Tapi meskipun sudah tinggal di kontrakan, kakak ipar dan ibunya tetap saja berkunjung, bahkan terkadang nada bicaranya seperti sebuah teror,  selalu ikut mencampuri karena ia merasa di situ adalah anak lelakinya. Sampai suatu saat keponakan saya hamil anak kedua. Bahasa keras  dari kakak iparnya  menampar hati makin gulana.
Masak saudara sendiri dikatakan banyak tingkah karena telah hamil lagi?
"Untuk makan saja kesulitan, mengapa harus hamil lagi? "
Demikian kata kakak ipar keponakan saya ini. Sampai akhirnya jantung tak kuat, tekanan terlalu berat, sehingga ia melahirkan bayi yang cacat, jantungnya bocor.
Tak lama kemudian, meskipun sudah dibuat berbagai cara untuk merawat, nyawa bayi mungil ini tak tertolong juga.
Terkadang saat anak menikah memang ada rasa kehilangan. Tapi sudah semestinya sebagai orang tua merelakan. Dan mencoba mencari jalan terbaik agar terhindar dari permasalahan.
Saya juga punya tetangga yang agak berdekatan. Rumahnya tak jauh dari rumah mertuanya. Dan ibunya mertuanya selalu datang, Â mengatur ini itu seperti sebuah tekanan. Â
Saya terkadang bingung saat mereka datang mengadu, memikirkan orang tua yang selalu ingin campur tangan urusan menantu. Entah karena apa, akhirnya si Ibu mertua jatuh sakit terkena stroke dan tak bisa apa-apa.
Memang sudah selayaknya, sebagai orang tua kita harus bijaksana. Dengan membiarkan anak yang  sudah menikah untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Sebab saat sudah menikah kita tak lagi punya hak untuk mengatur rumah tangganya, kecuali mereka datang meminta nasehat kepada kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H