Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Djohan Sjahroezah: Sosialis Bawah Tanah

3 September 2010   04:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:29 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona



Sosok Djohan dalam dunia pergerakan lebih banyak dikaitkan dengan kelompok Syahrir, yang banyak berisikan intelektual muda-termasuk Djohan Sjahroezah sendiri.

Djohan adalah salah satu pemuda dalam kelompok Sjahrir dimasa-masa pergerakan Nasional sedang menengalami tekanan dari pemerintah kolonial. Sebagai pemuda terpejar dan kader PNI Baru yabf dibetuk Hatta dan Sjahrir, Djohan memiliki sisi radikalnya sendiri. Diawal pergerakannya dia sudah berani menentang pemerintah lewat tulisannya.

Djohan adalah salah satu tokoh non koperasi yang bergerak dengan jalur yang berbeda, ketika bergerak secara-terangan sulit dilakukan karena tekanan pemerintah yang semakin keras kepada kaum non koperasi, Djohan lantas memilih jalur bawah tanah untuk menghindar dari pengawasan Polisi rahasia kolonial, PID. Cara yang cukup efektif untuk berhubungan dengan sisa-sisa kaum radikal kiri angkatan pertama di Indonesia, PKI, yang akhirnya disebut PKI ilegal dalam tulisan sejarah pergerakan nasional

Keponakan Sjahrir

Djohan terlahir ditahun 1912, di Muara Enim, Sumatra Selatan. Ibu Djohan, Radena adalah kakak tiri Syahrir dari lain ibu. Radena anak dari istri pertama sedang Sjahrir anak dari istri ketiga. Sjahrir adalah paman bagi Djohan Sjahroezah, kendati Sjahrir lahir tahun 1909. [i]

Djohan menamatkan Europe Lager School (SD untuk anak-anak Eropa dan petinggi Pribumi) di Medan. Sekolah menengah pertamanya-Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)-dilalui di Bandung, sebelum pindah ke Jakarta. Lulus MULO, Djohan belajar di Algemene Middelbare School (AMS) Batavia. Kondisi orangtuanya yang mapan, memungkinkan Djohan kuliah di Recht Hoge School (RHS) Batavia selulusnya dari AMS. [ii]

Djohan dan saudaranya didorong untuk menguasai bahasa Belanda dengan memaksa mereka berbahasa Belanda di rumah sejak dini oleh ayah mereka yang pegawai. Dimasa itu bisa berbahasa Belanda adalah sebuah kebanggaan. [iii]

Selama sekolah di Batavia, Djohan tinggal bersama ibunya dirumah yang biasa dikunjungi Sjahrir, sementara ayah Djohan bekerja sebagai pegawai perusahaan pertambangan di Sumatra Selatan. [iv] Semasa masih di Medan, Radena dan semua anaknya tinggal dirumah ayahnya Muhamad Rasad-ayah Sjahrir juga. [v]

Ayah Djohan yang pegawai di perusahaan minyak besar di Sumatra pernah dipecat karena depresi ekonomi dunia tahun 1931 sebelum akhirnya bekerja kembali di sebuah perusahaan minyak di Palembang, adalah seorang pengamat dunia pergerakan. Ayah Djohan seorang liberal yang nasionalis, sering mengikuti perkembangan politik Hindia dan dunia internasional. Sumbangan uang kecil-kecilan sering diberikannya kepada kaum pergerakan lokal tempat dia tinggal. Ironisnya pemenjaraan atas anaknya sulit diterima dan membuatnya merasa malu. Radena justru sedikit radikal mendengar berita penahanan itu. Umumnya, tidak terjadi konflik besar antara pelajar, mahasiswa atau pemuda pergerakan dengan orang tua mereka. [vi]

Sejak kecil, Djohan dan adiknya, Hazil Tanzil, mulai bersifat kritis dengan adat istiadat, karena mereka berdua memandangnya sebagai perintang kemajuan. Hal semacam itu, mereka ungkapkan pada ayah dan ibu mereka, kepada mereka ayah dan ibu mereka berharap mereka mau bersikap sopan. Orang-tua mereka berharap juga pada mereka untuk tidak menentang datuk, sang kepala klan. Saat datuk bertandang ke rumah mereka, dua bocah itu memang bersikap sopan, namun mereka tetap saja membuat datuk dan orang-tua mereka tersinggung lantaran mereka berargumen dan meragukan keshahihan adat.

