Hampir semua ruang resmi selalu ada lambang burung Garuda Pancasila. Selalu ada pertanyaan dalam pelajaran sejarah, "siapa yang menjahir "Sang Saka Merah Putih"? murid akan menjawab "Ibu Fatmawati". Tapi tentang burung Garuda yang sudah meng-Indonesia itu, rasanya belum pernah guru di kelas bertanya, "Siapa yang merancang lambang negara "Garuda Pancasila?". Murid juga belum tentu bisa menjawabnya, begitu juga guru sejarahnya. Ini bukan kesalahan guru sejarah. Kurikulum sejarah di negara ini yang harus dirubah. Nasionalisme telah melahirkan kebisuan, dan akan bermuara pada kebohongan lagi.
Mengapa perancang burung Garuda itu dilupakan. Sejarah, yang ditulis kaum nasionalis negeri ini, seperti membuang nama tokoh ini dalam keranjang sampah. Sebagai orang yang tidak sejalan dengan kemauan besar orang-orang Indonesia, Revolusi dengan produk sebuah negara kesatuan, bukan federalis--seperti impian perancang burung garuda tadi.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie, terlahir sebagai putra Sultan Pontianak--di Pontianak,Kalimantan Barat, 13 Juni 1913. Sebagai anak orang terpandang, Hamid bisa bersekolah di sekolah dasar untuk anak-anak Eropa, Europe Lager School. ELS Hamid dijalani dibeberapa kota seperti di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Tamat ELS, Hamid belajar di sekolah menengah untuk anak Eropa dari yang biasanya lulusan ELS, Hogare Burger School. Tamat HBS, Hamid meneruskan ke Technische Hoge School Bandung (ITB sekarang, namun tidak sampai tamat. Sebagai Pangeran, Hamid seolah terobsesi dengan 'junker' di Eropa. Dimana anak laki-laki keluarga bangsawan menjadi perwira militer. Hamid lalu masuk Koninklijk Miliaitre Academie (Akademi Militer Kerajaan Belanda) di Breda, Negeri Belanda. Tamat dari sana Hamid meraih pangkat letnan II pada kesatuan KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger: Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Sebelum PD II, hanya sekitar 20an pemuda pribumi saja yang menjadi kadet KMA.
Hamid berdinas di KNIL hingga mendaratnya Balatentara Jepang. Belanda dan sekutunya dan sekutunya kalah. Kala Jepang mendarat, Hamid menjadi Letnan I KNIL di Balikpapan. Pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan bebas ketika Jepang menyerah kepada Sekutu. Pendaratan Jepang adalah masa buruk baginya, sebagai perwira KNIL yang ditawan juga sebagai anak dari Sultan Pontianak yang dibunuh Jepang. Setelah comeback-nya Belanda, mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Hamid adalah orang pribumi (Indonesia) termasuk orang dengan pangkat tertinggi dalam KNIL, walau dia tidak lagi pegang komando dalam pasukan KNIL semasa revolusi Indonesia. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda.
Setelah ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Hamid menjadi orang penting dalam masa-masa itu. Sebagai ketua delegasi BFO di KMB. Inilah mengapa banyak orang menilainya sebagai seorang pengkhianat revolusi Indonesia.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, Hamid masih menjadi orang penting di Nusantara, dimana dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Selama jabatannya sebgai menteri negara itu dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Hamid seolah tidak puas dengan posisinya ini. Hamid menginginkan kursi Menteri Pertahanan yang dipegang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kawan ELS Hamid di Yogyakarta dulu.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia teknis untuk membuat lambang negara dengan nama 'Panitia Lencana Negara'. Dimana Hamid menjadi koordinator. Susunan panitia teknis ini terdiri dari Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Menurut Bung Hatta dalam “Bung Hatta Menjawab” ditulis, "untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang". Setelah rancangan dipilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu.
Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Tanggal 8 Februari 1950, rancangan akhir lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan akhir lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Hamid kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali - Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. A.G .Pringgodigdo dalam “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, "rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini". Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan lambang negara itu terus berjalan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini. (Wikipedia.com) Bagaimanapun ini juga karya Hamid, yang juga anak dari bangsa yang bernama Indonesia ini. Kendati Hamid punya sikap berbeda dengan bangsa ini.