Mohon tunggu...
Nurum Mukharum M
Nurum Mukharum M Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pencari Ilmu - Pengejar Uang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya Dukung Roy Suryo

29 Agustus 2013   08:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:40 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya tahu ada yang namanya Roy Suryo sejak ia menjadi host eLifeStyle MetroTV, bertahun-tahun yang lalu. Dan karena saya awam masalah teknologi, kehadirannya bersama nara sumber yang kredibel selalu saya tunggu. Sebagai host, Roy cukup kritis melontarkan pertanyaan dan menggali informasi dari narsum. Saya tak tahu disiplin ilmunya, konon bukan telematika, tetapi kalaupun ia kemudian terkenal sebagai pakar telematika itu bukan sesuatu yang harus dicibir. Banyak pakar – entah siapa yang memberi label itu – yang tidak berkaitan dengan disiplin ilmu yang ia tekuni semasa kuliah dulu.

Bertahun-tahun kemudian RS sering dimintai pendapat ketika ada foto artis yang panas, pesawat yang jatuh, dan isu-isu panas lainnya yang berkaitan dengan teknologi. Bahkan seringkali pendapatnya lebih terkenal daripada pakar yang sesungguhnya, misalnya para doktor dari ITB semacam Onno W Purbo. Apakah karena keluasan pengetahuannya tentang hal itu ataukah bahasa awam yang ia gunakan lebih mudah diterima masyarakat, saya tidak tahu.

Tetapi di media sosial, forum, kolom komentar, banyak nada sinis menanggapi pendapat RS. Mereka dari kalangan kaum muda, dan melek teknologi. Saya tidak tahu mengapa. Apakah karena murni pendapat RS yang ‘asbun’ versi mereka, atau karena perilaku RS yang arogan?

Yang jelas, akhirnya sang KRMT alias Kanjeng Mas Raden Tumenggung akhirnya melenggang ke kursi Dewan dari Partai Demokrat. Bahkan ketika Andi Mallarangeng mundur karena tersangkut kasus hukum sang Presiden memilihnya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga.

Banyak yang menganggap SBY melakukan blunder politik. Tetapi RS tidak peduli, ia terus melaju, tidak terlalu menanggapi sinisme masyarakat. Ia sudah kebal. Dan sekian waktu berlalu, meski minim pengalaman di bidang keolahragaan, kinerja RS tidak terlalu buruk. Tentu saja, bila dibandingkan dengan kinerja menteri KIB II dan menteri olahraga sebelumnya. Dan yang lebih penting, ia tidak atau belum terendus melakukan korupsi.

Akhirnya, tiba juga masa masyarakat menemukan titik tembak. Kemarin, di Yogyakarta, saat pertandingan sepak bola paling spektakuler di Indonesia yang mempertemukan dua klub paling potensial memulai kerusuhan, Persib vs Persija, Roy berbuat salah. Baru belasan menit bola bergulir, penonton mulai menampakkan tanda-tanda rusuh. Pertandingan dihentikan. RS berinisiatif mendinginkan suasana. Ia memimpin massa penonton menyanyikan lagu Indonesia Raya. Banyak yang mengikuti. Tetapi di tengah-tengah lagu ia lupa syair!

Di youtube, kolom komentar berita media online, twitter, facebook, dll, masyarakat meluangkan waktu sejenak untuk menulis hujatan, menertawakan, mempertanyakan, mengolok-olok dan mungkin menghina Roy Suryo. Seorang menteri yang lupa syair lagu kebangsaan adalah hal yang memalukan!

Tetapi saya satu dari sedikit orang yang memaafkan sang Menteri. Mengapa?

Satu, lupa adalah hal manusiawi. Apalagi dalam situasi genting di hadapan ribuan massa yang sudah tertanam sikap tidak saling menghormati dan terentang sejarah panjang konflik di antara mereka. Bahkan Fatin pun lupa syair! Padahal ia sudah berlatih sekian lama dan tahu akan manggung! Kalau kita memaafkan Fatin, mengapa tidak memaafkan Roy Suryo?

Dua, RS berhasil mengalihkan isu, blessing in disguise, dari kemungkinan bentrok antar suporter menjadi isu menteri lupa syair lagu kebangsaan. Ia masih akan dihujat, beberapa hari ke depan, tetapi ia sudah kenyang hal itu. Ga masalah, hehehe...

Tiga, hal itu membuktikan RS sudah setahap lebih menguasai komunikasi massa. Tidak banyak pejabat negara yang berani tampil di hadapan ribuan orang, memasang badan untuk mendinginkan suasana. Yang banyak adalah pejabat yang berani tampil di hadapan ribuan massanya sendiri. Alias kampanye. Ini yang harus dicontoh para pejabat sekarang. Cobalah sekali-kali mereka memegang megapon di hadapan rakyat yang memprotes keputusannya. Alangkah indahnya bila koran dipenuhi oleh berita misalnya: ARB menghadang ribuan warga Porong dengan megapon, Marzuki Ali menemui ribuan demonstran seorang diri, dll. Di saat itulah, sekat antara penguasa dan rakyat akan sedikit mencair.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun