Sesungguhnya setiap makhluk memiliki kadar rejeki yang telah ditentukan sejak jaman azali. Â Meskipuna ini bagian dari pendekatan agama yang kadang tak populer di hadapan generasi atau keluarga yang ada di masa sekarang.
Berapapun jumlahnya tak lepas dari tangan Tuhan, Â dan sudah terukur dengan kapasitas masing-masing. Contoh semisal burung gereja tak mungkin bisa bertelur sebesar burung unta dan sebaliknya.
Mengingat kebutuhan manusia yang tak terbatas,  seberapa banyak pun rejeki yang  didapat  takkan pernah cukup.  Sebab manusia memiliki sifat tamak yang mendorongnya untuk menguasai berbagai kepemilikan. Â
Cukup itu bukan kecukupan dalam kuantitas atau jumlah minimal. Tapi cukup itu karena dicukupkan dengan dengan segala keadaan.
Itu loh lirik lagu Nasyida Ria memberi kita pelajaran berharga, Â
"Bila datang banyak rizqi  semuanya mensyukuri. Bila Rizki tak seberapa dicukupkan seadanya"
Tapi manusia memang tempat lalai dan lupa, Â terkadang sebuah kondisi menjebaknya dalam pola hidup yang hedonis. Bermewah-mewah tak terkendali sehingga terjebak dalam jeratan hutang.
Terkadang karena masalah piutang menjadi embrio pertengkaran. Karena saat hutang tak  dikomunikasikan. Sehingga beban angsuran menjadi tanggungan keluarga berkelanjutan.
Saya memiliki seorang teman,  yang saat ini entah ada di mana.  Sebelum pergi ia meninggalkan hutang sekedar untuk kesenangan,  tapi usahanya bangkrut dan ia tinggalkan keluarganya.  Untung Istrinya, wanita yang mandiri pintar cari uang,  sehingga berani mengambil keputusan menggugat cerai  pihak suaminya.
Persoalan ekonomi terkadang menjadi bumerang, Â bagi perempuan yang tak mampu menjaga diri. Â Hasil kerja suaminya tak pernah merasa mencukupi, Â hingga si istri rela menjual diri dengan cara sembunyi-sembunyi.