Masuk Pergerakan

Keterlibatan Djohan dengan dunia pergerakan, tidak lepas dari pengaruh Sjahrir. Ketika Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) terbentuk di Bandung, AMS-nya hampir selesai. Djohan juga mengikuti kursus-kursus politik yang diadakan Golongan Merdeka-sebuah golongan yang sebenarnya pecahan dari PNI Soekarno yang tidak setuju dengan pendirian Partindo (Partai Indonesia)-nya Mr. Sartono yang juga pecahan PNI. Golongan Merdeka ini lalu menyebut diri sebagai PNI Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) pada september 1931. [vii]

Partindo hadir sebagai partai berbasis massa, seperti halnya PNI yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial. PNI baru hadir dengan konsep partai kadernya. Partindo lebih dahulu menjadi partai politik, PNI Baru berproses lebih belakangan. PNI Baru muncul setelah kedatangan Hatta dan Sjahrir dari Belanda, menjadi sebuah klub terlebih dahulu. PNI baru merasa, para kader partai berdisiplin tinggi walau kecil jumlahnya, akan sangat menguntungkan dalam pergerakan. [viii] Dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia, PNI Baru berharap dapat mencetak para kader pergerakan yang mengerti strategi pergerakan. Berbeda dengan massa dari partai massa yang hanya bisa dibakar untuk bergerak, lalu hilang tidak berdaya setelah partainya dihancurkan pemerintah kolonial. Dalam partai kader, para kader mendapat gemblengan dari para pemimpin partai untuk bergerak baik ketika partai dalam posisi aman bahkan ketika partai dibubarkan sekalipun.

Pada tanggal 20 September 1931 itu juga, PNI Baru menerbitkan edisi perdana media mereka, Daulat Ra'jat. Sebagai media propaganda PNI Baru, Daulat Ra'jat pada edisi pertamanya memuat azas kerja PNI Baru yang bersipat "Kebangsaan" dan "Kerakyatan"; mereka juga menyatakan bahwa bubarnya PKI, setelah pemebrontakannya ditahun 1926-1927, telah menurunkan semangat pergerakan dan persatuan nasional; ada harapan bahwa PNI Baru ini, nantinya menjadi partai baru dengan nama: Partai Daulat Ra'jat . [ix]

Hatta sejak berdirinya PNI Baru selalu berpikiran bahwa pentingnya bekerja dalam jalur-jalur pendidikan sosial. Kendati PNI Baru adalah partai kader, peranan rakyat masih menjadi elemen penting dalam pergerakan, bahkan lebih penting dari pada peranan pemimpin sendiri. Mengenai hal ini Hatta menulis:

"Dalam Perdjoeangan untuk Indonesia Merdeka hanja semangat ra'jat dan kemaoean ra'jat jang berarti. Kalau koeat semangat dan kemaoean itoe, maka ta'ada kekoeasaan jang sanggoep menjia-njiakannja. Djadinja pergerakan kemerdekaan haroes berarti, kalau ia tertahan. Dalam perdjoeangan mentjapai Indonesia Merdeka hanjalah ra'jat jang terhitoeng; ra'jat ioelah jantung bangsa. Pemimpin-pemimpin itoe hanja penoendjuk djalan. Dalam pergerakan kemerdekaan kewadjiban kaoem terpeladjar jang berdiri di kepala pergerakan ta' lain melainkan mengalir keloear perasaan jang tersimpan dalam hati ra'jat dan memberi roepa dan roman kepada tjita-tjiata jang hidoep dalam dada ra'jat." [x]

Banyak yang berpendapat, antara tokoh pergerakan Nasional sekelas Soekarno, Hatta dan Sjahrir terdapat perbedaan ciri dan pemikiran. Soekarno lebih cenderung bergerak dengan partai massa sejak awal perjuangannya. Hatta lebih memilih membentuk para kader perjuangan, begitu pula Sjahrir. Setelah pembebasannya dari penjara, Soekarno bergabung dengan partindo. Kharisma Soekarno masih besar dikalangan rakyat massa PNI-nya dulu, hal ini akan bagi bagi masa depan Partindo. Namun dimata kaum elit pergerakan wibawa Soekarno sudah hilang sejak Desember 1928, saat PNI di sapu oleh pemerintah kolonial. [xi]

Ketika pecahan PNI lama sedang sibuk berkosolodasi kembali dalam Partindo maupun dalam Golongan Merdeka, Djohan masih duduk di sekolah menengah dan berusia mendekati dua puluh tahun saat itu akhirnya juga mengikuti arus pergerakan nasional. Djohan yang sering berhubungan dengan Sjahrir, lalu menjadi salah satu pendiri PNI Baru cabang Batavia. Ditahun 1932, Djohan menjadi sekretaris pribadi Hatta dan Sjahrir, disamping menjadi sekretaris cabang dimana Sjahrir menjadi ketuanya. Saat itu pula, Djohan berencana menempuh studi hukum di RHS Batavia. Ditahun 1932, Djohan menjalani dua hal sekaligus, kuliah dan berpolitik. [xii]

Djohan sering menulis di Daulat Ra'jat serta pernah menyumbang artikel di Indonesia Raja milik Perhimpunan Pelajar-palajar Indonesia (PPPI), dimana Djohan juga salah satu anggotanya. Artikelnya di Indonesia Raja, mengecam keras kerjasama dengan pemerintah kolonial. Artikel itu mengundang reaksi dari pemerintah kolonial yang segera menangkapnya dengan tuduhan menghasut khalayak umum untuk berbuat kekecauan. Djohan diganjar hukuman 18 bulan penjara di Sukamiskin, Bandung. Kuliah hukumnya di RHS yang baru beberapa bulan itu harus ditinggalkanya dulu. Sebuah kebijakan agar Djohan bisa terus belajar dan ikut ujian akhir tahun-pun di atur kendati ini tidak disukai oleh komunitas Belanda. Sebebasnya dari Sukamiskin (1935), Djohan menolak menandatangani sebuah surat resmi (mungkin dari pemerintah kolonial) yang mengaharuskannya berjanji untuk tidak lagi melibatkan diri dalam dunia berpolitik-bersama kaum pergerakan-di masa datang. Akibatnya Djohan tidak diperkenankan meneruskan kuliah hukumnya di RHS. Masa depannya terancam suram tanpa gelar meester, bisa jadi orangtuanya akan sangat kecewa, harapan menyekolahkan Djohan ke RHS tidak terwujud, karena pergerakan. Hukuman penjara menjadi suatu berkah sebab dirinya tidak dikenai tindakan sebagai aktivis PNI Baru pada tahun 1933-1934, yang diantaranya ada yang dibuang ke Boven Digul-seperti Hatta dan pamannya, Sjahrir. Sisi buruknya, Djohan menjadi terpisah untuk beberapa saat dari dunia pergerakan bersama Sjahrir dan Hatta. [xiii]

