Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ilmu Titen Orang Jawa dalam Pengasuhan Bayi

13 April 2020   22:23 Diperbarui: 13 April 2020   22:20 3618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang tua yang memiliki bayi pasti pernah mengalami anaknya tiba-tiba rewel tanpa sebab,  sehingga bikin gempar seisi rumah.

Ada kepercayaan orang jawa bahwa  anak-anak bisa merasakan tapi terhalang  untuk menyampaikan karena belum bisa berbicara.  

Konon seorang  bayi bisa rewel karena diganggu makhluk  halus yang  dilihatnya. Ia bisa merasakan gangguan tapi  tak kuasa untuk menyampaikan dan hanya bisa menangis.

Orang tua jaman dahulu menggunakan ilmu titen untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Ilmu titen adalah cara menandai sebuah peristiwa dengan melihat secara keseluruhan mulai ujung sampai pangkal masalah . Lalu dicari sumber masalahnya  penyebabnya,   dan cara menanggulanginya.

Ilmu titen ini merasuk ke dalam kebiasaan generasi berikutnya, dan menjadi sebuah tradisi Yang berurat akar dalam masyarakat.

Dari masalah kesehatan,  sosial,  ekonomi,  pertanian,  perdagangan,  perjodohan dan sebagainya.

Kembali kepada masalah bayi rewel karena melihat makhluk halus.  Percaya atau tidak,    sedulur papat,  lima pancer yang  keluar bersama seorang bayi,  konon menjelma menjadi makhluk lain yang  tak kasat mata.

Ia akan menjaga si bayi dengan segenap kemampuan sampai bayi benar-benar mampu menyelesaian masalahnya di tahap awal. Kata orang tua sebelum anak berusia 4 tahun akan mengalami pasang  surut kesehatan.

Saat anak-anak mulai memiliki tambahan kemampuan maka secara motorik anggota tubuhnya akan bereaksi mengikuti perkembangan pisiknya.  Sehingga tak heran kalau seorang bayi sudah di tahapan ini orang tuanya sering mengeluhkan sakit.  

Mau bisa tengkurap,  mau tumbuh gigi,  mau bisa berjalan,  selalu diawali dengan meriang. Sehingga seringkali membuat orang tua kebingungan.  Padahal itu hanya bagian dari proses kemandirian seorang bayi.

Maka jaman dulu orang tua yang mampu sering  mengadakan selamatan berupa sega gudangan  yang  dimakan oleh anak-anak kecil di lingkungan. Sebagai upaya meminta kepada Yang Maha Kuasa melalui panuwunan berupa nasi bancakan. Konon keceriaan anak-anak saat menikmati sega gudangan diyakini menjadi doa keselamatan bagi si bayi. Tak jarang di bawah daun pisang sebagai alas sega gudangan ditaruh uang recehan yang  diperebutkan oleh anak-anak.

Unsur alam berupa tanah air dan udara menyatu dan melindungi si bayi dari mara bahaya dengan selamatan sega gudangan yang  diadakan setiap hari pasaran.

Selain itu pada jaman dahulu,  anak bayi diberi gelang atau kalung dari dingo bengle,  semacam rempah yang berbau harum.  Konon kalung dan gelang ini memiliki aroma magis yang  bisa menolak balak segala gangguan yang tak terlihat.  Sebab kalung dan gelang dingo bengle ini menjadi semacam penanda bahwa si jabang bayi benar-benar berada dalam pengasuhan orang tua yang  bertanggung jawab, sehingga tidak perlu diganggu.

Orang jaman dulu sangat berhati-hati saat mereka memiliki bayi.

Orang tua si bocah  harus berani prihatin tidak memakan makanan yang  amis-amis agar luka saat melahirkan cepat pulih. Serta memberi makanan tambahan berupa sayur berwarna hijau tua seperti bayam,  mbayung atau daun kathu. Serta memberikan banyak camilan berupa kacang-kacangan agar ASI nya lancar.

Orang  tua dari ibu bayi memberinya lauk tempe bakar dalam beberapa hari,  menorehkan pilis di jidat ibu  bayi,  dan menjaga agar bayi tetap dalam keadaan hangat. Sebab seorang bayi lebih kuat menahan hawa panas daripada hawa dingin.

Selain itu,  saat menengok bayi para tamu juga duanjurkan untuk  membasuh tangan dan kaki,  dan isyarat menendang ke dapur sebagai upaya menyingkirkan rereget yang ikut.

Pada jaman dulu,  bayi belum boleh dibawq keluar rumah kalau umurnya belum genap selapan (35 hari)  sebagai upaya melindungi bayi yang  masih rentan untuk tidak terkontaminasi dengan dunia luar.

Dan saat keluar rumah harus tetap menjaga kehangatan si bayi.  Menggunakan jarik yang  bisa melindungi dengan sempurna,  memakaikan baju hangat, topi bayi,  dan kaus kaki.

Konon seorang bayi yang  diperlakukan standar dengan kebiasaan ilmu titen  orang jawa,  akan tumbuh menjadi anak yang sehat dan tidak mudah sakit.

Saat ini kebiasaan orang tua jaman dulu sudah banyak ditinggalkan.  Orang mengasuh bayi seperti mengasuh anak yang sudah besar.  Memberinya segala jenis makanan yang  diinginkan,  bahkan membawa anak-anak bayi mereka ke pekuburan,  pesta perkawinan,  bahkan jalan-jalan ke tempat terbuka tanpa perlindungan maksimal.

Saya masih ingat dengan mertua yang sering marah-marah karena kami saat itu membawa bayi dengan cara disawung (digendong tidak menggunakan selendang).

Bayi yang dibawa dengan disawung rentan terkilir,  karena terkadang tangan yang menggendong terasa pegal karena harus bergerak ke sana kemari.  Berbeda kalau menggunakan selendang,  bayi akan nyaman di  gendongan.

Ilmu titen orang tua jaman dulu kalau dinalar sebenarnya berupa sebuah cara untuk menanggulangi berbagai masalah yang  muncul saat ini.  Kehati-hatian dalam melakukan berbagai hal dengan melihat kebiasaan yang ada,  lalu mengambil pelajaran di setiap point  masalah.

Anda punya pengalaman dengan ilmu titen?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun