Menep, Â dalam bahasa Jawa artinya mengendap. Â Ibarat air yang diaduk harus ditunggu agar air bening terpisah dari kekeruhan, Â endapan tenggelam di dasar, dan air bening bisa diambil dan dimanfaatkan.
Menep, dilakoni sebagai upaya hati untuk mengendalikan nafsu dan emosi. Â Seperti sebuah kegelapan sesaat yang harus dilalui dalam kontemplasi sehingga tercipta pencerahan diri .
Bhuta-Kala dan Dewa-dewa diciptakan bersamaan oleh Hyang Widhi.
Ada kalanya Bhuta-Kala itu lewat 'nyelang margi' (pinjam jalan), Â maka kita yang mengalah, menepi, Â dan mabrata mengurung diri. Artinya, kita diminta melakukan brata (menarik diri dari keramaian, puasa, dan mawas diri).
Kalau sudah selesai 'pamargin bhuta-kala' (jalan sang kala), kita bisa keluar sebagai mana mestinya.
Di Bali, Â dari berabad-abad ketika Gunung Agung meletus disebut begini "Ida makarya tur mamargi" (beliau bekerja dan berjalan).
Kalau kekuatan alam sedang bergerak, Â kita yang nalar dan eling harus minggir dan menepi. Ini soal penggunaan nalar, Â yang dalam Hindu disebut sebagai 'wiweka' (kemampuan menimbang dengan dasar logika dan hati secara jernih).
Pada musim ombak besar, nelayan harus  menepi.
Ini bukan soal berani atau takut, Â bukan soal kutukan Bhatara Baruna penguasa laut, Â bukan karena beliau benci nelayan, Â tapi karena beliau kasih pada nelayan agar istirahat sejenak, di rumah bersama keluarga, menepi menimbang hidup secara mendalam.
Ketika ombak telah berhenti mengamuk, musim ombak telah reda, kembalilah bekerja sekuat tenaga.