Mohon tunggu...
Nurum Mukharum M
Nurum Mukharum M Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pencari Ilmu - Pengejar Uang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemungkinan Mega Tunjuk Jokowi Jadi Capres Cuma Satu Persen

31 Agustus 2013   12:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:34 2038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_262598" align="aligncenter" width="640" caption="Mega Jokowi"][/caption]

Hanya keputusan dua orang ini yang bisa menempatkan Sang Gubernur DKI menjadi kandidat Presiden Indonesia: Megawati dan Jokowi sendiri. Namun bobotnyatidaklah 50:50 melainkan 40 Megawati dan 60 Jokowi. Jadi misalnya Mega bilang: 'Jok, ayo maju!' Maka Jokowi bisa bilang: 'sebentar Bu, mari kita kalkulasi seluruh probabilitas politiknya.'

Namun untuk sampai pada keputusan Mega menunjuk Jokowi sebagai capres menurut saya sangat kecil kemungkinannya. Saya cuma berani mematok 1%, alias nyaris nol, bila melihat strategi politik Mega selama ini. Apa alasannya? Setidaknya ada lima hal:

Pertama, Mega tidak ingin Jokowi lebih besar daripada PDIP. Atau lebih tepatnya, PDIP tidak boleh menggantungkan nasibnya pada popularitas dan elektabilitas seorang kader. Pilgub Jawa Tengah adalah contoh gamblang. Bisa dibilang, bila wagub Rustriningsih dicalonkan menantang Bibit, maka ia akan menang dengan mudah dan meraih persentase besar. Rustri kenal betul Jawa Tengah dan sudah membentuk jaringan untuk mendukungnya. Boleh dikata PDIP tidak perlu bersusah payah kalo hanya untuk mengamankan Jateng 1. Tetapi bila itu terjadi, publik tidak bisa menilai atau minimal akan terjadi bias, bahwa apakah kemenangan Rustri karena ketokohannya atau karena mesin politik PDIP? Maka diajukanlah Ganjar, yang bahkan tidak punya hak pilih, untuk membuktikan bahwa mesin politik PDIP lebih menentukan daripada tokoh. Dan hasilnya sudah kita saksikan: gabungan antara jaringan partai, ketokohan plus sentimen negatif Bibit dan dukungan total Jokowi mengantarkan Ganjar menduduki Jateng 1.

Popularitas Jokowi bak buah simalakama bagi PDIP. Kalau salah menanganinya ketenaran Jokowi bisa menenggelamkan PDIP, tetapi kalau strategi pemanfaatannya tepat maka partai bisa menangguk laba. Itulah sebabnya Jokowi termasuk juru kampanye yang laris manis di pilkada seluruh Indonesia. Semua calon terdongkrak popularitasnya, dilihat dari perhitungan item pemberitaan media online, media massa cetak-elektronik, dan pembicaraan di media sosial. Hasilnya sudah kita ketahui bersama: juara di Jateng, runner up di Jabar, Sumut, Bali; serta gagal total di Jawa Timur. Kesimpulannya: Jokowi tidak lebih besar daripada PDIP dan kader daerahnya, tetapi cukup meningkatkan popularitas calon dan partai.

Kedua, Mega tidak ingin lembaga survei mendiktekan keputusan PDIP. Saya percaya Mega masih mempertimbangkan hasil lembaga survei yang kredibel dan independen. Toh bila pun ia tidak percaya ia bisa membuat lembaga survei internal. Selama ini hasilnya jelas: Jokowi jawara survei capres dengan perolehan suara sekitar 20-40%. Di bawahnya menguntit Prabowo, Mega, ARB, dll.

Namun apakah Mega akan manut kepada mereka? Tidak! Berbagai pilkada sudah membuktikan bahwa popularitas dan elektabilitas bisa digenjot dalam waktu cepat dengan strategi yang tepat. Jokowi dan Ganjar bukti otentiknya, mereka tidak diunggulkan dalam berbagai survei bahkan tujuh hari menjelang pencoblosan, tetapi akhirnya mereka menang.

Pun ini bisa terjadi sebaliknya, bahwa kalau banyak orang bilang bila hari ini pilpres dan Jokowi ikut maka ia akan menang mudah, hal tersebut bukan jaminan bahwa itulah yang terjadi saat pemilu nanti. Bila Jokowi mampu mempecundangi hampir semua lembaga survei dalam Pilkada DKI, maka ia berpeluang mengalahkan mereka lagi dalam Pilpres dengan kondisi yang sebaliknya! Hohoho...jelas itu lebih menantang.

Kalau sampai Mega tersandera oleh lembaga survei, maka ia tidak akan mengajukan kadernya untuk menantang petahana hampir di seluruh pilgub di provinsi yang besar lumbung suaranya alias lebih memilih main aman. Tetapi fakta membuktikan Mega punya visi yang melampaui hiruk pikuk sekian belas lembaga survei. Tentu saja, kadang bahkan sering jagonya kalah. Itu membuktikan nyali petarung Mega tidak terdikte oleh lembaga survei.

Ketiga, Mega tidak ingin hidden agenda media massa dan media sosial lebih menentukan daripada PDIP. Media massa cetak konvensional, media online,media elektronik hari ini tak terbantahkan sedang demam Jokowi. Kompas punya liputan khusus DKI, Tempo, Detik punya berita Jokowi dari hari pertama sampai hari ke tiga ratus sekian, Jawa Pos Grup, First Media Group, RCTI, SCTV, TVOne, MetroTV, juga twitter, facebook, youtube, kompasiana, wordpress, blogspot, dll semua sedang dilanda demam Jokowi.

Apakah Jokowi membayar mereka? Ataukah seperti kata TM2000 para penjahat BLBI yang menggelontorkan jutaan dolar untuk memborong space berita di sekitar 80% media massa nasional? Saya lebih percaya bahwa karena media massa adalah dunia industri, maka mereka tidak akan memberitakan yang tidak diminati para pembacanya. Bila judul ‘Jokowi Naik Kuda’ tidak diminati maka Detik tidak akan memuatnya. Tetapi ternyata dimuat dan dibaca dan dikomentari ratusan komen! Atau jangan2 view dan komennya juga dibayar? Bisa saja sih, kalau satu dua berita, lha kalau tiap hari ada belasan berita dan selama setahun lebih, jelas tidak! Kalau cari jalan tengahnya, mungkin di awal ya tetapi kalau sudah jalan ya tidak.

Pertanyaannya, apakah media massa punya maksud tersembunyi dengan mempopulerkan Jokowi? Sulit untuk mempercayai ini, karena sekali lagi mereka adalah pelaku usaha yang berorientasi laba, dan mereka bukan pelaku tunggal melainkan dimiliki oleh banyak individu atau kelompok. Pun, dalam soal capres mereka terbelah. Bahkan ada calon yang punya saluran berita sendiri, sehingga wajar bila seharusnya lebih mengangkat calonnya daripada calon kompetitornya.

Satu lagi fakta bahwa tidak semua berita tentang Jokowi bernilai positif. Banyak yang negatif, misalnya serangan para pesaing terhadap Jokowi, suara-suara masyarakat yang tidak puas terhadap kebijakan dan kinerja mereka. Di blog dan media sosial juga banyak nada sumbang. Artinya, mereka masih dalam on the right track sebagai suara asli masyarakat Indonesia.

Tetapi kalaupun media massa punya hidden agenda, Mega tidak ingin keputusannya diintervensi. Ia bisa mengkick balik mereka. ‘Terima kasih sudah mempopulerkan kader kami, kalian boleh punya agenda, tetapi maaf saya punya agenda juga’. Sejauh ini, sebagai tokoh yang termasuk irit bicara, Mega bisa menyampaikan maksud dan agendanya lewat kader-kader mudanya melalui media massa.

Keempat, Mega tidak ingin para pendukung asli dan penumpang gelap menyetir keputusan DPP. Siapa para pendukung asli? Mereka orang luar Solo-Jakarta dan luar PDIP, yang ingin Jokowi menjadi presiden, sehingga rela menulis di kompasiana atau blog lainnya, menonton channel video pemprovdki, melike status di FB dan twitter, ikut gerakan dukung mendukung, dan lain sebagainya.

Siapakah para penumpang gelapnya? Kita pake saja analisa TM2000, yaitu para konglomerat China yang membobol BLBI ratusan triliun yang sedang berusaha mengendalikan Indonesia dengan menjadikan Jokowi sebagai presiden boneka.

Di antara pendukung asli dan penumpang gelap ada relawan yang seolah-olah menyediakan panggung buat Jokowi tetapi sebenarnya panggung bagi dirinya sendiri. Yaitu yang mengumpulkan KTP, jutaan targetnya, demi pemenangan sang Calon. Pengumpulan KTP itu rawan penyelewengan, pertama karena calon independen tidak memungkinkan, kedua data mereka rawan disalahgunakan.

Yang murni nir kepentingan hanyalah pendukung asli, individu yang tidak terorganisir, bergerak sendiri-sendiri tanpa komando, operasi senyap baik di sosmed, obrolan di warung kopi atau komen lebay di media online.

Punya kepentingan atau tidak, Mega tentu berterima kasih karena ada kadernya yang didukung sedemikian rupa, hingga mengeluarkan dana miliran rupiah. Tetapi PDIP lebih tunduk pada mereka? Oh, nanti dulu. Tidak! PDIP sudah berpengalaman menghadapi trik semacam ini, di tingkat pilkada. Untuk tingkat nasional memang belum, tetapi itu hanya skalanya yang berbeda.

Kelima, Mega tidak takut melawan adagium, pernyataan dan dukungan yang berkembang entah darimana. Adagium tersebut bernada menyanjung Jokowi, tetapi sebenarnya menjerumuskan. Contoh: Indonesia lebih membutuhkan Jokowi daripada Jakarta; hanya Jokowi yang mampu memperbaiki Indonesia; Jokowi ikut capres yang lain mundur saja; Jokowi sudah pasti menang mudah bila jadi capres; PDIP bodoh blunder tidak peka bila tidak mencalonkan Jokowi.

Berbagai pernyataan tersebut sebenarnya menguatkan poin pertama tadi, yaitu Jokowi lebih besar daripada PDIP. Tetapi karena Mega tidak ingin membenturkan keduanya, maka pernyataan sebaliknya harus lebih santun.

Misalnya: Jokowi sedang konsentrasi mengurus Jakarta; PDIP masih punya banyak stok calon pemimpin bangsa; Jangan paksa PDIP mencalonkan Jokowi; Jokowi maju bukan berarti menang mudah, dll.

Di sisi lain, bila mencalonkan Jokowi dan gagal, maka bisa dibilang RI1 lenyap DKI1 pun hilang, dan karier politik Jokowi akan tamat dengan memalukan. Kerugian bagi Jokowi dan PDIP sendiri. Seperti karier Bambang DH di Jatim, Jatim1 lepas Surabaya 2 pun musnah. Tetapi karena Bambang sudah dua kali jadi walikota dan setengah periode wakil walikota, tentu kejatuhannya tidak terlalu sakit.

[caption id="attachment_262604" align="aligncenter" width="450" caption="Jokowi Lebih Tertantang Jadi Gubernur DKI"]

1377927524140703953
1377927524140703953
[/caption]

Itulah lima ‘musuh’ yang menjadi pertimbangan Mega jika mencalonkan Jokowi. Baginya, PDIP harus lebih besar daripada kadernya, PDIP harus bisa menentukan jalan dan strategi politiknya tanpa dipengaruhi hiruk pikuk lembaga survei, penggiringan opini media massa, agenda tersembunyi para penumpang gelap, dan pernyataan pujian bak pedang bermata dua.

Pemikiran tersebut klop bagi Jokowi sendiri. Secara singkat ia adalah kader yang siap diperintah, jadi gubernur hayu ga jadi juga tetap jadi walikota. Tetapi ia juga punya prinsip dalam hal ini. Dulu ada isu ia hanya akan dicalonkan sebagai wakil gubernur dan jawabnya ‘saya lebih baik jadi walikota saja daripada jadi wakil gubernur’. Begitu juga dengan saat ini, bila ia ditanya Mega siap ga jadi calon presiden, saya yakin ia tetap memilih menjadi gubernur DKI. Oke, saya yakin 65% saja, hehehe... Sebagai politisi ia tetap punya ambisi.

Tetapi bagi Jokowi sendiri, jauh lebih suka membenahi Jakarta daripada membenahi Indonesia. Jakarta itu lebih kaya daripada Indonesia! Benar APBD Jakarta sekitar 50 triliun per tahun dan Indonesia ribuan triliun, tetapi berapa utang Jakarta berapa utang Indonesia? Jokowi lebih leluasa menata birokrasi DKI dibandingkan harus berkompromi dengan partai pendukung di kabinet nanti. Ia bisa menghasilkan karya yang lebih mengesankan di Jakarta bila dibandingkan bila menjadi presiden RI. Pun, ia berhutang politik sedikit di Jakarta dibandingkan bila ia menjadi Presiden 250 juta rakyat Indonesia. Hutang yang membuatnya tidak leluasa mengambil keputusan.