Tertutupnya pintu RHS bagi dirinya, membuat Djohan terjun ke dunia jurnalistik, dunia yang pernah membuatnya mendekam di penjara Sukamiskin selama satu setengah tahun. Semula Djohan bekerja di Kantor Berita dan Biro Iklan Arta-milik Samuel de Heer, seorang Belanda-yang mempersiapkan artikel-artikel feature untuk dimuat koran-koran di Hindia Belanda. Setelah keluar dari Arta, di tahun 1937, bersama dengan Adam Malik, Pandu Kartawiguna dan lainnya mendirikan kantor berita Antara. Pengalaman kerja Djohan selama di Arta sangat berguna di tempat baru ini. Kantor berita Antara menjadi lembaga yang merasa dirinya mejadi pemberi jasa informasi yang relevan bagi rakyat terjajah bernama Indonesia. [xiv] Kantor berita tersebut sudah bertahan lama, sampai sekarang masih menggunakan nama sama seperti pada saat pendiriannya, Antara.

Pergerakan Bawah Tanah

Sebagai kader PNI Baru, Djohan Sjahroezah adalah anak didik yang berhasil. Kendati masuk penjara dan partainya dibubarkan, Djohan tidak patah semangat bergerak seperti pamannya, Sjahrir, tanpa PNI Baru sekalipun Djohan terus merangkak dengan caranya sendiri. Tanpa mengurangi keberaniannya menerima konsekuensi kaum pergerakan, masuk penjara, Djohan kali ini lebih berhati-hati. Sebagai intelektual muda, Djohan bisa belajar dari pengalaman dan selalu mencari cara dan jalur perjuangan baru.

Selepas dari penjara, Djohan tidak berhenti dari dunia pergerakan. Suatu kali dia pernah menghadiri sebuah rapat yang membahas menghidupkan kembali dunia pergerakan melalui pendidikan. Dalam rapat itu Djohan menggunakan nama samaran Mochtar. Sayangnya hal ini diketahui polisi Belanda sehingga nama Djohan muncul lagi dalam laporan kepolisian Belanda setelah kasus delik persnya. [xv]

Usaha jurnalistik Djohan Sjahroezah lebih bersifat semi politis dan jauh dari mapan secara ekonomis. Setelah menikah dengan Violet Salim-setelah menikah menjadi Violet Sjahroezah dengan Panggilan Jojet Sjahroezah-putri Haji Agus Salim, seorang Nasionalis Islam asal Minangkabau-menambah beban bagi Djohan. Dunia jurnalistik ditinggalkan untuk bekerja pada perusahaan minyak Shell Oil Company di Tarakan. Hal ini tidak lama, Djohan dipecat dari perusahaan minyak terbesar dunia itu lantaran mencoba mendirikan Serikat buruh bagi buruh-buruh disana. Djohan tinggal di Jakarta setelah pemecatan itu, dengan subsidi adiknya yang bekerja di Nieuw Guinea Petroleum Maatscappij, Djohan memulai eksperimen jurnalistiknya. [xvi]

Tindakan refresif pemerintah pada kaum pergerakan paska pemberontakan PKI yang gagal, menyebabkan banyak kaum pergerakan berganti strategi. Mereka belajar dari gaya intelejen PID (Politieke Intellingenen Dienst: polisi rahasia Belanda) yang selalu membayangi kaum pergerakan baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pemerintah dengan PID-nya berusaha menjadikan Hindia Belanda akuarium, seperti dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, agar dapat mengontrol apa yang terjadi di tanah kekuasaannya, Hindia. Kelompok non koperasi setelah Pemberontakan PKI yang gagal itu semakin dihabisi riwayatnya.

Djohan Sjahroezah mungkin meniru jejak Tan Malaka yang nyaris tidak tersentuh oleh aparat pemerintah kolonial, berbagai penyamaran membuat gaya baru dalam dunia pergerakan seperti novel Pacar Merah Indonesia karya Matumona. Djohan mungkin jarang melakukan penyamaran, namun dirinya lebih sering memakai identitas tetapnya. Djohan sering berhubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan yang disebut PKI ilegal , sekelompok kaum pergerakan yang tidak lagi bergerak secara terang-terangan lagi. [xvii]

Bergerak dibawah tanah sudah menjadi pilihan paling nyaman bagi PKI Ilegal terhadap pemerintah kolonial maupun bagi kelompok lain yang non koperasi terhadap pemerintah. Hanya dibawah tanah pula Djohan dapat bergerak, usahanya berjuang lewat serikat buruh di Tarakan terbukti gagal, bahkan dengan pahit dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja. Sebagai jurnalis yang pernah dihukum karena delik pers ketika awal-awal masuk pergerakan, bergerak terang-terangan sangatlah riskan bagi Djohan.

Bergerak dibawah tanah dilakukan Djohan sampai mendaratnya tentara Jepang di Indonesia. Djohan diawal pendudukan Jepang pernah berhubungan dengan Amir Sjarifudin yang kemudian ditangkap oleh Jepang. [xviii] Amir Sjarifudin juga mengaku bahwa dirinya pernah menjadi komunis bawah tanah. [xix] Di kehidupan sehari-harinya, Amir Sjarifudin adalah pegawai pemerintah kolonial dimasa-masa sebelum masuknya Jepang. [xx]

Keberadaan pergerakan bawah tanah di Hindia Belanda terbukti cukup berperan dalam pergerakan nasional khususnya pergerakan kaum non koperator. Ketika kaum pergerakan banyak yang dipenjara bahkan dibuang ke Buru, setiap gerakan yang ada selalu dibubarkan pemerintah kolonial dengan berbagai cara dibubarkan, gerakan bawah tanah telah membantu mempertahankan hidup pergerakan non koperasi di Hindia. Gerakan bawah tanah yang dilakukan djohan Sjahroezah seolah menjadi nafas bantuan bagi pergerakan non koperasi yang hampir kolep.

Sebagai orang pergerakan bawah tanah, Djohan Sjahroezah, tidak pernah sepopuler pemimpin pergerakan lainnya. Dia lebih sering melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pergerakan dengan tokoh-tokoh gerakan bawah tanah. Sebagai tokoh gerakan bawah tanah pula, menjadikan nama Djohan Sjahroezah tidak pernah ada diatas dalam daftar nama pahlawan nasional seperti pamannya, Sutan Sjahrir.

Jasa Djohan Sjahroezah dalam dunia jurnalistik Indonesia juga besar dalam pendirian kantor berita Antara. Dunia jurnalistik telah dijadikan Djohan sebagai sarana pergerakannya membuat perubahan atas tanah Hindia.

[i] John Legge, Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A study of the following recruited by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta, ab Vedi R. Hafidz & A. Setiawan Abadi, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan kelompok Sjahrir, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993. h. 107.

[ii] John Legge, h. 108.

[iii] John Legge, h. 131

[iv] Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politic and Exile in Indonesia, ab. Mochtar Pabotinggi, Sjahrir: Politik dan Pengasingan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996. h. 141.

[v] Rudolf Mrazek, h. 41.

[vi] John Legge, h. 147.

[vii] Parakirti Simbolon, Menjadi Indonesia, h. 348.

[viii] Wilson, Kaum Pergerakan di Hindia Belanda 1930an: reaksi terhadap Fasisme, Prisma edisi 10 Oktober 1994. h. 43.

[ix] Parakirti Simbolon,h. 348-349.

[x] John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, ab. Zamarkasyi Dofier, Jakarta, LP3ES, 1983. h. 171.

[xi] Ibid., h.192.

[xii] John Legge, h. 108.

[xiii] John Legge, h. 108

[xiv] John Legge, h. 109.

[xv] Rudolf Mrazek, h. 281.

[xvi] John Legge, h. 109.

[xvii] Ibid., h. 63-83.

[xviii] Ibid., h. 98.

[xix] Ibid., h. 229.

[xx] Bob Hering, M.H. Thamrin His Quest for Indonesian Nationhood (1917-1941) ab. Harsono Suetejo, M.H. Thamrin Membangun Nasionalisme Indonesia, Jakarta, Hasta Mitra, 2003. h. 383.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun