Orang jawa memandang bahwa hal-hal tabu untuk dilakukan atau diucapkan menggunakan kata saru sebagai ungkapan yang ringkas tapi menunjukkan makna yang luas. Akronim dari kata kesasar dan keliru.
Misalnya, anak perempuan yang duduk mekangkang di depan umum itu saru. Lelaki yang suka memegang-megang alat kelaminya sendiri di muka umum itu saru
Hal  yang  paling umum sebagai sesuatu yang  saru,  dan tidak pantas adalah menyebut alat kelamin. Meskipun semua orang menyadari bahwa dalam jenis kelamin adalah pertanda khusus yang  menunjukkan seseorang dikatakan sebagai laki-laki atau perempuan.
Sejak jaman dahulu orang jawa memanggil anaknya dengan kata yang berkoniotasi pada alat kelamin.Â
Ada dua kata yang dipakai, Thole untuk anak laki-laki dan denok untuk anak perempuan.
Baca juga: Mengapa Dulu Nama Jawa Suka Pakai "SU"?
"Thole" panggilan untuk anak laki-laki
Oleh emak, Â saya memang dipanggil dengan sebutan le atau thole. Konon thole diadopsi dari kata "konthol" (penis) Â dan le yang berarti laki-laki yang punya penis, untuk menggambarkan bahwa saya memang anak laki-lakinya. Â Terkadang emak juga memanggil saya dengan sebutan "nang', yang diadopsi dari kata lanang yang berarti laki-laki.
Karakter pendidikan sex jawa menggunakan banyak simbol bahasa sebagai ungkapan untuk menghaluskan penyebutan, yang  dalam ilmu linguistik disebut sebagai kramanisasi seksual.
Sangat menarik apa yang disampaikan oleh Prof. DR.  Damardjati  Soepadjar,  seorang Guru Besar Filsafat Universitas Gajah Mada bahwa pusat peradaban dunia itu  ada pada alat kelamin  sehingga saat sebuah ide berputar-putar, maka akan kembali lagi ke porosnya sebagaimana perputaran planet-planet yang bertebaran di angkasa.
Beliau mencontohkan suatu kali dalam sebuah kuliah umum mengenai filsafat, seorang bocah kecil berusia 2 tahun yang  belum bisa memahami makna penis bagi dirinya akan tertawa terbahak saat kemaluannya disentuh oleh  orang lain.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!