Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bercerai adalah Jalan Terbaik bila Mediasi Menemui Jalan Buntu

29 Februari 2020   12:50 Diperbarui: 29 Februari 2020   12:51 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang menginginkan hubungan perkawinan bisa berterus,  langgeng,  dan sampai "kaken-kaken ninen-ninen".  

Tapi seringkali aral melintang menghalangi proses proses perjalanan dan membuat pasangan terpaksa memilih jalan kehidupan sendiri-sendiri.

Kita tak bisa menyalahkan perceraian,  karena itu sebuah pilihan untuk menentukan masa depan.  Meskipun  anak-anak jadi korban karena salah asuhan.

Anak tiri diperkosa ayah,  anak-anak hidup di jalanan,  atau anak terbentuk dengan karakter kekerasan adalah sebagian dari efek korban perceraian.

Saat tejadi perceraian ada yang siap dan ada yang tidak. Laki-laki bisa jadi duda berangasan atau perempuan ada yang jadi wanita jalang.  Sebagai akibat depresi yang berkelanjutan dan mencoba mencari pengalihan  perasaan.

Tapi ada juga  yang  langsung bangkit dari keterpurukan, mendapatkan jalan nyaman tanpa pasangan.

Jangankan orang biasa,  sekaliber kiai  kondang dan politikus besar pun juga tak bisa melepaskan diri dari jerat perceraian.

Meskipun orang-orang  paham bahwa perkara halal yang paling  dibenci Allah adalah perceraian.

Perceraian adalah sebuah fenomena hubungan antar manusia yang berlainan jenis kelamin.  Yang pada awalnya  disatukan  dengan ikatan perkawinan.  Dalam undang-undang Siskah ( sistem pernikahan)  diatur dalam NTCR (Nikah Talak Rujuk Cerai)  yang proses pengesahan dokumennya melalui pengadilan agama atau catatan sipil.

Perceraian dilakukan sebagai sebuah solusi atas hubungan yang  sudah tidak serasi lagi dan menemui jalan buntu saat  dilakukan mediasi. Jadi buat apa dipersatukan kalau saling menyakiti dan mengakibatkan hal yang  bikin rugi.

Banyak hal yang  mendorong terjadinya perceraian. Konflik  rumah tangga yang  tak berkesudahan dan faktor ekonomi dituding  sebagai pemicu perceraian.

Gugatan perceraian akan datang bila salah satu pihak merasa tersakiti atau terzalimi,  sehingga menimbulkan aksi. Meskipun  sebenarnya rasa tersakiti  ini masih bisa ditolelir oleh orang lain,  tapi bagi yang mengalami sudah tak bisa dimaafkan lagi.

Masalah ekonomi terkadang juga menjadi penghalang kelanggengan berumah tangga.
Kekurangan kebutuhan secara terus menerus mengakibatkan kegoncangan kehidupan. Sehingga tak terbendung dan membuat seseorang mengambil jalan perceraian.

Kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga juga sering menjadi pemicu perceraian.  Kehadiran sosok kekasih di masa lampau juga terkadang menjadi bumerang retaknya sebuah keluarga.

Perceraian hari-hari terus terjadi.  Tak hanya mereka yang  yang  usia pernikahannya masih muda. Bahkan orang yang  sudah berpuluh tahun membina rumah tangga bisa bercerai begitu saja.

Egois,  merasa benar,  tak mau memaafkan,  trauma,  dan segudang perasaan yang  menjadi akumulasi pengalaman menjadi patokan setiap orang yang  melakukan perceraian.  

Bahkan mereka tak peduli kalau anak-anak kebingungan dan harus menentukan pilihan ke mana harus ikut saat orang tuanya bercerai,  meskipun terputusnya hubungan orang tua tak memutus hubungan anak.  

Tapi secara umum,  anak-anak yang  orang tuanya bercerai tercipta menjadi pribadi yang mudah membenci,  tergantung ia dalan asuhan siapa,  ayah atau ibunya.

Sebab tak jarang,  usai perceraian anak-anak mendapatkan pengaruh untuk membenci kepada pihak lawan.  Meskipun keduanya adalah orang tuanya sendiri.

Saya juga punya banyak kawan dan kenalan yang telah bercerai dengan pasangannya.  Bahkan mereka sudah mendapatkan jodoh lagi.  Sementara hubungan  pernikahan sebelumnya masih menyisakan tanggungan sampai anak-anak mereka besar dan bisa mandiri.

Tapi ada juga anak yang tak lagi mendapatkan biaya dari ayah kandungnya.  Meskipun si ibu belum menikah lagi.   Dan ada juga tanggung jawab kehidupan dibebankan kepada ayah barunya.Meneruskan hubungan atau berpisah di tengah jalan,  Itu hak masing-masing orang.

Tapi perceraian yang meninggalkan kebencian tak perlu disebarluaskan.  Apalagi mengajak orang lain untuk ikut membenci.

Sebab menyebarkan kebencian pasangan termasuk mengumbar aib pribadi, secara otomatis penilaian orang akan linear dengan kualitas aib orang yang  menyebarkan.

Kalau bisa memang jangan bercerai..
Boleh bercerai karena terpaksa dan tak ada jalan lain yang  yang bisa dipilih,  atau mediasi sudah menemui jalan buntu.
Kasihan anak-anak....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun