Kaos katun milik ayah Zul yang sudah koyak, meskipun sebenarmya masih dipakai, disobek senagian, lalu dibuat sumbu.
Basah minyak pada sumbu sudah membuat Zul sangat riang. Ia membayangkan malam ini ia akan bersama kawan-kawan lain memegang obor, mengitari jalan kampung sambil mengumandangkan takbir dengan penuh keceriaan.
Malam mulai beranjak, matahari sudah terbenam sejak beberapa jam yang lalu. Dan setrkah berbuka Zul sudah siap memegangi obor, menunggu kawan sepermainannya lewat dan mengajaknya bergabung.
Waktu terus berjalan, gema takbir berkumandang dari masjid dan  musholla, terdengar membelah langit malam
Tapi sampai batas waktu isya, tak ada seorang kawan pun yang datang. Padahal ia sudah siap dengan baju koko dan kopiah kebanggaan.
Berkali-kali ia keluar masuk rumah dan terus memandangi obor yang ia sandarkan di kursi teras. Ia tegakkan, agar minyak tak tumpah.
Ibunya diam-diam memperhatikan dan merasa msygul. Melihat anak semata wayangnya yang hidup kurang beruntung.
Malam semakin larut, Zul kecil tak memahami mengapa malam ini tak ada pawai obor.
Ia juga tak paham mengapa masjid dan mushola di kampungnya tak menggelar sholat tarawih berjamaah.
Ia makin merasa pilu, dan mengabaikan sang waktu yang terus berjalan meratapi malam.
Bersama sang obor yang mematung di bawah kursi, diam, tak bergerak sampai seekor kucing menyamparnya.
Obor jatuh terguling, minyak tumpah merembes ke tanah, bersama Zul yang kecewa karena malam berlalu dan obornya tak pernah dinyalakan.