Pembatasan sosial adalah belenggu. Semua serba terbatas. Ekonomi dibatasi, kegiatan  pendidikan, sosial, wisata, kebudayaan, kesenian, peribadatan, bahkan kegiatan pribadi, semua dibatasi. Demi agar tak ada lagi orang terjangkit.
Tapi buktinya PSBB tak mampu menampakkan taji. Bahkan tak membuat orang ciut nyali hanya karena sanksi.
Masih ada saja orang melakukan pelanggaran dengan  sembunyi-sembunyi. Mencari kelengahan petugas dan melenggang santai sampai lokasi tujuan.
Meskipun yang sudah terlanjur mudik,akan sulit ke kembali Ke Jakarta bila tak membawa Surat Ijin Keluar Masuk.
Kondisi perekonomian rakyat juga terimbas. ketatnya aturan tidak minginkan orang-orang makan di tempat. Bahkan di beberapa daerah, Satpol PP merampas kursi rumah makan untuk mencegah orang-orang berkerumun karena makan di tempat.
Tahun ajaran baru sebenarnya sudah mulai, dengan pendaftaran para siswa baru, tapi karena belum ada instruksi, mereka terpaksa terkatung-katung dan musti tinggal di rumah lebih lama lagi.
Pasar, mal, tempat wisata, sudah banyak yang tutup. Sementara orang-orang yang bekerja di dalamnya harus segera bekerja demi kepulan asap dapur mereka .
Transportasi publik yang sekian lama terhambat, harus segera dipulihkan. Agar mesin-mesin bus, pesawat terbang, kereta api, kapal, tidak karatan. Semua harus digerakkan dalam sebuah mobilisasi pemulihan ekonomi.
Pembatasan kegiatan masyarakat membuat semua kegiatan terhambat, dan beban pembiayaan pemerintah makin berat.
Jadi tak ada pilihan lain kecuali membuka kembali akses kehidupan agar berjalan normal. Tidak dengan PSBB, tidak dengan PKM, tapi dengan aturan yang mengikat untum menjaga satu sama lain agar tidak saling menulari.
Gerakan memakai masker, cuci tangan menggunakan sabun, phisical distancing, bila memang efektif mencegah penularan, harus terus disosialisasikan tanpa henti.