Tersebutlah seorang bocah pribumi bernama Oeroeg disebuah dusun miskin. Tidak jauh dari situ tinggal seorang bocah Belanda bernama Johan van Berghe. Karena ini suasana kolonial, pastinya Johan anak ondernemer (pengusaha perkebunan) Belanda itu tampil sebagai the have, Oeroeg sebagai the have not-nya. Itulah nusantara dekade 1930an. Begitulah film kerjasama Indonesia Belanda, yang diangkat dari novel karya Hella Hess ini bertutur.
Oeroeg tergolong anak cerdas di dusunnya. Satu sebab dia akhirnya bisa kuliah kedokteran, disamping simpati dari orang Belanda disekitar Johan pada Oeroeg.
Plot campuran dalam film ini, bukan untuk memperumit cerita. Plot yang tidak kronologis mungkin akan membuat film ini agak sulit dinikmati penonton umum. Plot film yang campuran dan acak itu seperti memberi bayangan pada kita tentang perubahan nusantara yang nyaris sulit ditebak. .Bagaimanapun film dari adaptasi roman yang juga bewrjudul Oeroeg karya Hella Haase, lalu diteruskan menjadi film dibawah besutan sutradara Hans Hylkema, berusaha menyajikan suasana Indis yang terkubur oleh revolusi kemerdekaan negara baru bernama Indonesia di tanah nusantara ini. Durasi 114 menit itu dimanfaatkan dengan tepat bagaimana membangun suasana perubahan dari kolonial menuju revolusi yang tidak jarang diliputi kekacauan. Film rilisan 1993 memberikan gambaran cukup realis dengan suasana masa transisi dalam sejarah Indonesia sekitar 1945Hal menarik dari cerita ini adalah bagaimana rasa persaudaraan lahir tidak dalam aliran darah yang sama. Persaudaraan hanya timbul dengan bagaimana kita berbagi pada orang lain. Seperti dalam alam pikir Johan kecil. Politik boleh saja mengatasnamakan kebaikan. Seperti politik kolonial yang berusaha perhatikan kebaikan masyarakat kulit putih. Politik kolonial sifat rasis bukan bagian dari diri Johan. Hingga dewasa, Johan bukan orang yang peduli pada masalah politik. Alasan dia kembali ke Kedungjati—tempat dia habiskan masa kecilnya tidak lain—hanya mencari misteri tentang saudara sedarahnya Oeroeg.
Pusaran politik besar dunia, Perang Dunia II, begitu jauh memisahkan persahabatan unik itu. Johan tertahan di Negeri Belanda, sementara ayahnya tertahan di Jawa. Oeroeg, sebagai bagian dari intelektual bumiputra yang sadar akan pembebasan, akhirnya menjadi bagian dari kelompok pendukung Republik. Johan, secara politis ada diseberang Oeroeg, menjadi bagian dalam pemuda Belanda yang ”dipaksa berperang” melawan orang Republik yang sebenarnya tidak mereka musuhi. Mereka terjun karena politik ’paksa” pemerintah bernama Wajib Militer untuk bergabung dalam Koninklijk Leger (KL). Johan adalah Letnan dengan kemampuan Zeni Bangunan yang memperbaiki jembatan. Diseberang sana ada Oeroeg yang menjadi orang penting dalam sebuah milisi Republik.
Sebagai perwira KL, Johan tergolong desertif dan kerap bermasalah dengan perwira perwira atasannya—yang dapat informasi dari NEFIS (intelejen Belanda di Indoensia) tentan kegiatan pribadi Johan yang menyimpang dari kebiasaan tentara umumnya. Dia bisa menghilang kemana saja menuruti intuisinya untuk mencari ”saudara sedarahnya” dan memecahkan sebuah misteri yang meliputi dirinya, Oeroeg, ayah Johan dan ayah Oeroeg yang menjadi ’jongos’ dirumah Johan dan tewas ketika mengambil arloji ayah Johan yang jatuh ke dalam danau. Insiden kematian ayah Oeroeg itu menjadi bagian misteri dari Johan hingga dewasa. Ada cacat orang Belanda dalam superioritas mereka sebagai penguasa nusantara kala itu.
Tidak mudah mencari Oeroeg. Johan harus lalui banyak hal hingga tertangkap milisi Republik dan ditawan. Johan juga harus melihat ayahnya tewas dimakan revolusi kemerdekaan Indonesia yang kacau di Kedungjati, dimana pikiran Johan setelah ayahnya tewas semakin tertuju pada Oeroeg. Johan akhirnya tahu bahwa Oeroeg telah ditawan Tentara Belanda selama enam bulan. Tiba waktu pertukaran tahanan antara milisi Republik dengan tentara Belanda, Johan yang seorang diri ditukar dengan sebelas orang Belanda. Mereka dilepas bersamaan. Johan maju seorang diri sambil memperhatikan tawanan Indonesia yang berjalan berhadapan dengannya di sebuah jembatan. Joham memperhatikan satu persatu, dilihat tawanan terakhir dibelakang, seorang yang nampak terpelajar. ”Saudara Sedarah” Johan itu muncul. Johan menawarkan persahabatan lama itu, sementara Oeroeg yang hanya bilang ”Asalkan sebelas orang Indonesia tidak ditukar dengan seorang Belanda”. Oeroeg nampak dibakar revolusi kemerdekaan. Oeroeg menjaga persahabatan itu begitu dalam dan dia hanya tampakan darah revolusinya. Pertemuan di jembatan itu adalah satu-satunya pertemuan antara dua ”saudara sedarah”. Setelah itu, mereka kembali pada kehidupan mereka ketika Tentara Belandaangkat kaki dari Indonesia. Bagaimanapun sahabat tetap sahabat. Perang dan revolusi hanya permainan dunia yang harus dilalui tanpa harus membunuh ”saudara sedarah” di dalam hati manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H