Jokowi juga tahu betul bagaimana ‘mengalahkan’ media massa, sosial media, para penumpang gelap, cukong-cukong, dan lembaga survei. Mereka boleh mengelu-elukan dirinya tetapi kalau didikte, oh nanti dulu.

Di sisi lain Jokowi juga punya kepentingan keluarga. Mereka jelas lebih menyarankan Jokowi untuk bertahan saja di DKI1. Lha wong jadi Solo 1 saja mereka banyak gak mendukung, awalnya sih. Contoh kecil saja: Gibran anak pertama Jokowi jadi pengusaha catering dan ia dilarang menerima orderan dari pemkot Solo selama pemerintahan ayahnya. Setelah sang ayah jadi gubernur DKI barulah ia boleh menerima order dari Pemkot. Bayangkan kalo Jokowi jadi presiden, mungkin sekali Gibran harus mengalihkan usahanya ke Singapura karena ia tidak boleh menerima order dari seluruh Indonesia!

Bila ada yang bilang 2014 adalah momentum Jokowi dan belum tentu akan terulang pada 2019, maka itu pendapat yang mengecilkan Jokowi, Mega, PDIP dan seluruh politisi sekaligus! Bila Jokowi dianggap berhasil memimpin Jakarta hingga 2019, atau bahkan andaikata ia gagal, momentum bisa dibangun untuk meraih RI1. Kalau tidak mampu memanfaatkan setiap kelemahan menjadi kekuatan dan kekuatan menjadi momentum, maka lebih baik pensiun saja menjadi politisi.

Juga pernyataan seperti ‘Indonesia membutuhkan Jokowi daripada Jakarta’ atau ‘Indonesia akan lebih terpuruk jika bukan Jokowi presidennya’ bukan pujian baginya, melainkan tikaman yang terang benderang. Itu pernyataan orang-orang yang pertama kali akan menagih budi dan paling terakhir membela. Itu bukan rayuan tetapi beban! Jokowi akan terpacu adrenalinnya bila ada yang bilang ‘elu ga akan sanggup membenahi ibukota’. Dan justru akan waspada bila dibilang ‘anda satu-satunya mesias Indonesia’.

Itulah lima alasan mengapa Mega nyaris tidak mungkin mencalonkan Jokowi. Maka jauh lebih penting bagi PDIP untuk fokus ke pemilihan legeslatif, dengan tujuan jelas: menjadi juara dengan raihan suara 20% lebih.

Dilemanya adalah: bila tujuannya tercapai dan PDIP nekat tidak mencapreskan Jokowi, lalu siapa? Mega punya empat pilihan:

Pertama, hanya mengajukan tokoh mudanya sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo yang diatas kertas akan memenangkan kursi presiden.

Kedua, mengajukan calon presiden dari partai sendiri dan wakil dari partai lain (koalisi).

Ketiga, mengajukan pasangan calon dari partai sendiri. Bisa kombinasi tokoh muda dan tua, muda-muda atau tua-tua.

Keempat, mengajukan capres dari partai sendiri dan wakil dari non partai.

Pilihan pertama paling aman bila PDIP hanya mengejar kekuasaan, sebab koalisi Gerindra-PDIP akan sulit dibendung. Tetapi itu menghancurkan citra PDIP sebagai partai pemenang pemilu. Pilihan kedua paling realistis, disusul ketiga dan keempat.

Bagaimana memenangkan kursi presiden bila bukan Jokowi calonnya? Itulah tantangan PDIP yang sesungguhnya. Ups, jangan buru-buru bilang pasti akan kalah. Mereka sudah melakukan pemanasan di berbagai pilkada seIndonesia. Dan ketika Mega sudah memutuskan, PDIP sebagai partai dan mesin politik siap ‘bertempur’ untuk mencapai tujuannya. Kalau menang Mega akan terbukti sebagai real king maker, kalau kalah PDIP akan kalah terhormat. Tetapi saat mereka kalah, PDIP sudah banyak mengorbitkan kadernya menjadi kepala daerah setingkat gubernur, bupati dan walikota. PDIP sudah dan tetap bersama rakyat meski tidak berkuasa di istana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun