Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perwira Polisi Korup: Pemuja Rahasia van Rossen

27 Agustus 2010   08:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:40 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, saya dengar majalah Tempo diborong dalam jumlah besar. Entah oleh kelompok mana? Kemudian, saya baru tahu, jika cover majalah Tempo edisi 28 Juni –4 Juli 2010 itu bergambar polisi senior memegang kekang beberapa ekor celeng (babi) gemuk. Laporan utama edisi itu adalah Rekening Gendut Perwira Polisi. Aksi borong itu tentunya membuat publik berpikir bahwa polisi-lah yang memborong majalah-majalah itu hingga sulit dicari di pasaran.
Beberapa hari kemudian ada berita jika kantor Tempo dilempar bom Molotov. Lagi-lagi tidak tahu pasti siapa pelakunya. Judul artikel beserta covernya itu tentu bias bikin gerah petinggio Polisi, terutama yang merasa memegang rekening. Sebuah tanda bahaya.
Aksi borong dan pelembaran bom Molotov itu, membuat banyak orang berfikir jika polisi ada balik semua aksi tadi. Beberapa orang berpikir, polisi lakukan itu demi menjaga nama baik korps. Tapi kebenaran belum terkuak. Kita semua hanya bisa berspekulasi. Tanpa tahu siapa pelaku sebenarnya. Ini hanya permainan yang menguntungkan pihak tertentu.
Polisi korup bukan hal aneh. Film-film Mandarin, Hollywood, juga film-film Bollywood sudah sering mengangkat cerita tentang polisi-polisi korup. Terutama kelas perwiranya. Anak kecil juga tahu sepertinya.
Polisi bukan sosok yang menyenangkan bagi banyak orang Indonesia. Polisi bahkan bukan pengayom, seperti dalam jargon-jargon mereka. Rasa aman pada masyarakat pun gagal diberikan polisi. Polisi masih hanya sebagai alat politis semata. Polisi hanya dikenal sebagai tukang tilang di jalan raya.

Dulu Memang Ada Yang Begitu

Tidak ada yang kaget soal polisi sekarang korup. Sebelum orang Indonesia, pimpin kepolisian, zaman kolonial sudah ada polisi korup. Tanggal 24 Oktober 1923, suratkabar Oetoesan Melajoe-Perobahan, menulis Asisten Residen Meester Cornelis (Jatinegara), Jakarta, bernama Beck telah diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya. Pemecatan Beck itu terkait dengan penggelapan uang belasting (pajak perorangan). Rupanya, Beck bukanlah pelaku utama, masih terdapat nama komisaris polisi van Rossen dan bekas kepala Accountandiesnt, yang paling aktif berperan dalam penggelapan terkait dengan posisinya sebagai kepala akuntan. Beberapa pelaku penggelapan uang negara itu akhirnya akan dihadapkan ke Raad van Justitie di Betawi (Jakarta).
Kejadian itu bikin gempar pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia. Pada 2 November 1923 Di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jakarta telah diadakan konferensi. Konferensi dihadiri oleh sekretaris pemerintah kolonial, Welter--yang kemudian menjadi Menteri tanah Jajahan Belanda. Pembicaraan konferensi itu mnyengkut siapakah yang akan diajdikan Kepala Komisaris Polisi Betawi pasca terbongkarnya penggelapan yang dilakukan oleh van Rossen--Komisasris Polisi sebelumnya. Lowongan ajun komisaris Polisi Bogor juga dibicarakan. Kali ini pemerintah akan lebih berhati-hati dalam menunjuk seorang komisaris polisi yang membawahi dua daerah penting pusat kekuasaan kolonial Hindia Belanda itu.
Tanggal 6 November 1923 Tersiar kabar bahwa Seorang perwira militer dalam dinas militer Hindia Belanda akan diangkat menjadi Kepala Komisaris Polisi Betawi. Pengangkatan iini terkait dengan terjadinya kecurangan-kecurangan orang-orang dalam tubuh kepolisian Betawi. Tidak hanya perwira, personil lain kepolisian juga akan diambil dari orang-orang Militer, karena orang-orang sipil yang menjadi polisi itu tidak bisa bekerja dengan baik dan jujur.
Tanggal 15 November 1923 Oetoesan Melajoe Peroebahan kemudian juga memberitakan Politie Bond (Perkumpulan anggota Polisi) yang merasa tidak senang dengan rencana pengangkatan orang militer sebagai kepala Polisi di Betawi menyatakn keberatannya. Mereka akan mengajukan keberatan mereka pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta. Mereka tidak menginginkan adanya campur tangan militer dalam kepolisian dalam wujud pengangkatan seorang perwira militer sebagai kepala polisi yang membawahi wilayah sebesar Betawi. Penolakan ini bermula dari rencana pemerintah kolonial untuk mengangkat seorang perwira militer untuk menggantikan komisaris polisi van Rossen yang terlibat kasus pengelapan uang negara.

Van Rossen Belum Mati

Kasus van Rossen adalah kasus klasik yang kerap berulang. Orang-orang Indonesia tentu bisa, bahkan mudah membayangkan, jika perwira polisi ala van Rossen masih ada. Yang digelapkan tentu bukan lagi uang belasting, seperti zaman kolonial. Bisa uang tilang dari pelanggaran pengendara di jalan raya.
Kawan saya, Oryza Aditama, pernah membaca di sebuah Negara barat, uang tilang bisa membangun jalan layang. Betapa pelanggar hukum pun berkontribusi pada pembangunan. Disini, Indonesia katanya, tidak pernah jelas kemana uang tilang dipergunakan.
Polisi adalah orang bersenjata paling kaya. Seperti para mafia cosa nostra di pulau Sicilia, Itali sana. Bedanya hanya yang berseragam tentu lebih sok suci. Alias pakai bawa nama Tuhan, ketika disumpah sebelum menjadi dan menjabat. Kita tahu sekarang itu omong kosong.
Polisi Indonesia, terutama kalangan perwira tertentunya, seolah dirasuki jiwa-jiwa van Rossen. Bukan jiwa Pancasila—yang rajin diobral di khalayak. Van Rossen adalah contoh pejabat polisi korup yang tentunya tidak patut diitiru.
Meski tidak layak ditiru oleh polisi Indonesia, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka,polisi Indonesia adalah masih juga korup. Seperti para polisi yang menjajahnya. Saya yakin polisi Indonesia tidak pernah tahu siapa dan apa yang dilakukan van Rossen, tapi kelakuan van Rossen banyak ditiru sebagian perwira polisi.
Saya tidak tahu nasib van Rossen setelah korupsinya terbongkar. Van Rossen masih tetap ada dan tidak pernah mati, karena sebagian perwira polisi Indonesia adalah pemuja rahasia van Rossen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun