Bagi saya pribadi, momen lebaran itu sangat berarti dalam hidup. Bahkan laksana alat penakar keberhasilan dalam menjalaninya.
Bukan keberhasilan materi, tapi semata keberhasilan membina rumah tangga yang terpenting.
Mudik lebaran juga rasanya tak pas bila sendirian. Sehingga saat pulang kampung kami selalu sepakat, semua harus berangkat bareng, meskipun setelah di kampung halaman waktunya menyesuaikan. Anak-anak yang harus segera kembali bekerja akan segera kembali, sementara saya, istri dan si bungsu akan kembali belakangan.
Saat mudik, kami juga hanya menggunakan sepeda motor, mengingat kami punya keperluan yang berbeda. Sehingga kalau menggunakan mobil, kondisinya agak menyulitkan karena tak bisa terus bersama.
Hal yang terpenting saat shilaturahmi dengan keluarga di kampung, adalah seperti laporan tahunan. Kami biasanya bercerita tentang anak-anak yang tiap tahun terus berkembang. Tahun lalu mungkin sekolah SD, tapi saat datang di lebaran tahun berikutnya sudah sekolah SMP, dan sebagainya.
Lebaran di kampung seperti menembus masa silam, dan mengulangi kembali dalam situasi yang berbeda. Teman-teman sebaya yang sudah terlihat menua, saudara-saudara tua yang satu demi satu telah meninggal dunia, dan perkembangan ekonomi masing-masing keluarga menjadi cerita yang tak pernah habis untuk dikupas.
Di kampung kami di Magelang, penduduk desa biasa mandi di sungai Progo. Aliran sungai yang mengular menuju Yogyakarta dan bermuara di pantai selatan ini seakan menjadi magnet bagi kami untuk selalu pulang kampung. Apalagi di aliran sungai di pinggir kampung ini dilalui oleh wisata rafting yang seru dan menjadi pemandangan yang menarik bagi kami.
Selain itu saat di Magelang, kami juga menyempatkan menikmati kuliner Ikan Beyong yang maknyus dari pasar tradisional Brangkal. Sepertinya tak ada masakan lain yang lebih istimewa dari tempat ini, dan kami hanya bisa menikmatinya setahun sekali, setiap lebaran.
Setiap lebaran, momen khusus yang lain adalah bertemu dengan saudara-saudara yang lebih tua. Kami di Magelang juga masih punya keluarga yang sudah sangat sepuh. Bahkan usianya sudah di atas 100 tahun.
Tapi mereka masih gagah, masih melakukan aktifitas sebagai petani, meskipun hanya melalukan pekerjaan yang terbatas tanpa angkat-angkat yang berat.
Dan kebahagiaan ini semakin membuncah manakala kami bisa memberikan sedikit uang jajan bagi mereka yang sudah berusia lanjut.
Dulu waktu anak-anak kami masih kecil, kami yang paling banyak mendapat uang saku kalau pulang kampung. Sehingga saat kembali anak-anak akan menghitung penghasilan, dan biasanya yang paling kecil mendapatkan uang saku paling banyak.
Saat anak-anak sudah mulai masuk sekolah SMP, biasanya uang saku pemberian saudara-saudara akan berkurang. Sebab tak swmuanya memberikan uang saku.
Bahkan sebaliknya, sekarang giliran kami yang harus menyediakan uang saku bagi saudara-saudara di kampung.