahwa sepak bola menjadi lahan politik baru bagi pemerintah kolonial pula. Kesibukan Soeratin sebagai ketua PSSI ternyata membuat pemerintah kolonial dalam bahaya hingga Soeratin diberi pilihan: PSSI atau pekerjaannya. [22] Hal ini pernah dialami Husni Thamrin ketika menjadi anggota dewan kota Batavia yang membela kepentingan kaum miskin kota Batavia.
PSSI adalah persepakbolaan nasional pertama, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Organisasi ini berdiri pada, lima belas tahun lebih tua dari pada Republik Indonesia. Dalam dunia pergerakan saja PSSI cukup mampu membuat kaum bumiputra bangga dengan kesuksesannya menahan tim Tiongkok dengan hasil seri. Kendati secara hukum kaum bumiputra berada dua tingkat dibawah orang Belanda, namun dilapangan sepak bola hanya ada kesetaraan.
Soeratin sudah menyatukan tekad orang-orang pergerakan untuk menggunakan sepak bola sebagai sarana perjuangan politik dalam pergerakan. Usaha Soeratin memang belum sepenuhnya tercapai, namun apa yang dicapai Soeratin patut dipandang bahwa usaha penyetaraan antara antara orang Belanda dengan bumiputra mulai menampakan hasil. Kesuksesan PSSI dimasa pergerakan adalah pencerahan bagi kaum pergerakan diatas rumput hijau. Sayang kesuksesan menahan imbang tim Tiongkok, yang telah mengalahkan tim Belanda, tidaklah diikuti dengan titik cerah kesuksesan kaum pergerakan dalam waktu yang cepat. Manifestasi sepak bola sebagai lapangan politik pergerakan setidaknya mampu memicu kepercayaan diri kaum pergerakan nasional.
[1] Srie Agustina Palupi, Politik dan Sepak Bola, Yogyakarta, Ombak, 2004. h. 22.
[2] Ibid., h. 22-23.
[3] Ibid., h. 23.
[4] Ibid., h. 24.
[5] HBS: Hogare Burgere School (Sekolah Menengah)
[6] Srie Agustina Palupi, h. 26.
[7] Ibid.
[8] Ibid.,h. 45.
[9] Ibid., h. 28.
[10] Ibid., h. 29.
[11] Ibid., h. 31.
[12] Ibid., h. 39.
[13] Ibid., h. 61.
[14] Ibid., h. 62-63.
[15] J.B. Kristanto, Seribu Tahun Nusantara, Jakarta, Kompas, 2000. h. 486-487.
[16] Ibid., h. 487.
[17] Ibid.
[18] Ibid., h. 487-488.
[19] Ibid., h. 488.
[20] Buku Kenang-kenangan Alumni KMA Breda, Jakarta, Yayasan Wirabakti, tanpa tahun. h. 83.
[21] J.B. Kristanto, h. 488.
[22] Srie Agustina Palupi, h. 83.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H