Rencana pemerintah untuk membangun perumahan bersubsidi di pedesaan dengan anggaran sebesar Rp16-18 triliun menuai berbagai kritik. Program  ini  saya nilai kurang kajian yang matang,  karakteristik dan kebutuhan spesifik masyarakat pedesaan,  potensi risiko kredit, dampak negatif terhadap ekologi/ lingkungan, infrastruktur pedesaan yang belum siap bisa menjadi sumber masalah baru.
Mengapa Harus Membangun Rumah di Pedesaan?
Betul masyarakat butuh rumah, tapi apakah masyarakat sudah mendesak butuh rumah tipe 45? Â Masyarakat pedesaan memiliki akses terhadap lahan yang lebih luas dibandingkan masyarakat perkotaan. Hal ini memungkinkan mereka untuk membangun rumah sesuai kebutuhan tanpa ketergantungan pada proyek perumahan bersubsidi. Selain itu, budaya di pedesaan sering kali menekankan pada pembangunan rumah secara bertahap dan sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka. Oleh karena itu, konsep perumahan subsidi dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sebesar Rp600 ribu per bulan selama 25 tahun belum tentu sesuai dengan preferensi dan kemampuan masyarakat desa. Lalu siapa yang mau membeli? Apakah orang kota? Apakah ini dapat menyelesaikan permasalah akan rumah orang desa?
Risiko Terhadap Ekologi dan Lingkungan
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya pernah menyatakan pentingnya melindungi lahan persawahan dari alih fungsi untuk perumahan. Namun, ironisnya  proyek ini berpotensi merusak ekologi dan lingkungan pedesaan.  Ini terlihat jelas tidak konsistensi Presiden Prabowo.  Pembangunan rumah dalam skala besar dan masif didesa dapat mengancam kelestarian alam, termasuk mengurangi lahan produktif untuk pertanian, mengganggu keseimbangan ekosistem lokal, dan meningkatkan risiko bencana seperti banjir.
Beban Finansial bagi Petani dan Masyarakat Desa
Skema KPR dalam proyek ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kelayakan masyarakat desa untuk memenuhi persyaratan kredit perbankan. Banyak petani dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di desa tidak memiliki pendapatan yang stabil atau dokumen keuangan yang tidak memadai untuk mengakses KPR. Hal ini justru dapat menjebak orang desa ke dalam "rentenir modern," yaitu ketergantungan pada utang perbankan tanpa jaminan kemampuan, orang desakan sangat rentan dengan penghasilannya. Jika terjadi gagal bayar, siapa yang akan menanggung beban finansial tersebut? Apakah pemerintah sudah memikirkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan masyarakat desa? Tidak tanggung-tanggung jangka waktunya 25 tahun.
Infrastruktur Penunjang yang Kurang Dipikirkan
Membangun perumahan bukan hanya soal mendirikan rumah, tetapi juga memerlukan infrastruktur penunjang seperti jalan akses, listrik, dan air bersih. Pedesaan umumnya memiliki keterbatasan dalam hal ini. Apakah pemerintah sudah memperhitungkan anggaran tambahan untuk membangun infrastruktur pendukung tersebut? Tanpa infrastruktur yang memadai, perumahan ini bisa menjadi proyek yang tidak layak huni dan tidak diminati.
Potensi Konflik Kepentingan