Balikpapan, Agustus 1941
Kapal kami merapat juga akhirnya. Dari tadi, aku hanya dibuat penasaran oleh kota dari kejauhan. Dari Teluk Balikpapan sudah cukup eksotis oleh barisan bukitnya yang hijau. Semakin mendekati dermaga, kilang-kilang besar menjadi jelas. Dimana minyak-minyak mengalir dari perut bumi Borneo yang kaya. Minyak itu lalu dijual dan mengisi kantong Gubernemen dan BPM. Itulah mengapa aku didamparkan di kota itu. Menjaga kilang. Mengamankan minyak. Melindungi milik Ratu kami yang bertahta dari Oranje.
Di dermaga, seorang Spandrig menungguku. Berkulit hitam legam. Mungkin orang Jawa atau Ambon. Begitu turun dari kapal lalu menginjak dermaga. Dia menghormat. Aku pun balas menghormat.
“Saya orang disuruh komandan jemput Kopral. Ini sore juga kita harus ke tangsi.” Kata Spandrig itu. Saya hanya diam tak bicara dan beri sedikit senyum saja pada Spandrig pribumi itu. Sambil menenteng ranselku lalu berjalan dibelakangnya. Lalu kami menuju sebuah truk milik BPM yang sudah menunggu. Kami pun naik di baknya.
“Jalan!” kata spandrig kepada sang sopir. Truk kami pun lalu berjalan pelan kea rah timur seolah ingin menikmati sore. Kami melintasi tepi pantai yang sepi. Indah.
“Sepasang merpati,” kata Spandrig dan aku hanya menatap sambil mendengarkan ceritanya. “Pertanda bagus bagi serdadu Ambon sejak dulu. Kata Lopulisa si Ambon itu, jika sebelum bertempur ada sepasang merpati melintas, maka petempuran bisa dimenangkan tanpa seorangpun dari pasukan jadi korban musuh,” katanya. Aku hanya menunduk.
Sebuah pulau kecil di pantai lalu terlihat. Belakangan aku baru tahu itu orang-orang menamainya Pulau Tukung. Lalu terlihat rumah besar. Dimana seorang ibu-ibu tua sedang memindahkan ikan yang dibelinya. Ikan-ikan itu sangat banyak.
“Siapa dia?”pertanyaan pertamaku pada Spandrig yang bersandar sisi kanan bak truk sambil berpegangan.
“Dia wanita Bugis terkaya disini. Tiap hari dia kasih jual ikan ke rumah-rumah BPM,” jawab Spandrig sambil tersenyum padaku. Dan aku hanya terpana. Seperti baru mengenal dunia. Sementara si Spandrig yang pangkatnya dibawahku adalah orang yang lebih dahulu kenal dunia. Rasa heran itu belum berhenti. Karena truk kami melintasi tanah lapang luas, rumah sakit milik BPM. Pemandangan selanjutnya adalah perkampungan padat dimana mereka berkulit kuning dan bermata sipit. Sudah pasti mereka adalah orang-orang Tionghoa.
Untuk kesekian kalinya aku melihat masjid besar. Aku membayangkan masjid ini penuh tiap Jum’at. Diseberang masjid hanya ada perkampungan kecil. Ditimur kampong itu terdapat pasar. “Ini Pasar Klandasan,” kata Spandrig.
Truk lalu menambah kecepatannya di jalan lebar disekitar perkampungan ramai itu. Dia seperti dikejar waktu. Tidak lama kemudian dia menurunkan kecepatannya. Lalu berhenti. Aku tahu aku sudah sampai. Setelah kami turun, tanpa pamit truk itu pun pergi. Aku dan Spandrig masuk ke tangsi KNIL. Petugas jaga lalu menghormat pada kami.
“Letnan sudah menunggu di ruangan itu Kopral,” kata Spandrig padaku sambil menunjuk sebuah ruangan untuk perwira. “Terimakasih Spandrig,” kataku. Lalu Spandrig itu menghilang.
Aku masuki ruangan itu. Dimana seorang berwajah Arab dengan rambut klimis menungguku. Akupun segera menghormat padanya karena dia adalah Letnan yang dimaksud Spandrig. Letnan itu pun berdiri dan membalas hormatku. Dia lalu menanyaiku sambil berdiri.
“Kopral Willem, saya sudah terima telegram kamu orang akan dating ini hari. Kapan sampai?” kata Letnan yang biasa dipanggil Max itu.
“Baru 40 menit yang lalu Letnan,” jawabku.
“Apa keahlianmu? Tanyanya.
“Penembak runduk Letnan,” jawabku.
“Hemm. Bagus,“ selamat datang Kopral. Lalu suara trompet berbunyi. Apel sore ditangsi dimulai. Apel sore pertamaku di kota inipun dimulai.
“Baiklah, sekarang pergi apel,” kata Letnan.
“Siap Letnan,” balasku. Kami lalu meninggalkan ruangan itu. Memenuhi panggilan terompet sore itu.
Sore baru saja hilang. Apel sudah bubar dari tadi. Aku berusaha kenali tangsi yang baru. Aku pun mulai tahu dimana barak serdadu, dapur, kamar mandi, tempat tidur dan juga dimana serdadu biasa bersenggama. Tidak jauh dari tangsi. Hanya berjarak seratus meter dari tangsi. Dari jauh tidak seramai Batalyon X di Senen, Batavia sana. Disini terlihat lebih kecil. Karena jumlah serdadunya tidak banyak. Paling tinggi perwira disini hanya Kapten, juga Letnan seperti Letnan Max. Nama Eropa tapi dia berwajah Arab campur Melayu. Dari surat resmi yang kubaca, nama sebenarnya adalah Syarif Hamid Algadrie. Dia anak dari Sultan Pontianak. Dia juga satu dari sedikit pribumi lulusan KMA Breda di Holland sana.
Hari ini hari kebesaran Sri Ratu. Garnisun KNIL Balikpapan upacara militer di lapangan besar yang kemarin kulewati. Upacara khidmat. Sebagian orang pribumi yang tidak masuk kerja menonton kami. Karena seragam kebesaran kami.
Pelan-pelan aku kenali kota kecil ini. Balikpapan yang jauh dari jangkauan divisi-divisi KNIL di Jawa. Tapi karena kota ini penting, tidak heran bila pemerintah kolonial menempatkan banyak pasukan KNIL beserta persenjataannya disini. Lebih banyak dibanding daerah lain di luar pulau Jawa.
Balikpapan dihuni juga oleh orang-orang Eropa juga memiliki tempat berkumpul orang-orang Eropa, societeit. Dimana orang-rang kulit putih bisa berdansa. Tidak ada orang-orang pribumi di dalamnya, kecuali sebagai pelayan. Banyak rumah-rumah bergaya indies dibangun, karena pengaruh Belanda di Balikpapan. Orang-orang Eropa di Hindia Belanda adalah orang-orang yang berusaha mempertahankan jatidiri ke-Eropa-an mereka.
Kerja kami, orang-orang tangsi, hanya patroli rutin disepanjang Sungai Wain atau menyusuri sepanjang Pantai sampai Loa Maru. Selebihnya plesir. Ke rumah pelacuran untuk sekedar minum-minum. Tapi bulan-bulan pertama aku lebih senang plesir ke perkampungan Bugis. Untuk menuju kampong itu, aku harus melewat kilang BPM yang besar lalu lewat Kebun Sayur.
Tidak jauh dari pasar, aku temukan sebuah toko Kelontong milik orang Jepang. Dia jual banyak barang. Ketika aku singgah sebenatar untuk istirahat. Tanpa angina tanpa hujan, orang Jepang itu beri aku bir gratis. Tentu saja aku senang. Kemudian aku pergi lagi sambil tersenyum untuk si Jepang itu. Atas keramahan dan bir dinginnya.
Balikpapan, Januari 1942
Desas-desus Jepang akan datang melanda kota. Banyak orang panic dan mengungsi keluar kota. Menuju Samarinda. Orang-orang tangsi jadi lebih sibuk dari biasa.
Komandan tangsi menuntut kami terus waspada. Suatu hari sumber kepanikan itu datang pada kami juga. Balatentara Jepang makin mendekat. Orang-orang tangsi pun dikerahkan. Akhirnya aku perang juga. Ini perang pertamaku. Diusiaku yang baru tujuhbelas sebenarnya. Aku curi umur. Teeken soldij di Batavia, lalu sekolah kader di Magelang dan jadi kopral karena aku ahli menembak dan menyergap selama pelatihan awal. Hal menyenangkan untuk orang berwajah nakal sepertiku. Waktu kecil dulu, aku suka pimpin anak-anak Indo curi mangga di Menteng. Dan segera lari kearah Kramat jika pemiliknya marah-marah dan mengejar kami.
Biasa aku habiskan peluru untuk latihan menembak saja. Kali ini aku harus habiskan peluru untuk menembak musuh sampai mati. Aku dengan karaben Mauser lama buatan Jerman.
Rombonganku diperintahkan bergerak menuju Pantai Manggar. Kami dipencar keberbagai titik. Dimana kami diperintahkan menunggu hingga Jepang datang lalu menembaknya sampai mati di pantai yang indah itu.
Sesuai perintah kami sembunyi dibalik semak-semak. Agar tidak terlihat musuh yang datang dari laut. Kami dilarang menembak sebelum musuh mendarat. Kami dipewrbolehkan lari jika keadaan tidak seimbang.
Aku bersama Lopulisa, Tumeang dan Jarwo. Lopulisa orang Ambon. Dia adalah keturunan serdadu sejak zaman VOC kuasai kepulauan ini. Tumiang dari Minahasa, juga turunan serdadu KNIL. Begitu pula si Jarwo asal Bagelen itu.
Hanya aku yang tidak pernah tahu jika aku turunan serdadu seradadu atau bukan. Aku hanya ingat aku dibesarkan di Panti Asuhan Van De Steur di dekat Mister Cornelis. Karena aku nakal aku dikeluarkan dari Ambachschool. Dan akhirnya aku tidak lagi menikmati pelajaran menggambar lagi sampai hari ini. Beruntung aku teekensoldij. Jadi serdadu, bisa makan, plesir dan melihat tempat yang baru. Dan aku terdampar di pantai tenang yang indah ini.
“Ada lihat sepasang merpati melintas hari ini? Waktu kita apel tadi pagi” tanya Lopulisa ketika kami sedang bersantai bersama buah kelapa milik orang Manggar yang sudah mengungsi. Kami semua mengangguk tidak tahu pada Lopulisa.
“Ehmm, pertanda kurang baik,” katanya.
Akupun teringat kata Spandrig, yang masih tak kuketahui namanya, ketika aku baru sampai lima bulan lalu. Dan kini aku tak pernah melihatnya lagi. Dia mungkin sudah dikirim ke pedalaman. Kuharap dia sedang damai sekarang.
Aku pun segera penasaran soal sepasang merpati itu.
“Lopulisa, apa maksudmu dengan sepasang merpati?” tanyaku.
“Begini, kata ayahku yang pernah lawan Pemberontak di Bima di Padang, juga kakekku yang pernah berperang di Aceh, Bali dan Tanah Batak. Kemenangan akan selalu menyertai kami jika ada sepasang merpati melintasi pasukan yang akan bertempur. Ini sering terjadi jauh sebelum kakekku jadi seradu Kopral,” jawab Lopulisa dan aku mengangguk puas untuk sementara. Dia bangga ketika menyebut ayah dan kakeknya. Dasar serdadu Ambon.
Sore pun semakin habis dan matahari tak muncul lagi. Kebun kelapa pun hening seperti kuburan. Hanya suara jangkrik. Tiap orang dari kami bergantian memantau pantai. Memastikan ada Jepang mendarat atau tidak.
Menjelang malam. Dari jauh terlihat banyak kapal pendarat. Aku lalu berteriak, “lari!” segera kami pun berlari ke arah barat. Menuju kota. Kami berlari tanpa meletuskan satu peluru. Kami segera cari kendaraan apasaja yang kami temui. Kami tidak peduli lagi dengan perintah perwira kami. Kami hanya ingin lari hindari kapal-kapal pendarat. Jika terus bertahan dan menunggu kami pasti akan mati. Walau kami bisa membunuh beberapa serdadu Jepang.
Kami sampai tangsi yang hanya dijaga sedikit orang. Kepada perwira kami melapor. Selanjutnya perwira yang kami lapori beri perintah untuk bertahan di tangsi saja. Karena hanya ada sedikit orang.
Kami pun menunggui tangsi. Karena tidak sedang tugas jaga. Aku melihat kearah pantai, diseberang tangsi. Aku merasa kesal karena belum menembakan satu pelurupun. aku tidak bisa salurkan kenakalanku. Aku pun bersumpah untuk mencari satu sasaran. Lalu menembaknya. Dalam kepalaku lalu aku bersumpah untuk menembaki Jepang itu sekali saja. Lalu aku tidak peduli lagi. Lari sebagai pengecut atau ganti menjadi sasaran tembak Jepang aku tidak peduli. Kini itu menjelang pagi. Fajar hampir menyingsing. Lalu aku berjalan kearah timur melintasi jalan besar. Mencari Jepang.
Aku lalu menyebrang jalan besar dan melihat dari kejauhan. Aku segera tengkurap dan membidikan senapanku. Setelah yakin dengan sasaranku aku menembakan peluruku. Dan di kejauhan seorang serdadu terjatuh. Aku pun segera lari dan yakin, tembakanku kena. Aku berlari kencang kearah Erakan Straat menuju belakang tangsi. Aku sedikit bahagia dan tidak lagi peduli apa yang akan menimpaku. Jadi pecundang atau mati. Yang penting aku sudah tembakan peluruku dan satu serdadu jepang terjatuh. Selebihnya peduli setan.
Sampai tangsi kami menunggu sampai akhirnya serdadu-serdadu Jepang telah mengepung tangsi. Akhirnya perwira kami yang tidak bisa apa-apa lagi menyerah. Dan kami pun jadi tawanan perang.
Pagi itu banyak barisan menuju Lapangan tempat kami upacara Agustus lalu. Aku ada di salah satu barisan tawanan. Disebelahku Lopulisa. Dia berbisik padaku.
“Sepasang merpati tak muncul, makanya kita jadi tawanan. Sebentar lagi kita akan jadi santapan nikmat serdadu kate itu,” kata Lopulisa. Dan lagi-lagi aku Cuma diam. Jumlah serdadu KNIL yang jadi tawanan makin banyak. Tapi sepertinya banyak juga yang lari. Mereka mungkin sedang berjalan kaki kearah Samarinda atau ke Pedalaman.
Menjelang siang, sebagian dari kami, para barisan serdadu KNIL, dibawa ke pantai. Tepat ditepi Melawai. Banyak orang pribumi berkumpul. Para tawanan dipisah dalam berbagai kelompok. Kami yang ditangkap ditangsi adalah kelompok tersendiri. Mereka yang ditangkap di Somber sebagai kelompok tersendiri. Para perwira pun dalam barisan tersendiri.
Barisan kami tetap tinggal sisi timur lapangan, tepat sebelah rumah sakit BPM. Tentara Jepang yang menjaga kami berdiri di Sportweg dan Schoolweg. Dua jalan yang mengapit lapangan timur itu. Semua hening.
Para serdadu yang ditangkap di Somber dibariskan. Mereka lalu disuruh berjalan kearah laut hingga posisi air setinggi dada dan serdadu Jepang menembaki mereka dengan senapan mesin Tentu saja aksi Jepang ini dijadikan tontonan, dimana banyak orang-orang pribumi yang melihat.
Ketika hari menjelang sore, pembantaian berhenti. Kami yang tersisa dibariskan dan dijaga ketat serdadu Jepang—yang terkenal kejam itu. Disebelahku masih ada Lopulisa. Kami masih tetap di tanah lapang hingga malam yang kemudian berganti pagi. Begitu suram malam itu.
Pagi nampak cerah hari itu. Kami semakin gelisah akan nasib kami. Tentara Jepang agak baik hati pagi itu. Mereka biarkan kami mengobrol dengan sesame tanpa boleh keluar dari lapangan sedikitpun.
Ketika itu Lopulisa bercerita padaku. Soal sepasang merpati yang dia tunggu namun tak pernah datang itu. Kata dia, leluhurnya selalu menangi pertempuran setelah sepasang merpati melintasi pasukan. Hal yang tidak terjadi kemarin ketika kami bertempur.
Sepasang merpati itu adalah dewa bagi Lopulisa dan leluhurnya. Dan mulai jadi dewa untukku si serdadu Indo.Benar kata Lopulisa,sepasang merpati yang tak datang itu mewarnai kekalahan kami. Sepasang merpati itu adalah dewa perang Kumpeni atau KNIL. Tidak kalah hebat dibanding Ares--Dewa Perang dari Yunani itu. Dan aku makin penasaran dengan Dewa Perang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H